Duh…Tulisan Ini Bagus Sekali
"Setiap tulisan merupakan dunia tersendiri, yang terapung-apung antara dunia kenyataan dan dunia impian)" Pramoedya Ananta Toer (Rumah Kaca, h. 138)
Seringkali kita memuji sebuah tulisan setelah membacanya. Entah itu artikel, puisi, cerpen, maupun tulisan-tulisan berisi curahan hati dari penulis. Mulai dari memuji isi dan tema sampai cara penyampaiannya melalui tulisan. Beberapa kali setelah membaca tulisan di laman kenangan di Indonesia terutama kawan-kawan di Universitas Indonesia, tulisan sdr Samsul Kamil, Noraizan, Zalilah, serta tulisan yang lain, Siti Zainon dan Dr Ismail, tulisan demi tulisan. Dalam Kisah-kisah di Indonesia, sangat memberangsangkan dan memamah jiwa. ….menyentuh perasaan, mengamit kembali kenangan di Pulau Jawa. Duh….tulisan ini bagus sekali…..Sambil dalam hati berteriak: pingin !!!nulis jugok…selagi termampu ………. Selagi kuingat kenangan dan pengalaman di jawa, yang kemudiannya aku namakan sedemikian ……ini kisahku..Jawa Jaman Jali
Tidak pula terbatas di dunia maya, tulisan-tulisan di media cetak juga sering kali bikin berdetak kagum. Mulai dari model penulisan berita oleh wartawan, sampai yang berbentuk novel, buku ilmiah, maupun buku kumpulan puisi : semuanya merupakan hasil karya yang gemilang. Setiap sebuah tulisan yang aku kagumi, kalau boleh memberi istilah, ada unsur “Jiwa ” yang tersendiri atas pemilihan tema, gaya penulisan, cara menulis, penataan kata dan kalimat, dan juga pengendalian emosi dalam mengungkap pikiran dan perasaan, sehingga terhias rapi dan enak dibaca serta mengasyikan untuk terus dibaca….
Apakah aku bisa menulis seperti itu?
Dengan bertatih dan terus mencoba, aku tekadkan diri untuk berlatih dan terus berlatih. Entah bagaimana hasilnya, dan pernah sekali di jaman belajar di Jawa aku pernah menulis di Majalah Detik, majalah yang menjadi wadah tempat pelajar Malaysia di Indonesia belajar menulis dan meluahkan perasaan, majalah yang diterbitkan oleh Persatuan Kebangsaan Pelajar-Pelajar Malaysia Indonesia (PKPMI Pusat) mengembangkan minat dan bakat menulis, bagi yang baru berjinak-jinak dalam bidang penulisan. Pernah sekali tulisan aku tersangkut dan diterbitkan oleh penal penilai majalah detik yang terdiri dari AJK PKPMI Pusat bersama Pengarah Pelajar Malaysia di Indonesia pada waktu itu En. Mohamad Said yang berpejabat di Jalan Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat. Entah bertahan selama mana majalah ini, setahuku hanya 2 edisi sahaja, bukan kerana tidak mendapat sambutan tetapi sukar dari segi pengurusan.
Duh……………tulisan ini bagus sekali……itu tanggapan yang terucapkan oleh AJK Panel Pemilih tulisan , tulisan yang dihantar ke majalah Detik dipilih oleh penal ini, akupun tidak tahu bahawa tulisan itu aku yang punya rupanya….kerana sang penilai mengatakan tulisan tersebut berkaitan dengan mimpi yang dibawa dalam penulisan menjadi bentuk tulisan ilmiah. Aku menyedari tulisan itu adalah tulisan aku, Bercerita tentang Sang Pemula……bacalah dalam Majalah Detik edisi pertama mula diterbitkan tahun 1990 ( kepunyaanku sendiri entah hilang kemana, sape-sape yang masih punya Majalah tersebut boleh berkongsi denganku). Ceritanya mengenai perjuangan kemerdekaan seorang tokoh di negara kita yang akhirnya dianggap sebagai tokoh perjuangan di Indonesia, Saudara Ibrahim Yaakob. Itulah tulisan pertamaku….dapatlah jugok honorarium sebanyak 150ribu rupiah (kalau tak silap)
Namun sangat disayangkan, sampai saat ini aku sendiri lebih sering tidak sempat atau belum mampu mencermati “bentuk tulisan” tersebut untuk pembelajaran. Bagaimana aku akan “nyolong ilmu” atau mencuri ilmu cara menulis dari sebuah tulisan, kalau “roh tulisan” itu sudah lebih dulu mencengkeram perhatian aku, menarik pikiran dan perasaan untuk masuk, masuk ke dalam dunia angan-angan pemikiran sang penulis.Tidak bisa dikendalikan. Jika begitu, sudah tidak mampu lagi memperhatikan bentuk tulisan. Dengan lemas dan tak berdaya diseret oleh ruh tulisan ke dalam dunia pemikiran sang pengarang.
Misalnya sampai sekarang aku masih terbayang-bayang dengan kelanjutan nasib kisah cinta Minke dan Anelis. Bagaimana keadaan mereka setelah berpisah di pelabuhan. Demikian juga aku ingin bertemu dengan Nyai Ontosoroh atau melihat langsung kegagahan Darsam, jagoan dari Madura. Padahal tokoh-tokoh itu hanya khayalan Pramoedya Ananta Toer dalam Trilogi Bumi Manusia. Namun seolah-olah nyata dan ada. Dan bukan cuma tulisan-tulisan karya Pramoedya Ananta Toer saja yang menghisap pikiran dan perasaan hingga tidak sempat lagi memperhatikan bentuk tulisannya.
Tapi masih banyak lagi penulis-penulis yang mampu membuat jurang-jurang untuk menyeret, menyedot, menghisap pembaca agar masuk berputar-putar di dunia khayal. Misalnya saat ini tulisan Andrea Hirata dalam Trilogi Laskar Pelanginya, menyebabkan aku akhirnya tersadar untuk mencoba mengapung di atas aliran roh tulisan-tulisan yang begitu bagus yang aku baca. Dan berkata: apakah aku bisa menulis seperti itu?
Membaca tulisan-tulisan di akhbar pun demikian. Lebih sering aku terseret dalam roh tulisan, tanpa sempat lagi memperhatikan untuk belajar teknik menulisnya. Aduh …..bagus sekali tulisan ini…..itulah ucapan ku….tak terpadam
Beruntunglah juga aku belajar di Jawa memang telah termenteri aku datang ke sini, di Jawa dan Jakarta. Baru terbuka mata aku, betapa hebatnya para mahasiswa dengan berbagai pemikiran dan ideologi yang aku yakin mampu diguna di bidang masing-masing, tergantung pada minat, wawasan, hobi, serta pengalaman. Kemudian sering merasa betapa kecil diri ini dengan keterbatasan ilmu, wawasan dan pengalaman lalu turut terikut-ikutan “nggaya” keberanian dan kefahaman mahasiswa. Setiap mahasiswa mempunyai ideologi dan idea tersendiri.
Bagiku, dunia pendidikan dan dunia penulisan adalah dua dunia yang saling melengkapi. Pendidikan tanpa kemahiran menulis akan menyebabkan apa yang dipelajari dan diajar akan hilang tanpa kesan, sementara hanya faham dunia penulisan tanpa mempunyai jiwa pendidikan menyebabkan pendidikan itu tidak mempunyai jiwa yang tepat. Jadi disini aku kan cuba menyatukan kedua-duanya……apakah hasilnya seperti aku harapkan…….duh bagus sekali tulisan ini……
Aku sedar menulis itu adalah suatu pekerjaan yang dilakukan daripada panggilan hati, seorang menulis adalah untuk menjaga peradaban agar tidak lenyap mengikut peredaran zaman, menulis bererti mengikat ilmu, menulis bererti seperti seorang bidan membantu kelahiran bayi-bayi sejarah yang akan dikenal, dirasa, kemudian tumbuh menjadi besar. Menulis bererti membenihkan gagasan untuk dilahirkan sebelum akhirnya membesar seperti pohon liar yang terus menerus tumbuh memanjat terus ke langit.
Ya, aku hanya ingin bisa menulis bagus biarpun masih belepotan dan rasanya masih juga jauh dari harapan. Semoga tetap bisa menjaga semangat dan tidak putus asa. Semangat semasa belajar di Jawa, semangat di Fakultas Ilmu Sosial Budaya (dulu Fakultas Sastera), Jurusan Sejarah, Universiti Indonesia. Semangat semasa bergelar mahasiswa. Semangat Mat jali…….
Tentu pada akhirnya kembali pada “be yourself” jadilah dirimu sendiri. Tapi apa salahnya mengagumi jiwa tulisan penulis-penulis hebat, siapa tahu suatu masa nanti ada sedikit ilham dan mimpi memperolehi kemampuan menulis. Dan dengan sedikit keberanian serta berlatih dan terus berlatih yang cuba aku usahakan. Biarpun semasa menulisnya mencari kesempatan duduk sebentar di saat memerhati burung berkicauan. Atau ketika sedang bermain dengan anak-anakku. Kemudian disimpan di dalam draft untuk nanti siap dicerna entah bila dan menjadi satu tulisan yang bagus. Tulisan inipun untuk menjadi rampung sebegini memakan masa sebulan-bulan….idea bermula setelah membaca tulisan kawan-kawan dalam laman kisah-kisah di Indonesia….duh bagus sekali tulisan ini….itu saja yang dapat aku katakan setelah membacanya tulisan kawan-kawan yang pernah belajar di Jawa..
