“Masih Adakah Cinta”
Terbangun saja dari tidur hari itu, aku rasakan satu semangat yang luar biasa sekali menyelusup ke dalam diriku. Sebelum ini aku tak pernah merasakan keadaan yang seperti itu. Aku sendiri tak pasti, apa sebenarnya yang sudah terjadi. Aku benar-benar tak pasti, mengapa saja pagi itu aku sangat bersemangat sekali. Pada hal, sebelum-sebelum ini, kalau saja untuk bangun pagi, memang sangat sulit sekali. Sampai ada ketikanya, Pak Niin terpaksa beberapa kali mengetuk pintu kamarku untuk membangunkan aku, kerana dia takut aku kesiangan ke kampus.
Tapi itu dulu, tidak lagi hari ini. Hari ini aku sudah sepertinya sudah mendapat semangat baru. Semangat yang aku kira akan mengubah haluan hidupku, mengubah matlamat dan tujuanku, mengubah tingkah laku dan cara fikirku, mungkin juga akan mengubah pandangan dan persepsi orang lain terhadapku.
Pagi itu, tidak seperti pagi-pagi biasanya. Aku bangun awal, awal sebelum azan Subuh dilaungkan. Entah mengapa hari ini terlintas difikiranku ingin menunaikan solat Subuh berjamaah di Masjid yang letaknya hanya beberapa meter dari kostku. Sebelum ini aku jarang-jarang dapat solat berjamaah di masjid, kerana selalu kesiangan bangun tidurku. Ada kalanya jangankan solat jemaah, solat di kamar juga tak tertunaikan kerana bangun saja matahari sudah terpacak atas kepala.
Tapi aku hari ini tak sama seperti aku sebelum-sebelumnya. Aku sepertinya sudah mendapatkan keinsafan diri. Hari ini aku melangkah ke masjid dengan pasti, supaya hidayah bawa perubahan dalam diri, mencari keberkatan merubah diri. Sujud memohon semoga Allah s.w.t membukakan hati. Menunjukkan jalan mensucikan diri, agar lahir keikhlasan di dalam diri, barulah ilmu yang dituntut akan diberkati.
Pak Niin ku lihat seperti terkejut apabila melihat aku begitu rapi dengan kopiah putih menutup kepala, kemudian melangkah keluar kamar menuju ke masjid.
“Tumben kamu hari ini Sham, emang mimpi apa aje kamu tadi malem,” tegur Pak Niin seperti menyindir aku saja bunyinya.
“Atau saja bapak yang sedang mimpi kali iya,” lagi-lagi bapak menyindir aku.
“Assalamualaikum bapak, ayuh kita bareng ke masjid, udah azan tuh...,” aku menyapa bapak supaya dia tidak terus ‘ngeledek’ aku lagi.
“W’alaikumsalam, ayuh la Sham, kayak mimpi aja nih,” Pak Niin menjawab salam dan masih aja terus menyindirku.
Selepas solat berjemaah, aku mencapai naskah surah Yasin di rak untuk ku baca. Hati aku benar-benar rasa tenang, dadaku benar-benar rasa lapang sekali sebaik sahaja selesai membaca surah Yasin itu. Lalu aku memanjatkan doa, semoga Allah s.w.t memberikan petunjuk dan hidayahNya...., memberi aku kekuatan dan ketabahan..., memberi aku kejayaan dalam hidup dan juga pelajaran.
Hari ini keputusan peperiksaan semester yang lalu diumumkan. Hari ini akan menjadi penentu apakah aku akan terus melangkah dengan laju, atau saja tersekat-sekat dan tak menentu. Hari ini aku akan dapat mengukur keupayaan dan kemampuanku...Hari ini juga aku akan dapat menilai sejauhmana usaha dan kesungguhan belajarku.
“Ya Allah, sesungguhnya aku bermohon kepadaMu..,kurniakan kejayaan untukku...,berkatilah segala usahaku..., limpahkan lah segala rahmatMu..., ceriakan aku hari ini dengan anugerahMu..,” bisik hatiku sambil berdoa kepada Allah s.w.t sebelum berangkat ke kampus.
Seperti hari-hari biasanya, pagi itu aku melangkah ke kampus sendiri. Teman-teman kostku masih tak ku dengar suara dan kelibat mereka. Mungkin saja mereka masih hanyut dibuai mimpi indah, apalagi kuliah masih belum bermula.
