“Air Mancur atau Pancoran”
Walau telah dihukum siang tadi kerana datang ke kampus naik teksi, aku tidak peduli.
“Mana karcis bis?” Tanya salah seorang panitia orientasi.
“Gak ada, kak.” Jawab ku singkat dan perlahan.
“Kamu ke sini naik apa? Diantarin?” aku terus didesak.
“Naik taksi, kak.”
“Aduh!! Kan udah dikasi tau mesti naik bis, gak boleh taksi, gak boleh diantar.”
Aku mendiamkan diri, tak perlu dibahas lagi kerana aku tidak akan bisa menang.
Langit sudah sangat gelap, daun daun kering berguguran ditiup angin deras, titik titik hujan sudah mulai turun. Aku tidak punya waktu untuk dilengahkan lagi. Aku mahu segera pulang ke asrama. Mahu segera mencuci kepala dan bajuku yang tercemar oleh cairan pengawet mayat pagi tadi. Aku lantas menahan sebuah teksi.
Sebaik menutup pintu teksi, aku memberi tahu supir teksi akan destinasiku. Pak supir terus memandu tenang tanpa banyak soal. Aku memegang kemas tas hijau yang penuh berisi barang barang orientasi serba hijau yang kusiapkan semalam. Kesal rasanya, setelah puluhan ribu rupiah ku belanjakan untuk mendapatkan barang barang tersebut, setelah hampir semalaman tidak tidur, satu pun tidak pernah diminta oleh panitia.
Hujan semakin lebat, angin semakin kencang, teksi bergerak perlahan mengekori ribuan mobil lain di hadapan. Kadang kadang sangat perlahan sampaikan bergerak seinci pun mungkin tidak. Aku hanya terlihat bayang bayang lampu jalan pada cermin mobil dicelah aliran deras air yang disapu ‘wiper’. Di sesetengah tempat air bertakung agak dalam menenggelami jalan raya membataskan lagi kelajuan kenderaan. Jam ditanganku menunjukkan pukul 8.10 menit malam, sudah lebih satu jam aku berada dalam teksi. Aku mencuba memerhati keluar tetapi semuanya kelihatan asing. Hatiku mulai resah, berbagai prasangka muncul silih berganti. Setahuku perjalanan pulang dari Salemba hanya sekitar setengah jam atau paling lama satu jam jika macet. Aku terus berdiam diri kerana tidak tahu mau bertanya apa.
“Nah! Pancoran disini neng, stopnya di mana?” tiba tiba pak supir bertanya.
“Kayaknya salah ni, pak. Saya mau ke Budi Kemuliaan,dekat bulatan air mancur, dekat dekat Tugu Monas, situ.” Aku cuba memberi keterangan lebih jelas.
“Lah, bapak kira Pancoran, kalau air mancur dekat Monas itu, jauh di sebelah sono, harus mutar balik ni!”
Aku terasa seperti mau menangis. Sudahlah di luar hujan dan ribut, banjir kilat di sana sini, jalan macet teruk. Aku pula sudah tersesat entah ke mana.
“Dari Malaysia, ya!!” tiba tiba pak supir mengubah tajuk. Mungkin dialek Jakarta ku masih keras dan belum menjadi.
Aku tersentak. Otakku ligat memikirkan risiko seandainya mengaku atau menafikan.
“Iya, pak.” Ku jawab ringkas dengan nada perlahan mengharap simpati.
“Nggak ada temannya?”
“Nggak pak, saya sendiri aja.”
“Kesian amat. Bahaya lho, neng, di jalan sendirian udah malam begini.”
Aku mendiamkan diri, berdoa agar pak supir ini benar benar simpati akan nasibku. Raut wajahnya seperti orang baik-baik. Aku duduk di pojok paling jauh dari supir, bersiap sedia untuk sebarang kemungkinan sambil terus memanjatkan doa.
Pak supir terus memandu tanpa banyak bertanya lagi. Jalan masih macet berat. Kaki ku sudah terasa sangat lenguh kerana duduk terlalu lama. Entah berapa banyak belokan, simpang siur dan lampu trafik yang kami lalui, aku masih terasa asing, aku memang tidak pernah melewati jalan jalan ini. Sedang berada di mana kah aku? Aku berusaha untuk tidak kelihatan cemas atau panik.
Hujan sudah hampir berhenti. Jam menunjukkan pukul 10.20 menit malam. Sudah lebih tiga jam aku berada dalam teksi ini, argo teksi juga sudah hampir mencecah 60 ribu rupiah. Aku meraba-raba dalam poket rok ku, hanya ada 25 ribu rupiah. Bagaimana nanti aku akan membayar ongkos taksi ini?, berapa ribu lagi meternya akan naik? Bagaimana kalau supir ini membawa aku lebih jauh entah ke mana mana? Bagaimana nanti kalau aku disuruh turun saja di pinggir jalan? Persoalan demi persoalan menyesakkan dada.
Dalam pada aku merangka rangka jawaban sendiri, tiba tiba aku dapati sudah berada di bulatan air mancur. Demi terlihat patung patung kuda menarik pedati Arjuna, aku merasa sangat lega. Satu ‘landmark’ yang aku kenal sejak lebih seminggu lalu, petanda aku sudah hampir sampai ke tempat dituju.
“Belok kiri pak!” aku memberi tunjuk arah dengan lebih yakin. Teksi berhenti di seberang jalan tepat di hadapan pagar asrama Budi kemuliaan. Jam menunjukkan tepat 10.40 malam. Argo teksi pula menunjukkan 63,500 rupiah.
Aku teragak agak sewaktu menghulurkan ongkos taksi, 25 ribu rupiah yang aku ada.
“Saya ada sebanyak ini aja pak. Kalau bapak bisa tunggu sebentar,saya masuk ke dalam ambil wang lagi.”
“Nggak apa apa, neng, berapa ada aja lah, bapak juga tadi salah, nggak nanya betul betul neng mau ke mana.”
“Alhamdulillah! Terima kasih banyak, pak!” Hanya Allah swt yang dapat membalas kebaikan pak supir itu.
Sungguh aku terharu dan bersyukur dapat kembali ke asrama dengan selamat walaupun sudah sangat lewat. Aku terus berdoa agar semua urusanku di hari hari mendatang dipermudahkan.
Dr Zalilah Manan, 18 Ogos 2011.
No comments:
Post a Comment