Sebenar-benarnya aku memang seorang pemimpi. Tidak punya profesan lain. Tapi aku selalu berusaha menghargai profesi lain. Seperti halnya saat aku makan nasi, aku ingat ada jerih payah petani di setiap butirnya. Jangan sampai nasi tertumpah kelantai, itu pesan ibubapaku..dan itulah jugak yang aku beritahu kepada ank-anakku, jangan ingat hidup kita senang kerana tidak menjadi petani sepenuhnya, menjadi alasan tidak menghargai petani.
“Jangan takut untuk berimpian besar, kerana yang orang tidak punya impian bererti tidak punya cita-cita dan masa depan” pesan orang tua-tua. Tapi bermimpi bukannya seperti Mat Jenin…bermimpilah dengan sentiasa berusaha untuk mencapai apa yang diimpikan……pesan itu datangnya dari ayahku.
Jika aku sedang membaca berita di akhbar, terbayang di belakang kata demi kata ada wartawan yang bekerja keras. Dalam aktiviti menulis dan membaca, masih terngiang-ngiang bagaimana ibubapa dan guruku dengan sabarnya membimbing aku mengenalkan huruf demi huruf sampai aku faham. Sampai aku pandai tulis dan baca. Walupun ibupaku sekadar mengenal beberapa huruf dan hanya sekadar boleh membaca.Yang jelas, beberapa tahun di Jawa, rasanya aku tergembleng oleh suhu-suhu yang panas dalam buku-buku yang aku baca dan bidang yang aku tekuni. Langsung tidak langsung, sengaja tidak sengaja, tulisan itu telah mengajari aku : begini lho kalau mahu hidup…..belajarlah dari pengalaman..
Walaupun tetap semuanya kembali pada diri sendiri. Mampu atau tidak menyerap pelajaran dari materi yang diajar.Mudah-mudahan sedikit waktu di Jawa telah memberi banyak bekal untuk bisa aku bawa kembali ke gubuk derita yang telah aku huni bertahun-tahun. Semoga ada peningkatan. Lantainya yang kayu, bisa aku ganti dengan jubin biarpun jubin kasar. Dindingnya dari buluh akan aku ubah minimalnya cukup pakai papan sahaja. Kehidupan masyarakat petani berubah menjadi masyarakat pedangang…bukankah itu matlamat dan tujuan pendidikan kita….mengubah kehidupan pelajar menjadi lebih baik…..
Hanya terima kasih yang bisa aku ucapkan kepada semua pensyarah dan kawan-kawan seperjuangan di Jawa, sembari membaca tulisan-tulisan yang diterbitkan, kemudian berusaha mengapung dan berdecak kagum : akan bermulakah kisahku….kisah suka duka semasa belajar di Jawa…kisah seorang anak desa yang telah tidak sengaja dapat belajar di Jawa…. duh… tulisan ini bagus sekali…Ini kisahku……..kisah Jawa Jaman Jali.
Jali Mat Jali, 29 September 2011.
Blog ini dicipta khas bagi memuat kisah kisah yang dialami pelajar Malaysia ketika mula belajar di Indonesia. Paparan ini berdasarkan kepada pengalaman pribadi pengarang masing-masing dan tidak mencerminkan pendapat empunya blog atau Persatuan Alumni Pendidikan Tinggi Indonesia (PAPTI). Semua alumni digalakkan menulis pengalaman masing-masing untuk tatapan bersama dan dibukukan sebagai khazanah bangsa dalam Bahasa Melayu.
Friday, 30 September 2011
Wednesday, 28 September 2011
Nostalgia Di Kampus Depok – Siri 14 – Nor Aizan Ab Halim
Pulang Kampung Membawa Misi
Selesai makan, aku dan Adik berjalan-jalan sekitar Kuala Lumpur, mengisi masa sebelum bertolak balik ke Kuantan. Pada mulanya aku berhajat naik bas ke Kuantan, tetapi Adik tiba-tiba mengubah fikirannya, mahu menghantar terus aku ke Kuantan. Rindu nak jumpa mak katanya.
Dalam perjalanan pulang aku menyatakan hasrat Irfan terhadapku. Hanya aku berharap Adik memberikan pendapatnya mengenai hal ini. Adik, walaupun usianya lebih muda dariku, tetapi berfikiran matang dan selalu memberi pendapat yang bernas dan tindakan yang rasional.
“Adik, akak nak tanya pendapat adik.” Aku memulakan bicaraku. Izani memandangku, menunggu bicaraku seterusnya.
“Ada org nak melamar akak,” sambungku, sambil mataku memandang tepat ke muka Adik. “Oh...orang mana?” Adik yang tidak banyak cakap orangnya, mula menunjukkan minatnya.
“Orang sana....,” sambungku lagi. Adik kelihatan terkejut dengan jawapanku. Tidak menyangka agaknya, baru setahun lebih putus cinta, sudah ada penggantinya, orang jauh pulak. Akhirnya adik tersenyum memandangku.
“Kenapa senyum...?” Aku rasa tidak selesa melihat senyuman adik yang macam tidak ikhlas.
“Tak pelah..kalau Kak Zan dah suka, go a head dan Ford Laser...Cuma kak Zan kena fikir banyak perkara. Bukan mudah kawin orang asing ni. Nanti dah tak boleh selalu balik sini lagi, Mak macamana, sapa nak tengok-tengok dan jaga Mak. Akak kan sekarang satu-satunya anak perempuan Mak. Status anak-anak nanti macamana?” Adik mula memberikan hujah-hujahnya. Semua yang dikatakan adik juga ada di mindaku, tetapi aku belum menganalisisnya secara mendalam lagi. Perkara baru bermula, belum banyak yang mampu dihuraikan.
Aku hanya mendengar dan berfikir. Melihat aku diam, adik meneruskan bicaranya, “Kak Zan memang suka dia ke? Macam sukakan AHH dulu....?” Sengaja adik bertanya untuk menyedarkan aku dan mengarahkan aku berfikir secara mendalam. Adik tidak mahu aku memilih Irfan kerana rasa nak mengisi kekosongan hati, bukan kerana sayang atau cinta yang sebenarnya.
“Entah...suka, tapi tidak tahu setakat mana akak sayangkan dia, masih baru kenal” jawabku perlahan, lemah hati sebenarnya.
“Saya setuju je kalau kak zan suka, Yang penting Kak Zan bahagia, saya tumpang bahagia. Saya tak nak tengok lagi Kak Zan macam dulu, tolong Kak Zan pikir dan pilih betul-betul, jangan jadi macam dulu. Tolonglah, Kak Zan tahu betapa sedih dan hancur hati saya melihat Kak Zan masa tu, jangan sampai berulang lagi. Saya sayangkan Kak Zan macam kakak sendiri. Susah Kak Zan, susah juga saya.” Adik mengembalikan kenangan masa laluku yang sangat menyakitkan. Memang benar apa yang dikatakan Adik.
“Saya tidak selamanya ada di sisi Kak Zan, macamana kalau Kak Zan susah nanti, sape nak jaga...sape nak tengokkan.” Tiba-tiba hati jadi sebak mendengar pengakuan adik. Memang jasanya sangat banyak padaku. Mengalahkan adik beradik sendiri. Hanya doaku semoga limpahan kurnia Allah kepadanya sepanjang hidupnya. Adik yang sekali pandang kelihatan sombong, sebenarnya mempunyai seketul hati yang sangat mulia penuh keikhlasan.
Lebih kurang empat jam perjalanan, tibalah kami ke restoran mak di Batu 10 Jalan Gambang. Jam baru menunjukkan pukul 11 malam. Restoran masih dibuka. Kelihatan beberapa orang pelanggan sedang menikmati makan malam.
Adik memberhentikan kereta Fort Laser putihnya, jauh dari kedai mak. Aku berdiri di luar kereta. Dari jauh nampak sosok tubuh mak yang kurus, sedang berbual dengan salah seorang pelanggannya sambil menonton televisyen.
Sebelum melangkah ke arah kedai, aku mencari kekuatan untuk berjumpa mak. Tak mahu menangis dan meratap. Biarlah pertemuan ini dalam keadaan yang mengembirakan, setelah sekian lama berjauhan. Ya Allah, tolonglah beri aku kekuatan dalam setiap langkahku. Aku mula melangkah perlahan dengan diikuti adik di belakang.
Ketika aku mula melangkahkan kaki kananku ke dalam kedai mak, semua mata yang ada di dalam kedai memandang ke arahku. Beberapa orang dari mereka kukenal, pelanggan tetap mak. Aku hanya senyum dan mengangguk ke arah mereka, tanda ucap salam. Aku terus menuju ke arah mak.
“Mak....!” Perkataan pertama yang keluar dari bibirku setelah hampir setengah tahun aku tidak memanggilnya. Mak bingkas bangun dari kerusi, terus meluru ke arahku lalu memelukku sekuat hati. Lemas, rasa tidak dapat bernafas aku seketika. Faham sangat. Mak sedang melepaskan kerinduan yang amat sangat kepadaku, satu-satunya anak perempuan yang dia ada kini. Air mata mak menitik ke mukaku. Tubuh mak mula bergegar, menahan tangisnya. Aduh, ini yang aku paling tidak tahan. Tangisan. Aku juga akan menangis. Aku sudah habis daya untuk menahan air mata aku dari keluar. Sudah penuh, menunggu masa untuk menitis dari kelopak mataku. Akhirnya air mata bercucuran juga melimpah keluar. Kalah lagi aku.