Melintasi Gang Papaya ke Stasiun UI, aku sempat menjeling melihat kost teman-teman dari Malaysiaku yang terletak di situ. Aku lihat di kost itu sudah sepi seperti penghuninya sudah keluar. Mungkin saja mereka sudah ke kampus lebih awal lagi. Memang sudah menjadi kebiasaan, anak-anak mahasiswa dari Malaysia di senangi oleh ‘dosen-dosen’ kerana ketepatan waktu mereka. Paling tidak itu sudah cukup menjadi citra dan contoh terbaik yang kami tunjukkan sebagai bukti bahawa mahasiswa dari Malaysia juga mempunyai kualiti yang tersendiri yang dapat dibanggakan.
Dugaan aku tadi benar, melintasi saja Stasiun UI aku terpandang Zali, Jalil dan Uzir berada tak berapa jauh di hadapanku. Mereka adalah senior-senior di jurusan Sejarah dan FSUI. Lalu aku kejar mereka dan kemudian kami jalan bersama-sama menelusuri denai yang merupakan jalan pintas untuk FSUI.
Kami sampai di Gedung 1 FSUI setelah kira-kira 15 minit berjalan menggunakan jalan pintas di Fakultas FISIP. Suasana di kampus masih biasa-biasa saja. Tidak ada suara riuh seperti musim-musim kuliah berlangsung. Mungkin saja anak-anak mahasiswa di sini tidak pernah pusing memikirkan soal nilai atau ‘result’ peperiksaan yang bakal diumumkan hari ini. Apa yang penting, mereka lulus dan boleh melanjutkan studi.
Jadi mereka tak perlu bersusah payah datang awal-awal untuk mengambil hasil ujian. Lagi pula pendaftaran mata kuliah semester baru hanya akan bermula minggu depan.
Aku terus saja ke ruang Jurusan Sejarah untuk mendapatkan keputusan peperiksaanku. Rupa-rupanya teman-temanku ada di antaranya sudah ada menunggu lebih awal lagi. Tapi sepertinya yang terpandang olehku hanya anak-anak ‘cewek’ saja, yang ‘cowok’ masih entah di mana.
Terlihat wajah Fina sangat ceria. Aku pasti dia mendapat nilai yang cemerlang. Itu bukan hal yang mustahil, memang dari awal-awal lagi aku dapat melihat dia merupakan mahasiswa yang sangat rajin dan pintar. Apa lagi ayahnya juga seorang ‘dosen’ di jurusan kami, Pak Salleh Djamhari, dosen Sejarah ABRI.
Selain Fina, aku lihat Nita, Aria Sari, Cut Julia, Evi, Wiwin dan Riana juga menunjukkan raut wajah yang ceria dan gembira. Sudah cukup membuat aku merasakan mereka juga pastinya sama seperti Fina, dapat hasil keputusan yang baik. Cuma saja aku lihat, Adi Patrianto yang sedikit muram dan tawar senyumnya. Apa lagi waktu itu cuma dia satu-satunya anak ‘cowok’ yang ada di situ.
“Apa kabar Sam?,,Kamu tambah kurus aja,” tiba-tiba menegur aku.
“Ayuh cerita, mengapa sampai kurus begini jadinya, libur di kampong itu seharusnya happy,” Fina masih aja penasaran seperti ingin mengorek rahsia dariku.
“Ndak lah Fin, aku biasa-biasa saja, memang dari dulu juga aku udah segini kurusnya,” aku cuba menjawab pertanyaan Fina.
“Sam, sebelumnya aku ucapkan selamat deh, nilai kamu lumayan baik lho, 3,1...sana ambil di Ibu Nana,” kata-kata Fina melegakan hatiku.
Mendengarkan kata-kata Fina itu aku terus ke meja Ibu Nana Marliana MA, Ketua Studi Program Sejarah FSUI.
“Selamat ya Samsul, satu permulaan yang baik, teruskan belajar dan mencari ilmu di sini,” Ibu Nana memberi ucapan tahniah sambil menyerahkan helaian kertas yang mencatatkan nilai ujianku.
Aku mendapatkan teman-teman yang lain sambil mengucapkan tahniah sesama sendiri di atas pencapaian masing-masing.
