Friday, 19 August 2011

Kisah Anak Seni di Jogja – Siri 5 – Siti Zainon Ismail

“Kuliah ASRI melukis saja?”
[Gambar 1 : Melukis di Parang Tritis, Pantai Selatan Jogjakarta, 1971]

BILA aku memilih jurusan Seni Lukis di ASRI, teman-teman sepersekolahan dulu pun bersuara, "Jadi awak melukis sajalah di ASRI tu?". Ini belum lagi dengan sangkaan keluarga di kampung, "Bolehkah hidup dengan lukisan?" Begitu juga bila tiba kunjungan Menteri Kebajikan, YB Tun Sri Fatimah juga bertanya , " Ha belajar Seni Rupa aa, yang make up itu ke? ".

Tetapi aku lega bila YB Datuk Hussien Onn, Menteri Pelajaran yang mengunjungi Persatuan Kebangsaan Pelajar Malaysia (PKPMI) di Jogja bersuara," Semua ilmu penting dalam kehidupan, belajarlah dan pulang kembangkan ilmu seni di tanah air".

Kemudian muncul pula selepas itu Ismail Zain, Pengarah Kebudayaan di Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan, menemuiku dengan pesan,". Bila selesai kuliah nanti, bolehlah cari pengalaman kerja di Jabatan Kebudayaan atau di Taman Budaya".

Beberapa tahun kemudian muncul pula kunjungan penulis PENA, dan Usman Awang sendiri pun bersuara, " Menulislah hal-hal seni budaya pengalaman di Jogja atau kalau ada manuskrip puisi hantar cepat ke DBP, boleh dipertimbangkan untuk terbitan".

Istilah Seni Rupa sudah lama diguna pakai di Indonesia terutama dengan munculnya pendidikan seni, yang ditumpukan kepada jurusan Seni Lukis, Seni Grafik – Reklame (Iklan), Seni Dekorasi, Seni Keria - Kerajinan dan Seni Patung sejak tahun 1950an. Sistem pendidikan seni ini juga agak berbeda dengan Institut Teknologi Bandung yang lebih mengutamakan sistem pendidikan teknologi.

ASRI pula begitu ketara dengan unsur alami, sesuai dengan latar Jogya itu sendiri, alon-alon klakon. Latar Jogjakarta yang kaya dengan unsur seni warisan, kaya dengan sejarah lebih awal dengan kekayaaan budaya Jawa, terbukti dengan tinggalan sejarah itu sendiri. Kami diwajibkan mengenali alam semula jadi itu dengan kerja melakar (sketsa) bukan saja di dalam studio tetapi harus berada di bawah panas mentari dan redup, gerimis hujan. Kami di bawa oleh para senior, ke Pasar Sapi, ke Pasar Burung, hanya untuk mendekat jiwa dengan semangat suasana alami itu sendiri.

"Jadi asyik melukis sajalah" . Soalan ini tercatat dalam poskad sahabatku Zoy tiba dari Datuk Keramat. Agak tersentak juga aku dan aku segera memberi tahu, "Harus ikut kuliah wajib, Sejarah Budaya, Filsafat (Jawa, Islam termasuk Yunani dan Barat), Kritikan Seni, Estetika dan agama juga. Teori wajib lulus dan harus siapkan skripsi dan mempertahankannya di depan para pembimbing".

Kuliah wajib pun harus berebutan waktu antara kerja teori dan amali dalam dan luar studio. Kelas teori wajib diikuti walau kerap diingkari mahasiswa yang menganggap masa bodoh semua teori itu. Itu omelan Nurman Tarigan yang kerap bolos kuliah. Atau Yuli mahasiswi Dekorasi, kerap saja mengikuti kerja amali kami hingga ke Kaliurang di kaki Merapi dan ke Parang Tritis. Mungkin sikap pembimbing - asisten dosen, Pak Nyoman Gunarsa yang keterlaluan agresif maka kami pun kelam kabut untuk selalu siap dengan lakaran sketsa. Jerkahnya , "Harus bawa 50 keping setiap minggu". Kenapa tidak aku terkecoh harus bangun pagi untuk melakar di depan dan dalam pasar, berjalan kaki hingga ke Ngasem untuk mendapat suasana bingar di Pasar Burung. Lima puluh (50) keping sketsa seminggu atau 500 satu semester. Gilakah asisten ku atau aku salah dengar jumlah hitungan itu? Tetapi arahan itu harus kami patuhi, tambahan pula beliau kerap mengatur perjalanan ke gunung dan ke pantai, dengan membawa kami menaiki truk (lori) ke sana. Aku dan Jovita lah amat terkecoh. Kami lah awal pagi sudah duduk di pasar, di depan tugu Malioboro, di alun-alun agung !

[Gambar 2 : Disember memasuki semester 2, aku sudah tiba melakar bersama mahasiswa Akademi Seni Surabaya, Disember 1970]

Kerana itu juga, aku kerap mengambil peluang untuk memulakan kerja luar, melakar ke mana saja dan bila ada peluang berangkat untuk ke luar Jogja. Hingga ke Prambanan dan Borobudur. Hujung tahun pertama aku sudah tiba di Surabaya sebelum meloncat ke Bali hanya untuk menyiap tugasan.

Siti Zainon Ismail, 18 Ogos 2011

No comments:

Post a Comment