Kesedihan mak berlipatkali ganda kerana kerinduan kepada kakak sebenarnya. Inilah masa dia meluah dan melepaskan segala kerinduan dan kesedihan yang dipendam selama ini. Aku membiarkan saja mak berbuat sesuka hatinya, Cuma aku mengajak mak dan adik ke ruang tamu belakang agar tidak menganggu pelanggan kami yang sedang menikmati makanan mereka.
“Mak, dah lah...dah banyak sangat nangis tu...” Aku memujuk mak setelah menyedari mak belumpun bersalaman dengan adik. Aku meleraikan rangkulan mak, “Mak...ni adik Izani, ingat lagi tak....?” Aku menyedarkan mak akan kehadiran adik, bimbang mak tak dapat mengingati adik yang pernah datang beberapa tahun dulu. Mak mengangguk sambil menghulurkan tangan bersalam dengan adik, yang sejak dari tadi hanya diam dan memerhati gelagat kami dua beranak.
“Apa khabar mak cik...?” Adik bertanya khabar, memulakan perbualan dengan mak. Aku beredar untuk menyiapkan makan malam. Kami belum makan. Tadi malas nak berhenti makan semasa dalam perjalanan.
“Adik nak makan apa, makanan panas atau nasi putih dengan lauk....? Aku ingin mendapatkan kepastian adik yang selalunya cerewet dalam memilih makanan.
“Panas....nasi goreng kampung pun boleh lah....” Itulah makanan kegemaran adik, dah tahu tapi saja nak pastikan kalau-kalau adik nak ubah selera hari ini. Adik tetap adik, tak berubah dia sejak dari dulu, begitulah gayanya.
Tukang masak mak, abang Di, menggoreng nasi goreng kampung untuk kami berdua. Sama menu supaya cepat, dah lapar sangat. Aroma nasi goreng kampung menambah lagi rasa lapar kami. Tukang masak mak, suami isteri dari Thailand, memang sangat pandai memasak. Mungkin ini salah satu lagi pemangkin kepada kelestarian restoran mak walaupun dalam keadaan kemelesetan melanda.
Hidangan yang sungguh menyelerakan. Itulah nikmatnya kalau makan dalam keadaan lapar. Sambil makan, macam-macam yang dibualkan. Semua isu setengah tahun dan sebelumnya menjadi topik perbualan kami. Adik pun tak putus-putus bercerita. Namun, sangat berahsia tentang buah hatinya. Sampai sudah aku tidak diperkenalkan kepada kekasihnya. Aku sendiripun tidak faham kenapa dia sangat tertutup tentang hal ini denganku.
“Alah nantila, kalau dah confirm nak kahwin, saya bawa dia jumpa kak Zan...jangan risau, minta restu dulu...” Itulah jawapan adik setiap kali aku mengungkitkan tentang hal itu kepadanya. Tak apalah, aku pun tidak mahu memaksanya, pasti dia punya alasan sendiri untuk berbuat demikian.
Lebih kurang pukul 12 malam, aku dan adik membawa mak balik ke rumah kami di Taman Tas. Baru terasa penat dan mengantuk. Biasanya mak tidur di restorannya, tapi hari ini mak terpaksa juga ikut kami balik kerana rumah kosong, tiada orang. Tak manis pula aku dan adik berdua saja di rumah. Adik-adikku Am, tingkatan 4 dan Boy, tingkatan 2 ikut rombongan sekolah ke Cameron Highland. Makan angin.
Adik tidak jadi balik ke Kuala Lumpur hari ini, sambung cuti dua hari lagi dia. Adik mengikut aku dan mak ke kubur arwah kakak. Sayu juga hati bila ingatkan kakak. Waktu aku pergi ke Jakarta, kakak masih boleh senyum dan ketawa denganku. Tapi sekarang, hanya batu nisan yang menjadi tanda. Tapi kena redha terima segalanya. Setelah selesai membaca Surah Yasin, dan berzikir sedekah untuk arwah kakak, kami meninggalkan pusara kakak dengan hati sayu.
Kami menuju ke kedai mak. Pelanggan sedang ramai di kedai mak. Kami ikut menyibukkan diri melayan pelanggan di kedai mak. Adikpun sibuk menjadi ‘waiter’. Pelanggan masih ramai walaupun waktu makan tengahari sudah lewat, hampir jam 3 petang. Sedang kami sibuk melayan para pelanggan, tiba-tiba terasa bahuku dicuit dan salam diberi.
“Assalamualaikum!” Eh, rasa macam biasa mendengar suara ini. Ketika aku berpaling ke arah pemilik suara aku amat-amat terkejut, nak tercabut jantungku kerana pemilik suara ni adalah Roslan....Abang Roslan, panggilan atas permintaannya hari tu, ketika dalam perjalanan balik Sabtu lepas.
“Eh abang....buat apa kat Kuantan?” Tak terduga soalan begitu yang keluar dalam keadaan terkejut.
“Hai, macam tak suka je abang datang?” Roslan tersinggung dengan pertanyaanku.
“Eh tak...sori...sori....terkejut sebenarnya, tak sangka abang Roslan dah sampai ke Kuantan ni. Bila sampai dari Temerloh?” Cepat-cepat aku mengubah nada perbualan kami supaya dia tidak terasa tidak diundang, sambil mengajaknya duduk.
“Baru sampai, ini dalam perjalanan ke rumah kakak di Taman Tok Sira. Mak pun ada kat rumah kakak.” Roslan menjelaskan dengan suara yang mendatar, tenang.
Adik pun datang duduk di meja Roslan. “Abang dah lunch ke belum?” Tanyaku.
“Belum....,” akui Roslan.
“Eloklah, kamipun belum makan, dari tadi tak henti-henti melayan pelanggan, tak sempatpun nak makan. Bolehlah kita makan sama-sama.” Perutku pun sudah berkeroncong. Adikpun aku pasti sedang menahan laparnya, tapi segan nak minta makan duluan.
Aku mengajak adik dan Roslan memilih lauk yang sesuai dengan selera mereka masing-masing. Kak Ya, pembantu Mak mengisi lauk-lauk yang dipilih ke dalam pinggan dan menghantarnya ke meja kami. Rupa-rupanya, Roslan penggemar makanan laut, udang, ketam dan ikan sambal. Tidak suka sayur dia. Adik pula sangat suka sayur, sampai dua sayur diambil, sayur goreng campur dan sayur lemak bayam dengan ikan goreng. Aku biasa saja sayur dan lauk, semua makan. Kami menjamu selera sambil rancak berbual. Disebabkan terlalu lapar, rasanya sedap sangat.
Sedang kami rancak makan dan berbual-bual, Mak muncul dari dapur. Aku memanggil Mak, memperkenalkannya kepada Roslan.
“Apa khabar Mak cik?” Roslan dengan nada ramah menyapa mak.
“Baik...” Mak duduk di sebelahku. Aku memaklumkan kepada mak bahawa inilah orang yang aku ceritakan kepada mak, yang menolongku ketika di lapangan terbang. Mak hanya mengangguk dan berterima kasih kepada Roslan atas budinya. Mak meminta diri ke dapur, setelah dipanggil Kak Nah, pembantu mak. Mungkin untuk menyiapkan kerja yang belum beres.
“Makanlah ye...jangan segan-segan, mak cik ke dapur dulu,” kata mak sambil meminta diri. “Nak minum apa ya?” Tanya mak setelah menyedari hanya air kosong berada di sebelah kami.
Roslan minta teh tarik dan adik tea o ais. Kak Ya kemudiannya menghantar kepada kami. Kami terus makan sambil berbual semakin rancak. Adik yang biasanya pendiam dan lebih suka mendengar, hari ini banyak pula ceritanya. Sesuai pula dia dengan Roslan.
Huh...hampir tiga jam melayan mereka makan dan bersembang. Penat juga. Roslan meneruskan perjalanannya ke rumah kakaknya. Janjinya dia akan datang lagi....ye ke? Ada ke masa dia nak ke sini lagi? Tak apalah, memang di sini tempat makan, ramai yang jadi tetamu. Adik masih ada sehari lagi bersama kami. Betah dia bersama-sama kami.
Roslan mengotakan apa yang dikatanya. Besoknya dia muncul lagi untuk bersarapan di restoran mak bersama-sama aku dan adik. Menu mak pagi ini selain yang biasa nasi lemak, nasi berlauk, ada tambahannya, nasi kerabu dan nasi impit.
Adik sudah menjeling padaku ketika melihat Roslan muncul lagi di pagi hari. Apa maksud jelingan adik yang sebenarnya aku kurang pasti. Adik tetap duduk melayan Roslan, sedangkan aku terpaksa menolong melayan permintaan pelanggan mak yang tidak putus-putus masuk.
Sewaktu hendak balik ke Kuala Lumpur petangnya, adik memperliku, “kak, lain macam je abang Roslan tu.” Terkejut juga dengan cakap adik, “lain macam mana tu adik?” Aku ingin dapatkan kepastian. “Macam dia sukakan akak je,” adik melahirkan rasa syak dihatinya.
“Mana adik tau?” Aku mula mendapatkan reaksi adik dari apa yang dilontarkan sebentar tadi.
“Masa bercakap, matanya tak lepas dari pandang kak Zan....bila akak ke dapur, matanya ikut ke dapur, waktu akak melayan pelanggan, matanya pun ikut sama. Macam-macam dia tanya saya tentang akak. Dia dahpun minta nombor telefon saya, nak merisik pasal akaklah tu...” Adik memaklumkan dengan panjang lebar sekali akan dugaannya.