Tiba-tiba aku tergamam apabila melihat kelibat seseorang yang baru masuk ke ruangan jurusan. Aku sangat-sangat kenal kelibat siapakah itu. Seseorang yang sangat-sangat aku nantikan kedatangan dan kehadirannya. Seseorang yang aku tunggu untuk menjawab segala persoalan yang selama ini aku pendamkan.
Mataku memandang tepat ke arah wajahnya. Benar dugaanku, orang itu adakah Riries. Riries yang pernah menjadi teman penghibur hati..., Riries yang pernah menjadi penawar kepada rasa-rasa rinduku...., Riries yang dahulunya menjadi pujaan hatiku.
Aku biarkan saja Riries ke meja Ibu Nana untuk mengambil hasil ujiannya. Terlihat raut wajahnya sangat-sangat ceria di saat Ibu Nana menyerahkan hasil ujian tersebut. Aku juga dapat melihat Ibu Nana sepertinya melemparkan senyum tanda bangga dan gembira. Aku dapat menduga, pasti Riries dapat nilai terbaik dan tertinggi semester ini.
“Hai Sam, apa kabar...gimana kabar kampong halaman mu?” Tiba-tiba Riries mendekatiku dan bertanyakan kabar.
Aku menjadi sangat terkejut. Sepertinya tidak ada apa-apa yang berlaku dan terjadi di antara aku dan Riries. Teman-teman yang lain juga sepertinya memandang kami dengan penuh kesangsian. Mereka yang sebelumnya suka menyindir-nyindir kami, tiba-tiba hari ini cuma memerhati dan tak berkata apa-apa.
“Sam, kata Ibu Nana kamu dapat nilai yang lumayan bagus...selamat ya dari aku,” Riries memecah kebuntuanku dengan menghulurkan tangan mengucapkan tahniah di atas pencapaianku.
“Thanks Ries, “ aku jawab ringkas.
“Alhamdulillah Sam, nilaiku 3,8...., lumayan,” Riries melaporkan hasil yang diperolehnya.
“Hebat, congrats Ries..., aku tumpang bangga punya teman seperti kamu,” aku melahirkan rasa gembira mendengarkan keputusan tertinggi yang dicatatkan oleh Riries.
“hari ini giliran aku ‘traktir’ kamu Sam, tapi kita makannya di ‘Balsem’ dekat FISIP aja,” terkejut aku bila mendegar Riries mempelawa untuk belanja aku makan.
‘Balsem’ adalah singkatan dari ‘balik semak’, tempat letaknya deretan gerai makan atau lebih tepat warung yang menawarkan pelbagai jenis makanan yang murah. Kerana lokasi letaknya warung ini di kawasan kebun ‘karet’ (kebun getah) di belakang gedung Fakultas FISIP UI, maka singkatan ‘Balsem’ itu diberikan. ‘Balsem’ digunakan untuk mengambarkan lokasi letaknya warung-warung itu.
Jadi aku menerima pelawaan Riries itu dengan senang hati. Kebetulan aku sendiri belum sempat sarapan sebelum ke kampus tadi. Lalu kami ‘pamit’ dari teman-teman yang lain untuk jalan duluan. Teman-teman yang lain tidak ada yang mahu ikut, dengan alasan mereka sudah sarapan sebelumnya. Atau aku kira mereka saja memberikan peluang untuk aku dan Riries mempunyai waktu untuk berdua ketika itu.
Sampai di ‘Balsem’ aku memesan ‘mee ayam’ kesukaanku. Riries pula memesan gado-gado dan teh botol. Sambil menunggu pesanan siap, kami berbual-bual dan bertanya kabar tentang banyak hal.
“Sam, gue mohon maaf..., sebenarnya hari terakhir ujian lalu aku ‘buru-buru’ pulang, sehingga tidak sempat ‘pamit’ sama kamu,” Riries menjelaskan sebab mengapa di tidak dapat menemuiku tempoh hari.
“Gue tahu kamu marah, anak-anak lain juga bilang kamu kecewa waktu itu..., tapi gue benar-benar ada urusan mendadak..., sorry ya Sam,” Riries terus memberi penjelasan sebab tindakannya yang lalu.
“Ngak apa-apa Ries, gue aja udah lupakan semua itu, sudahlah...jangan dibahas lagi,” aku cuba memberi jawapan yang dapat melegakan hati.
