“Jogja Tatap Pandang Menjelang Pulang”
SELESAI pameran di Galeri Senisono, aku sudah merencana untuk pameran di Jakarta. Tetapi bagaimana caranya. Jogja kurasa semakin tipis awannya, tidak menampakkan hujan turun. Masih membawa bahang hangat dan aku berkeringat sepanjang jalan di celah-celah pasar Bringharjo di Malioboro. Aku membeli buah yang tidak mudah kudapati di pasar tanah air. Kupilih buah kasmek yang berbedak itu (pisang kaki), buah jipang (timun jepun) untuk ku nikmati . Kubeli sebungku nasi gudeg berlauk ayam dan nangka yang dimasak bersantan hingga dagingnya lembut. Tetapi dasar pelukis aku masih ingin terus membuat lakaran.
Akupun berlindung di bawah payung kertas terkembang tetapi robek di sana sini, mula melakar. Masih ingin merakam tubuh Tugu Malioboro dengan wajah jam besar di depan Istana. Selepas itu ku pacu motorku menderu ke Ngasem masuk ke pasar burung. Kucari pasu tanah kecil berbentuk mangkuk minuman burung, bekas teko semuanya kecil supaya mudah dibawah pulang. Hussin dan Zul mengajak berkelah ke pantai Baron..kami pergi beramai dengan kawan-kawan PKPMI, hingga tiba ke Prambanan dan memanjat kubah Borobudur. Aku tidak menemukan apa-apa untuk di seret pulang kecuali menambah lakaran untuk nota himpunan zamanku di Jogja. Aku balik ke pasar, mengheret sandal tipisku, keringat mengalir membasahi jaket, kuteringat barang logam, ya harus mencari loceng logam yang sering tergantung di leher sapi atau kambing. Membayangkan bunyi kerining loceng setiap kali binatang itu berjalan, bertiduran malas di pasar sapi. Ketemu loceng sejengkal tingginya. Logam tembaga berat, dengan buahnya dari logam juga ,ku seret akan dibawa pulang kelak. Wiwis anak kecil di rumah kost ku berlarian ingin bermain dengan loceng tersebut. Cepat kusembunyi sebelum dibawanya lari. Kenapa loceng? Hatiku berdetak sendiri? Ya loceng mengingatkan aku tentang waktu, tentang hak milik ya aku harus menggenggam loceng peringatan, kau pernah ada meninggalkan jejak di Jogja !
Di kampus ASRI Gampingan aku mula menjabat tangan mengucapkan terima kasih tidak terhingga kepada para dosen yang mengajar dan membimbingku. Pak Widayat yang mengajar kelas dekorasi, Pak Soedarso, ahli Sejarah Seni Lukis Moden, Pak Kadir MA mengajar Filsafat Barat, Pak Fajar Sidik mengajar Design Elementer...Semua tertanya "Loh kok ngak nunggu acara Wisuda ijazah? ". " Maaf Pak, masih lama tarikh itu...saya harus pulang cepat, sudah ada kerja lain Pak". Aku berdalih "Pak Fajar ketawa sambil memberi komentar, "Tahniah sudah ada kerja , baguslah" ...Aku juga perlu melapor ke Ibu Brodjo, di warungnya di depan rumah Kuncen.."Bu saya mahu pulang, mohon hutang makannya ditangguh dulu ya, selepas saya dapat kerja akan saya kirim sisa hutang makan saya ya bu…" . Ibu Brodjo mendakapku, "Ooollha ndouk, oundouk, ora nopo-nopo tho...halal ojo tho...." . Aku terkedu dengan kebaikan ibu yang kerap memberiku sepirig nasi dengan lauk tempe dan tauhu di warong makannya.
[Para Dosenku]
Di hari lain, kusinggah di rumah Ibu Hadi, sekali lagi aku didakap wanita ampuh, baik hati yang kerap mengeroki badanku kalau aku datang kerana demam dan bermalam di rumahnya. Terlalu banyak yang baik hati untuk kucatat, tidak tercatat semuanya. Mami Kartika dan Nenek Mariyati - isteri Affandi sibuk sekali memberi aku dorongan, "Izan sebelum pulang, harus buat pameran di Jakarta, ayuh hubungi Kedutaan Malaysia, itu tugas mereka lho...untuk promosi Malaysia jugakan ...ada calon pelukis Malaysia belajar di Jogja". Aku tambah bersemangat...ya pameran lagi sebelum pulang ke tanah air.
Selepas itu memang bagaikan setengah mimpi, terkejut, sekeping surat tiba dari Jakarta...Penasihat Pendidikan Kedutaan Malaysia dari Jakarta akan datang menemuiku! Surat bertandatangan dengan nama Murtaza ZAABA !. Allahuakbar.
Siti Zainon Ismail, 10 September 2011
No comments:
Post a Comment