“Ye ke...kalau macam tu dah boleh anggap dia suka akak ke?” Giliran aku pula yang menyoal adik. “Alaa...saya tau la, saya kan lelaki.....” Adik begitu yakin dengan kata-katanya.
Bila adik sebut macam tu, aku dah mula jadi tidak sedap hati. “Mungkin dia jenis yang macam tu kot...suka perhatikan orang.” Aku cuba menolak apa yang menjadi keyakinan adik.
“Sama-samalah kita tengok nanti. Dia cuti lama tau....sama lamanya dengan cuti kak Zan kat Malaysia. Nanti tiap hari dia datang jumpa kak zan.” Adik menjawab dalam nada mengusikku.
Akhirnya adik jadi juga balik ke Kuala Lumpur kira-kira pukul 3 petang dia bertolak. Janjinya akan datang lagi minggu depan.
Tinggal aku dan mak. Bila berdua, lebih mudah aku meluahkan apa yang terpendam dalam hatiku mengenai Irfan. Agaknya apalah reaksi mak bila aku kemukakan hal ini kepadanya. Suka ke dia? Atau akan menambah dukanya. Seram juga nak melahirkan kata-kata, bimbang akan menambah luka yang sedang mak lalui tanpa kakak dan aku.
Aku cuba juga menyampaikan dan mendengar pandangan mak. Ketika mak rehat di ruangan tamu, aku ambil kesempatan berbual-bual dengan mak. Aku sudah bersedia dengan gambar Irfan. Aku hulurkan gambar tersebut kepada mak. Mak menerima dan merenung gambar tersebut sambil bertanya kebingungan, melihat gambar aku dan seorang lelaki yang tidak dikenalinya. Biasanya semua kawan aku mak kenal.
“Sape....?” Tanya mak sambil memandang ke arahku dengan penuh perasaan ingin tahu.
“Kawan K kat sana.....,” jawabku perlahan.
Gelaran manjaku di rumah K atau kalau tengah marah keluargaku memanggilku CK. Kadang-kadang ada yang panggil Nor juga. Aku tak kesah panggil aku apapun asalkan masih releven dengan namaku.
Nama tubuhku yang dipersetujui mak ialah Noraizan Ashikin, tak tahulah macamana jadi Nor Aizan dalam surat beranakku. Di rumah sejak lahir dibiasakan Ashikin, yang akhirnya tinggal K atau CK sahaja.
Mak dan ayah selalu bergaduh pasal nama anak. Dari abangku yang sulung, mak nak namakan Abdul Rahimi, tapi ayah letakkan Abdul Rahim saja. Akhirnya nama panggilan di rumah jadi ‘Mie’ saja. Kakakku Norezah Eizan, tapi dalam surat beranak jadi Norezah. Kat rumah, kakak dipanggil Eizan.
“Kat sana mana....Jakarta? Orang Malaysia?” Wah mak bertubi-tubi menyoalku, macam polis pencen. Tidak sabar-sabar, ingin tahu. Hatiku pula yang mula berdebar-debar, tidak tahu kenapa, takut agaknya.
“Orang sanalah...orang Jakarta, orang Jawa.” Aku menjelaskan. Mak terdiam.
“Kawan macamana?” Mak belum berpuas hati dengan jawapanku, meneruskan investigasinya.
Aku menarik nafas panjang, mencari ketenangan untuk berkata-kata. Memang tidak mudah, walaupun nampak mudah. Aku menyusun ayat-ayat yang baik untuk menjelaskan kepada mak tentang hasrat hati Irfan. Aku sendiri belum pasti perasaan sebenarku pada Irfan. Namun setelah beberapa hari di kampung, aku mula rasa kosong hati dan ada rindu di sana. Mungkin itu adalah bunga-bunga cinta yang menyapa hatiku. Tetapi yang lebih penting restu mak dulu. Kemudian baru aku fikir mahu menerima Irfan atau tidak dalam hidupku.
Sedang aku berfikir tentang Irfan, dan mencari jawapan yang sesuai untuk mak, tiba-tiba telefon berdering. Aku bangkit mengangkatnya. Mendengar suara di hujung sana, hatiku berdegup kencang, gembira sebenarnya. Rindu terubat.
“Nur....rindunya aku, tak sanggup lama-lama begini....,” ucap Irfan mengada-ngada, memulakan perbualan setelah masing-masing bertanya khabar. Sebenarnya akupun sama, tapi tidak mahu mengakuinya.
“Kamu ngak rindu sama aku...?” Soalan Irfan yang klise. Aku hanya ketawa dalam telefon. Tetap tidak mahu mengakui yang aku juga rindukannya. Tidak boleh membohongi diri sendiri.
Boleh tahan juga sewelnya si-Irfan ni, dari Australia sanggup dia menelefon aku. Lama pulak tu kami berbual-bual. Belumpun sampai seminggu, janjinya setelah seminggu baru mahu telefon. Mungkir janji dia.
Irfan hanya ketawa besar ketika aku ingatkan dia tentang janjinya itu, “ngak bisa gue...tiap hari kangen sama kamu....” Bunyinya macam jujur saja Irfan melahirkan kata-katanya. Kalaupun tak jujur tak apalah, yang penting aku suka mendengarnya. Tapi harap-harap betullah jujur.
“Mau ngomong sama ibu gue ngak?” Tanyaku. Lama juga Irfan diam, berfikir agaknya.
“Bisa ngak...nanti apa ibu bilang...ngak sopan...atau bagaimana?” Irfan melahirkan rasa bimbangnya dan mungkin juga segan dia.
Akhirnya Irfan bersetuju untuk bercakap dengan mak dan melahirkan hasrat hatinya sendiri dengan mak. Mak pun nampak relaks saja, tidak tegang wajahnya seperti tadi, selepas bercakap dengan Irfan, namun membisu seribu bahasa bila aku tanya apa yang Irfan cakap padanya. Irfan juga tidak menceritakan isi perbualannya dengan Mak sebentar tadi.
Kenapa mereka berdua masing-masing berahsia denganku?
Nor Aizan Ab. Halim, Bandar Baru Bangi, 28 Sept 2011.
Selesai makan, aku dan Adik berjalan-jalan sekitar Kuala Lumpur, mengisi masa sebelum bertolak balik ke Kuantan. Pada mulanya aku berhajat naik bas ke Kuantan, tetapi Adik tiba-tiba mengubah fikirannya, mahu menghantar terus aku ke Kuantan. Rindu nak jumpa mak katanya.
Dalam perjalanan pulang aku menyatakan hasrat Irfan terhadapku. Hanya aku berharap Adik memberikan pendapatnya mengenai hal ini. Adik, walaupun usianya lebih muda dariku, tetapi berfikiran matang dan selalu memberi pendapat yang bernas dan tindakan yang rasional.
“Adik, akak nak tanya pendapat adik.” Aku memulakan bicaraku. Izani memandangku, menunggu bicaraku seterusnya.
“Ada org nak melamar akak,” sambungku, sambil mataku memandang tepat ke muka Adik. “Oh...orang mana?” Adik yang tidak banyak cakap orangnya, mula menunjukkan minatnya.
“Orang sana....,” sambungku lagi. Adik kelihatan terkejut dengan jawapanku. Tidak menyangka agaknya, baru setahun lebih putus cinta, sudah ada penggantinya, orang jauh pulak. Akhirnya adik tersenyum memandangku.
“Kenapa senyum...?” Aku rasa tidak selesa melihat senyuman adik yang macam tidak ikhlas.
“Tak pelah..kalau Kak Zan dah suka, go a head dan Ford Laser...Cuma kak Zan kena fikir banyak perkara. Bukan mudah kawin orang asing ni. Nanti dah tak boleh selalu balik sini lagi, Mak macamana, sapa nak tengok-tengok dan jaga Mak. Akak kan sekarang satu-satunya anak perempuan Mak. Status anak-anak nanti macamana?” Adik mula memberikan hujah-hujahnya. Semua yang dikatakan adik juga ada di mindaku, tetapi aku belum menganalisisnya secara mendalam lagi. Perkara baru bermula, belum banyak yang mampu dihuraikan.
Aku hanya mendengar dan berfikir. Melihat aku diam, adik meneruskan bicaranya, “Kak Zan memang suka dia ke? Macam sukakan AHH dulu....?” Sengaja adik bertanya untuk menyedarkan aku dan mengarahkan aku berfikir secara mendalam. Adik tidak mahu aku memilih Irfan kerana rasa nak mengisi kekosongan hati, bukan kerana sayang atau cinta yang sebenarnya.
“Entah...suka, tapi tidak tahu setakat mana akak sayangkan dia, masih baru kenal” jawabku perlahan, lemah hati sebenarnya.
“Saya setuju je kalau kak zan suka, Yang penting Kak Zan bahagia, saya tumpang bahagia. Saya tak nak tengok lagi Kak Zan macam dulu, tolong Kak Zan pikir dan pilih betul-betul, jangan jadi macam dulu. Tolonglah, Kak Zan tahu betapa sedih dan hancur hati saya melihat Kak Zan masa tu, jangan sampai berulang lagi. Saya sayangkan Kak Zan macam kakak sendiri. Susah Kak Zan, susah juga saya.” Adik mengembalikan kenangan masa laluku yang sangat menyakitkan. Memang benar apa yang dikatakan Adik.
