Tuesday, 16 August 2011

Depok Dalam Lipatan Sejarah - Siri Ke-11 - Samsul Kamil Osman


‘Hujung Musim Akhir Semester’

Suasana di kampus pagi itu masih sepi. Sepi tak seperti biasanya, sepi dari suara-suara teriakan melepaskankan rasa gembira, sepi dari suara-suara nyanyian menghibur lara, sepi kerana masih belum ada suara yang melafaskan puisi menyuarakan rasa, sepi kerana ruang-ruang kuliah masih kosong tanpa kelibat penghuninya.

Keadaan yang ku lihat ini benar-benar mengejutkan. Apakah kerana musim peperiksaan akhir semester atau saja, mahasiswanya sudah ‘capek’ belajar tanpa hentinya, atau juga semuanya sudah siap menunggu liburan yang hampir menjelma. Sebentar lagi libur panjang tentunya dapat pulang bertemu keluarga, tinggalkan kampus sepi seketika.

Pagi itu juga aku tidak seperti biasanya. Menjadi pengunjung pertama di kampus tercinta. Hari itu aku rasa benar-benar siap dan sedia menghadapi apa saja. Apa saja yang bakal ditanya....menulis semula semua ilmu yang telah aku terima, penuh yakin kerana aku telah berusaha. Di samping itu aku turut panjatkan doa, semoga Tuhan mempermudahkan jalannya, soalan ditanya tidak sesusah mana, dapat ku jawab dangan sempurna.


Jarum jam di tangan menunjukkan tepat jam 7.45 pagi Waktu Indonesia Barat (WIB). Suasana di kampus yang tadinya sepi telah kembali menjadi riuh seperti semula. Gelagat anak-anak mahasiswa mempelbagaikan aksi-aksinya....ada yang mengusung buku, nota dan macam-macam yang ada.....Ada juga yang berbicara tanpa ada temannya....ada yang duduk ‘dipojokan’ buku dibaca....ada yang muram entah kenapa, ada yang ‘selamba’ macam tak ada apa-apa.

Sebentar lagi, tepatnya jam 8.00 pagi peperiksaan akan bermula. ‘Pengantar Sejarah Kebudayan Indonesia 1, peperiksaan bagi Mata Kuliah Umum (MKDU). Merupakan peperiksaan kertas yang terakhir penutup semester. Untung saja peperiksaan bagi mata kuliah umum ini diletak di hujung acara. Paling tidak aku dapat lebih bersedia. Apa tidaknya, sangat banyak yang harus aku baca, dari zaman purba hingga modennya bangsa. Pula lagi kupasannya sejarah kebudayaan Indonesia. Tapi untung saja aku mempunyai teman-teman yang sedia bersama, membantu dalam apa jua ketika. Jadi akhirnya yang sukar tak menjadi apa-apa, ilmu ditimba menjadi sangat berguna...membina dan memperdalam pengetahuan yang ada, khususnya memahami sejarah budaya bangsa.

Kurang 10 minit sebelum peperiksaan bermula, aku dan teman-teman berkumpul bersama seketika. Kami berkumpul dan berdoa bersama-sama supaya dipermudahkan jalan kami nantinya. Aku, Mat Zain, Fina, Aria Sari, Riries, Ipong, Nita, Ifyani dan beberapa lagi yang aku tak pasti, khusyuk mengaminkan doa yang dibacakan oleh Mustaffa Kamal selaku ketua Angkatan Sejarah 89. Sebelum melangkah masuk ke dewan, kami saling mengucapkan selamat sambil memberi kata semangat, semoga semua soalan dapat dijawab.

Masuk ke dewan peperiksaan dengan penuh keyakinan. Memang dari awal-awal telah kami rencanakan, mendapatkan posisi meja yang saling berdekatan dan bersebelahan. Itu adalah antara ‘strategi’ berada di dewan, supaya bantuan mudah ‘disalurkan’, bila ada antara teman-teman yang ada masalah. Aku masih ingat lagi, strategi itu kami namakan ‘posisi menentukan prestasi’. Aku yakin sekali istilah ini masih segar dalam ingatan teman-temanku.

Tepat jam 10.00 pagi, petugas yang mengawasi peperiksaan memaklumkan masa menjawab sudah selesai. Semua mahasiswa diminta meninggalkan dewan. Aku melihat berbagai gelagat dan riak wajah yang berbeda. Ada wajah suka, duka, gembira, puas dan tidak kurang ada juga yang seperti menitiskan air mata. Tapi itu sudah menjadi perkara biasa, lumrah mahasiswa habis menghadapi peperiksaan.