Makanan yang kami pesan sudah berada di depan mata. Lalu kami menikmati keenakkannya sebelum melanjutkan perbualan. Entah mengapa hari itu aku berselera sekali menikmati ‘mee ayam’ yang aku pesan. Mungkin saja kerana aku sudah lama tidak keluar makan berdua dengan Riries.
“Elo mau ke mana saja selepas ini Sam? Aku tidak bisa lama-lama di kampus hari ini,” tiba-tiba Riries bersuara dan menyebabkan aku tersentak. Untung saja aku sudah selesai makan.
“Sebentar lagi, gue ada janjian sama teman SMA ku, kami ada acara ngumpul-ngumpul di Blok ‘M’,” Riries meneruskan penjelasannya kerana tidak dapat lama denganku hari ini.
“Sebenarnya masih banyak yang mau gue bicarakan sama kamu Ries, tapi mungkin di lain waktu aja,” jawabku dengan nada yang sedikit kecewa.
Kecewa kerana hasratku untuk mendapatkan penjelasan Riries tidak kesampaian...Kecewa kerana aku masih belum boleh mendapatkan penjelasan sejauhmana sebenarnya tahap hubungan kami ketika itu....Atau saja aku ingin sekali berterus terang untuk mendapatkan kepastian akhirnya dalam hubungan kami.
“Sam, ayuh...teman aku udah menunggu pastinya di ‘pakir’ Sastra, “rayu Riries mengajak aku segera meninggalkan ‘Balsem’ setelah Riries membayar makan kami tadi.
Lalu kami berjalan dan melangkah menuju ke Fakultas Sastra. Tiba-tiba aku terpandang seseorang ‘cowok’ tampan dan sangat bergaya penampilannya melambai-lambaikan tangan ke arah Riries. Aku lihat wajah Riries menjadi sangat ceria dan membalas lambaian tersebut.
“Sam, itu teman SMAku, Aditya namanya, anak UI juga tapi kuliah di Salemba Fakultas Kedokteran,” Riries memperkenalkan temannya.
“Sam, kenalkan temanku Aditya...., Aditya.., kenalkan temanku satu jurusan Samsul , anak mahasiswa dari Malaysia,” Riries memperkenalkan Aditya kepadaku.
Kami kemudiannya bersalaman dan aku hanya melemparkan senyuman tanda perkenalan. Dari tingkah kemesraan antara Riries dan Aditya, aku dapat membayangkan mereka sebenarnya sangat dekat, sepertinya bukan hanya sekadar teman biasa.
Dugaan aku itu sebenarnya ada alasan yang kukuh. Apalagi aku lihat Riries sangat mesra sekali ketika dibukakan pintu ‘mobil’ oleh Aditya, sebelum mobil mewah BMW kepunyaan Aditya itu melucur laju meninggalkan fakultas Sastra. Melihatkan itu saja sudah cukup membuatkan aku merasa ‘kecil’ sekali ketika itu.
Akhirnya aku seperti sudah mendapat jawapan terhadap sikap dingin Riries terhadapku sebelum ini. Seperti aku duga, Riries sudah mempunyai pilihan yang aku kira sangat sesuai dan cocok dengan dirinya.
Tetapi sepatutnya aku juga tidak seharusnya berkecil hati dan merendah diri. Aku juga telah mendapatkan pilihan yang dapat mengisi kekosongan hati. Tiba-tiba aku terbayangkan wajah manis Ida...Betul, aku sudah ada Ida yang sememangnya juga selama ini aku telah lama menaruh hati.
Tapi....., aku tetap saja belum dapat memujuk hati....Aku masih lagi perlukan penjelasan Riries...Aku masih lagi perlu menyakinkan diri, apakah Riries benar-benar sudah tidak inginkan aku lagi?....Atau saja itu cuma helah diri.....supaya aku merasa sakit hati....atau Riries mempersiapkan diri....bila kau berubah hati...dia sudah ada pengganti...atau...atau...atau..., yang semuanya sebenarnya masih belum pasti.....
Aku masih harus menunggu lagi...Menunggu untuk melunaskan kekeliruan ini.....kini semuanya masih belum pasti....aku masih harus menanti dan terus menanti.....
Samsul Kamil Osman, 18 Ogos 2011
No comments:
Post a Comment