“Saya tidak selamanya ada di sisi Kak Zan, macamana kalau Kak Zan susah nanti, sape nak jaga...sape nak tengokkan.” Tiba-tiba hati jadi sebak mendengar pengakuan adik. Memang jasanya sangat banyak padaku. Mengalahkan adik beradik sendiri. Hanya doaku semoga limpahan kurnia Allah kepadanya sepanjang hidupnya. Adik yang sekali pandang kelihatan sombong, sebenarnya mempunyai seketul hati yang sangat mulia penuh keikhlasan.
Lebih kurang empat jam perjalanan, tibalah kami ke restoran mak di Batu 10 Jalan Gambang. Jam baru menunjukkan pukul 11 malam. Restoran masih dibuka. Kelihatan beberapa orang pelanggan sedang menikmati makan malam.
Adik memberhentikan kereta Fort Laser putihnya, jauh dari kedai mak. Aku berdiri di luar kereta. Dari jauh nampak sosok tubuh mak yang kurus, sedang berbual dengan salah seorang pelanggannya sambil menonton televisyen.
Sebelum melangkah ke arah kedai, aku mencari kekuatan untuk berjumpa mak. Tak mahu menangis dan meratap. Biarlah pertemuan ini dalam keadaan yang mengembirakan, setelah sekian lama berjauhan. Ya Allah, tolonglah beri aku kekuatan dalam setiap langkahku. Aku mula melangkah perlahan dengan diikuti adik di belakang.
Ketika aku mula melangkahkan kaki kananku ke dalam kedai mak, semua mata yang ada di dalam kedai memandang ke arahku. Beberapa orang dari mereka kukenal, pelanggan tetap mak. Aku hanya senyum dan mengangguk ke arah mereka, tanda ucap salam. Aku terus menuju ke arah mak.
“Mak....!” Perkataan pertama yang keluar dari bibirku setelah hampir setengah tahun aku tidak memanggilnya. Mak bingkas bangun dari kerusi, terus meluru ke arahku lalu memelukku sekuat hati. Lemas, rasa tidak dapat bernafas aku seketika. Faham sangat. Mak sedang melepaskan kerinduan yang amat sangat kepadaku, satu-satunya anak perempuan yang dia ada kini. Air mata mak menitik ke mukaku. Tubuh mak mula bergegar, menahan tangisnya. Aduh, ini yang aku paling tidak tahan. Tangisan. Aku juga akan menangis. Aku sudah habis daya untuk menahan air mata aku dari keluar. Sudah penuh, menunggu masa untuk menitis dari kelopak mataku. Akhirnya air mata bercucuran juga melimpah keluar. Kalah lagi aku.
Kesedihan mak berlipatkali ganda kerana kerinduan kepada kakak sebenarnya. Inilah masa dia meluah dan melepaskan segala kerinduan dan kesedihan yang dipendam selama ini. Aku membiarkan saja mak berbuat sesuka hatinya, Cuma aku mengajak mak dan adik ke ruang tamu belakang agar tidak menganggu pelanggan kami yang sedang menikmati makanan mereka.
“Mak, dah lah...dah banyak sangat nangis tu...” Aku memujuk mak setelah menyedari mak belumpun bersalaman dengan adik. Aku meleraikan rangkulan mak, “Mak...ni adik Izani, ingat lagi tak....?” Aku menyedarkan mak akan kehadiran adik, bimbang mak tak dapat mengingati adik yang pernah datang beberapa tahun dulu. Mak mengangguk sambil menghulurkan tangan bersalam dengan adik, yang sejak dari tadi hanya diam dan memerhati gelagat kami dua beranak.
“Apa khabar mak cik...?” Adik bertanya khabar, memulakan perbualan dengan mak. Aku beredar untuk menyiapkan makan malam. Kami belum makan. Tadi malas nak berhenti makan semasa dalam perjalanan.
“Adik nak makan apa, makanan panas atau nasi putih dengan lauk....? Aku ingin mendapatkan kepastian adik yang selalunya cerewet dalam memilih makanan.
“Panas....nasi goreng kampung pun boleh lah....” Itulah makanan kegemaran adik, dah tahu tapi saja nak pastikan kalau-kalau adik nak ubah selera hari ini. Adik tetap adik, tak berubah dia sejak dari dulu, begitulah gayanya.
Tukang masak mak, abang Di, menggoreng nasi goreng kampung untuk kami berdua. Sama menu supaya cepat, dah lapar sangat. Aroma nasi goreng kampung menambah lagi rasa lapar kami. Tukang masak mak, suami isteri dari Thailand, memang sangat pandai memasak. Mungkin ini salah satu lagi pemangkin kepada kelestarian restoran mak walaupun dalam keadaan kemelesetan melanda.
Hidangan yang sungguh menyelerakan. Itulah nikmatnya kalau makan dalam keadaan lapar. Sambil makan, macam-macam yang dibualkan. Semua isu setengah tahun dan sebelumnya menjadi topik perbualan kami. Adik pun tak putus-putus bercerita. Namun, sangat berahsia tentang buah hatinya. Sampai sudah aku tidak diperkenalkan kepada kekasihnya. Aku sendiripun tidak faham kenapa dia sangat tertutup tentang hal ini denganku.
“Alah nantila, kalau dah confirm nak kahwin, saya bawa dia jumpa kak Zan...jangan risau, minta restu dulu...” Itulah jawapan adik setiap kali aku mengungkitkan tentang hal itu kepadanya. Tak apalah, aku pun tidak mahu memaksanya, pasti dia punya alasan sendiri untuk berbuat demikian.
Lebih kurang pukul 12 malam, aku dan adik membawa mak balik ke rumah kami di Taman Tas. Baru terasa penat dan mengantuk. Biasanya mak tidur di restorannya, tapi hari ini mak terpaksa juga ikut kami balik kerana rumah kosong, tiada orang. Tak manis pula aku dan adik berdua saja di rumah. Adik-adikku Am, tingkatan 4 dan Boy, tingkatan 2 ikut rombongan sekolah ke Cameron Highland. Makan angin.
Adik tidak jadi balik ke Kuala Lumpur hari ini, sambung cuti dua hari lagi dia. Adik mengikut aku dan mak ke kubur arwah kakak. Sayu juga hati bila ingatkan kakak. Waktu aku pergi ke Jakarta, kakak masih boleh senyum dan ketawa denganku. Tapi sekarang, hanya batu nisan yang menjadi tanda. Tapi kena redha terima segalanya. Setelah selesai membaca Surah Yasin, dan berzikir sedekah untuk arwah kakak, kami meninggalkan pusara kakak dengan hati sayu.
Kami menuju ke kedai mak. Pelanggan sedang ramai di kedai mak. Kami ikut menyibukkan diri melayan pelanggan di kedai mak. Adikpun sibuk menjadi ‘waiter’. Pelanggan masih ramai walaupun waktu makan tengahari sudah lewat, hampir jam 3 petang. Sedang kami sibuk melayan para pelanggan, tiba-tiba terasa bahuku dicuit dan salam diberi.
“Assalamualaikum!” Eh, rasa macam biasa mendengar suara ini. Ketika aku berpaling ke arah pemilik suara aku amat-amat terkejut, nak tercabut jantungku kerana pemilik suara ni adalah Roslan....Abang Roslan, panggilan atas permintaannya hari tu, ketika dalam perjalanan balik Sabtu lepas.
“Eh abang....buat apa kat Kuantan?” Tak terduga soalan begitu yang keluar dalam keadaan terkejut.
“Hai, macam tak suka je abang datang?” Roslan tersinggung dengan pertanyaanku.
“Eh tak...sori...sori....terkejut sebenarnya, tak sangka abang Roslan dah sampai ke Kuantan ni. Bila sampai dari Temerloh?” Cepat-cepat aku mengubah nada perbualan kami supaya dia tidak terasa tidak diundang, sambil mengajaknya duduk.
“Baru sampai, ini dalam perjalanan ke rumah kakak di Taman Tok Sira. Mak pun ada kat rumah kakak.” Roslan menjelaskan dengan suara yang mendatar, tenang.
Adik pun datang duduk di meja Roslan. “Abang dah lunch ke belum?” Tanyaku.
“Belum....,” akui Roslan.
“Eloklah, kamipun belum makan, dari tadi tak henti-henti melayan pelanggan, tak sempatpun nak makan. Bolehlah kita makan sama-sama.” Perutku pun sudah berkeroncong. Adikpun aku pasti sedang menahan laparnya, tapi segan nak minta makan duluan.
Aku mengajak adik dan Roslan memilih lauk yang sesuai dengan selera mereka masing-masing. Kak Ya, pembantu Mak mengisi lauk-lauk yang dipilih ke dalam pinggan dan menghantarnya ke meja kami. Rupa-rupanya, Roslan penggemar makanan laut, udang, ketam dan ikan sambal. Tidak suka sayur dia. Adik pula sangat suka sayur, sampai dua sayur diambil, sayur goreng campur dan sayur lemak bayam dengan ikan goreng. Aku biasa saja sayur dan lauk, semua makan. Kami menjamu selera sambil rancak berbual. Disebabkan terlalu lapar, rasanya sedap sangat.
Sedang kami rancak makan dan berbual-bual, Mak muncul dari dapur. Aku memanggil Mak, memperkenalkannya kepada Roslan.
“Apa khabar Mak cik?” Roslan dengan nada ramah menyapa mak.