Bagi aku sendiri, rasanya sangat puas kali ini. Aku dapat menjawab dengan tenang dan penuh pasti. Apa lagi aku telah cukup bersedia mengulangkaji, ditambah lagi dengan bantuan teman-teman yang sangat memahami. Teman-teman selalu membantu aku untuk lebih mengerti isi ilmu yang dikaji. Terima kasih Fina, terima kasih Nita, Evi, Aria dan tentu sekali Riries ‘si buah hati’...terima kasih kerana kalian sangat baik hati.

“Gimana Sam, bisa dijawab dengan success ngak?,” Aku mendengar seperti suara Fina bertanya dari belakang. Aku menganggukkan kepala sambil melemparkan senyum tanda berpuas hati.

“Kamu pasti boleh Sam, elo kan anak yang pinter, anak kebanggaan negara mu,” Fina terus bersuara seperti memuji aku mendengarnya.

“Tidak lah Fin, gue biasa-biasa saja, cuma kalian yang banyak membantu gue belajar, jadi harus berterima kasih sama kalian,” aku bersuara merendah diri.

Mataku menjadi liar....liar mencari-cari. Sejak keluar dari dewan peperiksaan tadi aku belum dapat pastikan ke mana perginya kelibat Riries ‘si buah hati’.

“Kamu lagi nyari siapa saja Sam, kok matanya jadi liar seperti itu,” Riana menyapa seperti memahami apa yang sedang berlaku.

“Pasti kamu lagi nyari Riries ya?...Mengaku aja lah....udah ‘kangen’ ya?,” Riana seperti menyindir aku.

Aku sendiri sebenarnya tidak pasti, mengapa sejak kebelakangan ini Riries sudah mula menghindar dan menjauhkan diri. Apakah ejekkan teman-teman membuatkan Riries sudah tidak lagi merasa selesa denganku? Atau saja ada tutur kata dan tingkah laku aku yang telah menyinggung dan mengguris hati kecilnya.

“Sam, liburan panjang ini kamu mau ke mana saja? Ayuh kita liburan ke Bali, di sana asyik lho,” tiba-tiba aku mendengar suara Adi Patrianto mempelawa aku untuk ikut bercuti bersamanya ke Pulau Bali.

“Kalau mau liburan itu jangan perginya sama Riries aja deh, sekali sekali ikut ‘main’ sama anak-anak lain juga Sam,” Adi terus bersuara seperti menyindir aku saja nadanya.

“Tidaklah Adi, libur kali ini aku harus pulang ke Malaysia, aku sudah janji sama keluarga, mau pulang ke kampong,” aku cuba memberi jawapan yang dapat memuaskan hati Adi Patrianto. Sekaligus dengan cara yang baik menolak pelawaannya.

Tetapi aku tetap saja terus tercari-cari.......mencari tahu ke mana saja Riries menghilangkan diri. Apakah dia tidak tahu, hari ini aku harus berjumpa dengannya. Aku harus ‘pamit’ kerana esok aku sudah harus ‘terbang’ balik ke Kuala Lumpur.
“Riries, ke mana saja kau, aku sudah penat mencari,” bisik hatiku seperti merintis.

Aku menjadi sangat tidak pasti. Apakah Riries sudah berubah hati...Apakah diriku sudah tidak mahu ditemuinya lagi....atau saja dia sudah merajuk hati. Merajuk bila mengetahui aku mahu pulang ke kampong halamanku, tinggalkan dia berlibur sendiri.

Aku cuba memujuk hati...mungkin saja Riries ada masalahnya sendiri....mungkin juga dia mahu ceper-cepat pergi.....supaya tak berat melepaskan aku nanti. Tentu saja kembalinya aku nanti ke tanah air membuatnya tak pasti....Mungkin saja dia takut aku berubah hati...

Atau saja dia sendiri sudah punya pilihan hati.....semuanya menjadi semakin tidak pasti...selagi Riries tak dapat ku temui....

Esok pagi-pagi aku sudah harus berangkat ke Bandara Sukarno-Hatta. Itu bermakna Riries dan kampus akan ku tinggalkan untuk seketika. Wajah ayah bonda, keluarga dan sanak saudara sudah terbayang bermain di mata. Tentu saja dapat kembali bersua, melepaskan rindu walaupun seketika, tapi sudah cukup untuk mengubat rasa.

Tetapi kampus....aku akan datang semula. Ilmu ku tuntut belum lagi sempurna...masih ada lagi yang tersisa, bertahun-tahun lagi, masih sangat lama. Tapi aku akan terus berusaha, menuntut ilmu aku tak akan leka. Nama akan ku julang ke mercu jaya.

Samsul Kamil Osman, 16 Ogos 2011.

No comments:

Post a Comment