“Baik...” Mak duduk di sebelahku. Aku memaklumkan kepada mak bahawa inilah orang yang aku ceritakan kepada mak, yang menolongku ketika di lapangan terbang. Mak hanya mengangguk dan berterima kasih kepada Roslan atas budinya. Mak meminta diri ke dapur, setelah dipanggil Kak Nah, pembantu mak. Mungkin untuk menyiapkan kerja yang belum beres.
“Makanlah ye...jangan segan-segan, mak cik ke dapur dulu,” kata mak sambil meminta diri. “Nak minum apa ya?” Tanya mak setelah menyedari hanya air kosong berada di sebelah kami.
Roslan minta teh tarik dan adik tea o ais. Kak Ya kemudiannya menghantar kepada kami. Kami terus makan sambil berbual semakin rancak. Adik yang biasanya pendiam dan lebih suka mendengar, hari ini banyak pula ceritanya. Sesuai pula dia dengan Roslan.
Huh...hampir tiga jam melayan mereka makan dan bersembang. Penat juga. Roslan meneruskan perjalanannya ke rumah kakaknya. Janjinya dia akan datang lagi....ye ke? Ada ke masa dia nak ke sini lagi? Tak apalah, memang di sini tempat makan, ramai yang jadi tetamu. Adik masih ada sehari lagi bersama kami. Betah dia bersama-sama kami.
Roslan mengotakan apa yang dikatanya. Besoknya dia muncul lagi untuk bersarapan di restoran mak bersama-sama aku dan adik. Menu mak pagi ini selain yang biasa nasi lemak, nasi berlauk, ada tambahannya, nasi kerabu dan nasi impit.
Adik sudah menjeling padaku ketika melihat Roslan muncul lagi di pagi hari. Apa maksud jelingan adik yang sebenarnya aku kurang pasti. Adik tetap duduk melayan Roslan, sedangkan aku terpaksa menolong melayan permintaan pelanggan mak yang tidak putus-putus masuk.
Sewaktu hendak balik ke Kuala Lumpur petangnya, adik memperliku, “kak, lain macam je abang Roslan tu.” Terkejut juga dengan cakap adik, “lain macam mana tu adik?” Aku ingin dapatkan kepastian. “Macam dia sukakan akak je,” adik melahirkan rasa syak dihatinya.
“Mana adik tau?” Aku mula mendapatkan reaksi adik dari apa yang dilontarkan sebentar tadi.
“Masa bercakap, matanya tak lepas dari pandang kak Zan....bila akak ke dapur, matanya ikut ke dapur, waktu akak melayan pelanggan, matanya pun ikut sama. Macam-macam dia tanya saya tentang akak. Dia dahpun minta nombor telefon saya, nak merisik pasal akaklah tu...” Adik memaklumkan dengan panjang lebar sekali akan dugaannya.
“Ye ke...kalau macam tu dah boleh anggap dia suka akak ke?” Giliran aku pula yang menyoal adik. “Alaa...saya tau la, saya kan lelaki.....” Adik begitu yakin dengan kata-katanya.
Bila adik sebut macam tu, aku dah mula jadi tidak sedap hati. “Mungkin dia jenis yang macam tu kot...suka perhatikan orang.” Aku cuba menolak apa yang menjadi keyakinan adik.
“Sama-samalah kita tengok nanti. Dia cuti lama tau....sama lamanya dengan cuti kak Zan kat Malaysia. Nanti tiap hari dia datang jumpa kak zan.” Adik menjawab dalam nada mengusikku.
Akhirnya adik jadi juga balik ke Kuala Lumpur kira-kira pukul 3 petang dia bertolak. Janjinya akan datang lagi minggu depan.
Tinggal aku dan mak. Bila berdua, lebih mudah aku meluahkan apa yang terpendam dalam hatiku mengenai Irfan. Agaknya apalah reaksi mak bila aku kemukakan hal ini kepadanya. Suka ke dia? Atau akan menambah dukanya. Seram juga nak melahirkan kata-kata, bimbang akan menambah luka yang sedang mak lalui tanpa kakak dan aku.
Aku cuba juga menyampaikan dan mendengar pandangan mak. Ketika mak rehat di ruangan tamu, aku ambil kesempatan berbual-bual dengan mak. Aku sudah bersedia dengan gambar Irfan. Aku hulurkan gambar tersebut kepada mak. Mak menerima dan merenung gambar tersebut sambil bertanya kebingungan, melihat gambar aku dan seorang lelaki yang tidak dikenalinya. Biasanya semua kawan aku mak kenal.
“Sape....?” Tanya mak sambil memandang ke arahku dengan penuh perasaan ingin tahu.
“Kawan K kat sana.....,” jawabku perlahan.
Gelaran manjaku di rumah K atau kalau tengah marah keluargaku memanggilku CK. Kadang-kadang ada yang panggil Nor juga. Aku tak kesah panggil aku apapun asalkan masih releven dengan namaku.
Nama tubuhku yang dipersetujui mak ialah Noraizan Ashikin, tak tahulah macamana jadi Nor Aizan dalam surat beranakku. Di rumah sejak lahir dibiasakan Ashikin, yang akhirnya tinggal K atau CK sahaja.
Mak dan ayah selalu bergaduh pasal nama anak. Dari abangku yang sulung, mak nak namakan Abdul Rahimi, tapi ayah letakkan Abdul Rahim saja. Akhirnya nama panggilan di rumah jadi ‘Mie’ saja. Kakakku Norezah Eizan, tapi dalam surat beranak jadi Norezah. Kat rumah, kakak dipanggil Eizan.
“Kat sana mana....Jakarta? Orang Malaysia?” Wah mak bertubi-tubi menyoalku, macam polis pencen. Tidak sabar-sabar, ingin tahu. Hatiku pula yang mula berdebar-debar, tidak tahu kenapa, takut agaknya.
“Orang sanalah...orang Jakarta, orang Jawa.” Aku menjelaskan. Mak terdiam.
“Kawan macamana?” Mak belum berpuas hati dengan jawapanku, meneruskan investigasinya.
Aku menarik nafas panjang, mencari ketenangan untuk berkata-kata. Memang tidak mudah, walaupun nampak mudah. Aku menyusun ayat-ayat yang baik untuk menjelaskan kepada mak tentang hasrat hati Irfan. Aku sendiri belum pasti perasaan sebenarku pada Irfan. Namun setelah beberapa hari di kampung, aku mula rasa kosong hati dan ada rindu di sana. Mungkin itu adalah bunga-bunga cinta yang menyapa hatiku. Tetapi yang lebih penting restu mak dulu. Kemudian baru aku fikir mahu menerima Irfan atau tidak dalam hidupku.
Sedang aku berfikir tentang Irfan, dan mencari jawapan yang sesuai untuk mak, tiba-tiba telefon berdering. Aku bangkit mengangkatnya. Mendengar suara di hujung sana, hatiku berdegup kencang, gembira sebenarnya. Rindu terubat.
“Nur....rindunya aku, tak sanggup lama-lama begini....,” ucap Irfan mengada-ngada, memulakan perbualan setelah masing-masing bertanya khabar. Sebenarnya akupun sama, tapi tidak mahu mengakuinya.
“Kamu ngak rindu sama aku...?” Soalan Irfan yang klise. Aku hanya ketawa dalam telefon. Tetap tidak mahu mengakui yang aku juga rindukannya. Tidak boleh membohongi diri sendiri.
Boleh tahan juga sewelnya si-Irfan ni, dari Australia sanggup dia menelefon aku. Lama pulak tu kami berbual-bual. Belumpun sampai seminggu, janjinya setelah seminggu baru mahu telefon. Mungkir janji dia.
Irfan hanya ketawa besar ketika aku ingatkan dia tentang janjinya itu, “ngak bisa gue...tiap hari kangen sama kamu....” Bunyinya macam jujur saja Irfan melahirkan kata-katanya. Kalaupun tak jujur tak apalah, yang penting aku suka mendengarnya. Tapi harap-harap betullah jujur.
“Mau ngomong sama ibu gue ngak?” Tanyaku. Lama juga Irfan diam, berfikir agaknya.
“Bisa ngak...nanti apa ibu bilang...ngak sopan...atau bagaimana?” Irfan melahirkan rasa bimbangnya dan mungkin juga segan dia.
Akhirnya Irfan bersetuju untuk bercakap dengan mak dan melahirkan hasrat hatinya sendiri dengan mak. Mak pun nampak relaks saja, tidak tegang wajahnya seperti tadi, selepas bercakap dengan Irfan, namun membisu seribu bahasa bila aku tanya apa yang Irfan cakap padanya. Irfan juga tidak menceritakan isi perbualannya dengan Mak sebentar tadi.
Kenapa mereka berdua masing-masing berahsia denganku?
Nor Aizan Ab. Halim, Bandar Baru Bangi, 28 Sept 2011.
Wednesday, 21 September 2011
Kenangan Semasa Di UI Salemba – Siri 15 – Zalilah Manan
“Rasmilah kami semua menjadi doktor”
Sepintas lalu rasanya belum lama aku berada di bumi Jakarta, kebenarannya, semua kepaniteraan yang perlu dijalani sudah berakhir. Seminggu lagi judisium akhir akan diadakan. Judisium adalah hari di mana transkrip nilai bagi matakuliah untuk semester tersebut diserahkan pada setiap mahasiswa. Nama-nama yang lulus dengan predikat ‘cum laude’ dan ‘penghargaan’ juga diumumkan. Bagi angkatanku, nama yang tidak asing lagi untuk meraih predikat ‘cum laude’ adalah seorang siswi asal Medan bernama Eva. Hanya pada tahun tiga, kalau tidak salah, beliau hanya meraih ‘penghargaan’ bukan cum laude. Pada tahun-tahun yang lain predikat ‘cum laude’ tidak pernah terlepas dari genggamannya.
Aku selalu membuat observasi tentang cara belajar Eva. Aku iri dengan kemampuan beliau. Aku ingin setanding dengan beliau atau kalau bisa mengatasinya. Namun tidak pernah dapat aku merealisasikan. Beliau tidak kelihatan menggunakan terlalu banyak masa menelaah. Beliau bukan tipe yang menghabiskan masa duduk berjam-jam menghadap buku. Tapi satu perkara yang aku lihat, Eva sentiasa memberi sepenuh tumpuan semasa kuliah atau tutorial. Semua perkara dipastikannya difahami sebelum meninggalkan dewan kuliah atau kelas. Itulah rahsia kejayaannya.
Aku pernah ke rumah Eva untuk menyelesaikan kerja berkumpulan. Eva tinggal di sebuah rumah besar yang terletak di satu kawasan perumahan mewah. Beliau tinggal bersama seorang lagi saudaranya dan beberapa orang pembantu rumah manakala ibu bapa dan keluarga yang lain di Medan. Yang mengesankan aku bukan rumah besarnya tetapi makanan yang disediakan untuk beliau. Hampir semua makanan sumber protein terhidang di atas meja makannya pada setiap kali waktu makan. Ada rendang daging, dendeng, ayam, ikan, cumi-cumi, tahu, tempe, sayur dan lalapan dengan cara masak yang berbeza setiap kali. Aku jadi terfikir, apakah kerana pemakanan yang diamalkan ini membuatkan Eva lebih pintar dari orang lain? Mungkin…..
Alhamdulillah! Aku lulus judisium dengan baik. Walau tidak berjaya menandingi Eva, aku tidak jauh di bawah Eva. Tinggal menunggu wisuda. Wisuda diadakan di balairung di Kampus UI, Depok bersama-sama dengan lulusan fakulti lain.Sementara menunggu tarikh wisuda, kami sudah dibenarkan bercuti.
Berhubung aku dianugerahkan pembiayaan untuk pengajian selama 84 bulan, aku masih punya biasiswa tersisa untuk lebih kurang setahun kerana aku telah lulus dalam masa genap enam tahun (72 bulan). Aku mula punya fikiran songsang, tidak mahu pulang dulu ke Malaysia sebaliknya terus menggunakan biasiswa sambil mengintai peluang bekerja sementara dan mencari peluang mengembara di Indonesia. Aku juga terfikir untuk mencuba nasib mendapatkan peluang terus menyambung pengajian terutama di unit obgin kerana aku pernah mendapat tawaran secara verbal dari Kepala Bagian Obgin.
Namun niat songsangku tidak dapat aku laksanakan. Keluargaku mengarahkan aku pulang untuk membincangkan penyelesaian bagi ‘pacaran jarak jauh’ku yang telah berlangsung begitu lama. Oleh kerana hanya ada satu pilihan penyelesaian, kami menyempurnakan persetujuan kedua-dua keluarga dengan ikatan pertunangan dan perkahwinan sekaligus. Lantas aku kembali ke Jakarta untuk acara wisuda dengan ditemani suami.
Namun wisuda bukan perkara yang terlalu mengujakan bagi lulusan FK. Mungkin kerana tiadanya kesempatan untuk menerima sendiri ‘skrol ijazah’ tersebut. Biasanya hanya wakil yang naik ke pentas untuk menerima skrol dari Rektor bagi pihak rakan seangkatan. Lulusan FK punya upacara lain iaitu upacara angkat sumpah yang lebih ditunggu-tunggu dan jauh lebih besar maknanya kerana itu merupakan acara simbolik kami dilantik sebagai doktor.
Pagi itu, 19 oktober 1993, aku keluar awal pagi menuju ke sebuah salon yang telah ditempah sejak awal lagi. Memang menjadi tradisi Indonesia, bagi upacara formal, pakaian tradisional baju kebaya, kain batik dan sanggul dikenakan.
“Make up nya jangan tebal-tebal, mbak!” aku mengingatkan kerana aku memang tidak suka ber make up.
“Iya!” ringkas jawaban pesolekku sambil terus menyapukan bedak di mukaku.
“Sanggulnya jangan yang gede mbak.” Sekali lagi aku memberitahu petugas salon.
“Iya!” jawab mbak itu ringkas sambil terus menyisir rambutku untuk dilekatkan dengan sanggul buatan. Mungkin juga bosan dengan pantang larangku.
Akhirnya selesai juga sessi bersanggul setelah hampir kaku leherku, rasanya.
“Kain kipasnya bisa ikat sendiri nggak?” Tanya mbak pesolekku.
“nggak! Bantuin ya mbak!” aku tersenyum sambil merayu.
Setelah susah payah berputar-putar dan berlatih mengecilkan langkah kaki, kain kipasku berjaya diikat rapi. Aku sudah kelihatan seperti ibu-ibu arisan, bersanggul, kebaya dan kain kipas. Angkatan ku telah bersepakat bahawa para siswi mengenakan kebaya ‘lace’ warna kuning yang kami tempah bersama dan kain batik panjang warna coklat. Sementara para siswa, kemeja putih dan kot hitam.
Berdebar-debar rasanya saat melangkahkan kaki ke Aula FKUI Salemba di mana upacara angkat sumpah akan di adakan. Mana tidak selesa dengan beratnya sanggul, ditambah pula kebimbangan kain kipasku terungkai…. Sungguh menyeksakan.
Acara dimulakan terlebih dahulu dengan penyampaian pingat emas berukirkan logo UI dan tertulis nama masing-masing mahasiswa dengan penambahan ‘Dr.’ dihadapannya, oleh Rektor Universitas Indonesia yang pada masa itu disandang Prof DR. dr. Sujudi. Diikuti penyampaian ‘skrol ijazah’ oleh Dekan FKUI yang pada waktu itu disandang oleh Prof Mardiono Marsetio. Aku percaya itulah antara saat yang paling bersejarah dalam hidup setiap mahasiswa.
Suasana cukup hening sebaik diumumkan bahawa upacara Angkat Sumpah dan Perlantikan Dokter akan bermula. Kami yang beragama islam diberi senaskah Al-Quran setiap seorang, manakala rakan-rakan beragama lain mendapat kitab mengikut agama masing-masing. Kami bersama-sama dengan dibimbing wakil mahasiswa mengangkat tangan sambil bersaksikan kitab suci masing-masing melafazkan Sumpah itu. Sungguh simbolik. Sungguh keramat. Perasaan waktu itu sukar digambarkan. Rata-rata menitiskan air mata, gembira, sedih, terharu bercampur baur. Rasmilah kami semua menjadi doktor yang telah mengangkat sumpah akan menjalankan tanggung jawab berdasarkan etika kedokteran.
Dr Zalilah Manan, 21 September 2011.
Sepintas lalu rasanya belum lama aku berada di bumi Jakarta, kebenarannya, semua kepaniteraan yang perlu dijalani sudah berakhir. Seminggu lagi judisium akhir akan diadakan. Judisium adalah hari di mana transkrip nilai bagi matakuliah untuk semester tersebut diserahkan pada setiap mahasiswa. Nama-nama yang lulus dengan predikat ‘cum laude’ dan ‘penghargaan’ juga diumumkan. Bagi angkatanku, nama yang tidak asing lagi untuk meraih predikat ‘cum laude’ adalah seorang siswi asal Medan bernama Eva. Hanya pada tahun tiga, kalau tidak salah, beliau hanya meraih ‘penghargaan’ bukan cum laude. Pada tahun-tahun yang lain predikat ‘cum laude’ tidak pernah terlepas dari genggamannya.
Aku selalu membuat observasi tentang cara belajar Eva. Aku iri dengan kemampuan beliau. Aku ingin setanding dengan beliau atau kalau bisa mengatasinya. Namun tidak pernah dapat aku merealisasikan. Beliau tidak kelihatan menggunakan terlalu banyak masa menelaah. Beliau bukan tipe yang menghabiskan masa duduk berjam-jam menghadap buku. Tapi satu perkara yang aku lihat, Eva sentiasa memberi sepenuh tumpuan semasa kuliah atau tutorial. Semua perkara dipastikannya difahami sebelum meninggalkan dewan kuliah atau kelas. Itulah rahsia kejayaannya.
Aku pernah ke rumah Eva untuk menyelesaikan kerja berkumpulan. Eva tinggal di sebuah rumah besar yang terletak di satu kawasan perumahan mewah. Beliau tinggal bersama seorang lagi saudaranya dan beberapa orang pembantu rumah manakala ibu bapa dan keluarga yang lain di Medan. Yang mengesankan aku bukan rumah besarnya tetapi makanan yang disediakan untuk beliau. Hampir semua makanan sumber protein terhidang di atas meja makannya pada setiap kali waktu makan. Ada rendang daging, dendeng, ayam, ikan, cumi-cumi, tahu, tempe, sayur dan lalapan dengan cara masak yang berbeza setiap kali. Aku jadi terfikir, apakah kerana pemakanan yang diamalkan ini membuatkan Eva lebih pintar dari orang lain? Mungkin…..
Alhamdulillah! Aku lulus judisium dengan baik. Walau tidak berjaya menandingi Eva, aku tidak jauh di bawah Eva. Tinggal menunggu wisuda. Wisuda diadakan di balairung di Kampus UI, Depok bersama-sama dengan lulusan fakulti lain.Sementara menunggu tarikh wisuda, kami sudah dibenarkan bercuti.
Berhubung aku dianugerahkan pembiayaan untuk pengajian selama 84 bulan, aku masih punya biasiswa tersisa untuk lebih kurang setahun kerana aku telah lulus dalam masa genap enam tahun (72 bulan). Aku mula punya fikiran songsang, tidak mahu pulang dulu ke Malaysia sebaliknya terus menggunakan biasiswa sambil mengintai peluang bekerja sementara dan mencari peluang mengembara di Indonesia. Aku juga terfikir untuk mencuba nasib mendapatkan peluang terus menyambung pengajian terutama di unit obgin kerana aku pernah mendapat tawaran secara verbal dari Kepala Bagian Obgin.
Namun niat songsangku tidak dapat aku laksanakan. Keluargaku mengarahkan aku pulang untuk membincangkan penyelesaian bagi ‘pacaran jarak jauh’ku yang telah berlangsung begitu lama. Oleh kerana hanya ada satu pilihan penyelesaian, kami menyempurnakan persetujuan kedua-dua keluarga dengan ikatan pertunangan dan perkahwinan sekaligus. Lantas aku kembali ke Jakarta untuk acara wisuda dengan ditemani suami.
Namun wisuda bukan perkara yang terlalu mengujakan bagi lulusan FK. Mungkin kerana tiadanya kesempatan untuk menerima sendiri ‘skrol ijazah’ tersebut. Biasanya hanya wakil yang naik ke pentas untuk menerima skrol dari Rektor bagi pihak rakan seangkatan. Lulusan FK punya upacara lain iaitu upacara angkat sumpah yang lebih ditunggu-tunggu dan jauh lebih besar maknanya kerana itu merupakan acara simbolik kami dilantik sebagai doktor.
Pagi itu, 19 oktober 1993, aku keluar awal pagi menuju ke sebuah salon yang telah ditempah sejak awal lagi. Memang menjadi tradisi Indonesia, bagi upacara formal, pakaian tradisional baju kebaya, kain batik dan sanggul dikenakan.
“Make up nya jangan tebal-tebal, mbak!” aku mengingatkan kerana aku memang tidak suka ber make up.
“Iya!” ringkas jawaban pesolekku sambil terus menyapukan bedak di mukaku.
“Sanggulnya jangan yang gede mbak.” Sekali lagi aku memberitahu petugas salon.
“Iya!” jawab mbak itu ringkas sambil terus menyisir rambutku untuk dilekatkan dengan sanggul buatan. Mungkin juga bosan dengan pantang larangku.
Akhirnya selesai juga sessi bersanggul setelah hampir kaku leherku, rasanya.
“Kain kipasnya bisa ikat sendiri nggak?” Tanya mbak pesolekku.
“nggak! Bantuin ya mbak!” aku tersenyum sambil merayu.
Setelah susah payah berputar-putar dan berlatih mengecilkan langkah kaki, kain kipasku berjaya diikat rapi. Aku sudah kelihatan seperti ibu-ibu arisan, bersanggul, kebaya dan kain kipas. Angkatan ku telah bersepakat bahawa para siswi mengenakan kebaya ‘lace’ warna kuning yang kami tempah bersama dan kain batik panjang warna coklat. Sementara para siswa, kemeja putih dan kot hitam.
Berdebar-debar rasanya saat melangkahkan kaki ke Aula FKUI Salemba di mana upacara angkat sumpah akan di adakan. Mana tidak selesa dengan beratnya sanggul, ditambah pula kebimbangan kain kipasku terungkai…. Sungguh menyeksakan.
Acara dimulakan terlebih dahulu dengan penyampaian pingat emas berukirkan logo UI dan tertulis nama masing-masing mahasiswa dengan penambahan ‘Dr.’ dihadapannya, oleh Rektor Universitas Indonesia yang pada masa itu disandang Prof DR. dr. Sujudi. Diikuti penyampaian ‘skrol ijazah’ oleh Dekan FKUI yang pada waktu itu disandang oleh Prof Mardiono Marsetio. Aku percaya itulah antara saat yang paling bersejarah dalam hidup setiap mahasiswa.
Suasana cukup hening sebaik diumumkan bahawa upacara Angkat Sumpah dan Perlantikan Dokter akan bermula. Kami yang beragama islam diberi senaskah Al-Quran setiap seorang, manakala rakan-rakan beragama lain mendapat kitab mengikut agama masing-masing. Kami bersama-sama dengan dibimbing wakil mahasiswa mengangkat tangan sambil bersaksikan kitab suci masing-masing melafazkan Sumpah itu. Sungguh simbolik. Sungguh keramat. Perasaan waktu itu sukar digambarkan. Rata-rata menitiskan air mata, gembira, sedih, terharu bercampur baur. Rasmilah kami semua menjadi doktor yang telah mengangkat sumpah akan menjalankan tanggung jawab berdasarkan etika kedokteran.
Dr Zalilah Manan, 21 September 2011.
Tuesday, 20 September 2011
Kenangan Semasa Di UI Salemba – Siri 14 – Zalilah Manan
“Forensik bukan tempat yang aku ingin berada lama”
Perjalananku semakin hampir ke penghujung. Unit-unit besar atau utama seperti bedah, obgin, penyakit dalam dan pediatrik telah aku lalui. Tinggal beberapa unit kecil sahaja sebelum aku layak bergelar doktor secara sesungguhnya. Walaupun sejak masuk tahun klinikal memang kami telah dipanggil doktor oleh paramedik dan pesakit namun kerana terasa masih sangat sedikitnya ilmu didada penghayatan gelar itu tidak dirasakan sepenuhnya.
Unit kecil yang perlu kami jalani antaranya adalah mata, telinga hidung tekak (THT – baca tehate), kulit dan kelamin (kulkel), gigi dan mulut (gimul), psikiatri, anestesi, radiologi dan forensik. Walaupun dinamakan unit kecil, semuanya tidak kalah penting sebagai cabang ilmu kedokteran.
Merawat pasien di klinik rawat jalan maupun di wad bagi kebanyakan unit tersebut adalah lebih kurang sama keadaannya kecuali unit forensik. Pasien di unit forensik tidak lagi bisa bicara, tidak lagi bisa protes dan tidak lagi bisa bergerak. Hanya digerakkan. Cara rawatannya juga sangat berbeza.
Kami diajar menjadi penyiasat, penyelidik atau peneliti. Diajar langkah-langkah yang betul untuk memeriksa bahagian-bahagian badan manusia yang tidak lagi bernyawa. Kami diajar cara memotong tengkorak kepala untuk memeriksa perdarahan dalam otak. Kami diajar mengenal pasti tanda-tanda cekikan atau strangulasi pada leher. Kami ditunjukkan cara membuka ruang dada bagi memeriksa paru-paru, jantung dan lain-lain organ dalam dada. Kami diajar cara memeriksa rongga perut, isi perut, usus, limpa dan buah pinggang. Kami juga diberi panduan pemeriksaan luka-luka dan trauma luaran.
Ada berbagai kes kematian yang memerlukan intervensi forensik atau ‘post mortem’. Biasanya dilakukan bagi kematian yang diperkirakan tidak wajar atau dicurigai melibatkan unsur khianat. Ada kes kematian akibat luka senjata tajam, dikelar di leher sehingga putus, ditikam di dada dan perut, ditembak dengan senjata api, bunuh diri, jatuh dari bangunan tinggi dan banyak lagi.
Aku pernah menyaksikan kes seseorang yang baru pulang dari menunaikan haji meracun isterinya kemudian membunuh diri dengan meminum racun yang sama kerana isteri yang tidak ikut sama menunaikan haji diberitakan mempunyai hubungan cinta dengan orang ketiga. Tragis dan tidak masuk akal tapi itulah yang terjadi. Semoga menjadi sempadan bagi yang masih hidup.
Ada juga kes yang tidak terselesaikan kerana anggota badan tidak dijumpai. Aku masih ingat seorang dosen forensik menunjukkan satu kepala wanita yang tidak dapat disahkan identiti kerana tiada bahagian lain badannya ditemui terutama cap jari dan tiada laporan orang hilang yang dibuat yang dapat dikaitkan.
Di unit ini, kami bekerja umpama polisi. Menarik juga. Menyelidik segala yang berkaitan dengan kematian, punca-punca kematian, waktu kematian, siapa yang mungkin terlibat, alat-alat yang diguna, menganalisa luka-luka atau trauma yang berkait dengan sebab dan akibat hingga menyebab kehilangan nyawa.
Ada juga kalanya unit forensik perlu mengesah atau memadankan identiti si mati seperti contohnya pada kematian massal lewat tahun 80an, waktu tabrakan keretapi yang dikenali sebagai ‘tragedi Bintaro’ yang telah meragut hampir lima ratus nyawa sekaligus. Perlanggaran bertembung dua buah keretapi waktu pagi yang sarat penumpang bekerja dan bersekolah yang entah bagaimana berada di rel yang sama dan bergerak menghala ke arah satu sama lain.
Sungguh tragis waktu itu. Mayat-mayat mangsa terpaksa diletakkan berbaris-baris di atas jalan di luar kamar mayat RSCM kerana tiada lagi tempat untuk dimuat dalam petisejuk kamar mayat. Ada yang berlumuran darah, ada yang tidak lengkap anggota, ada yang dewasa, kanak-kanak sekolah juga kanak-kanak kecil. Kaum keluarga memenuhi jalan dan perkarangan kamar mayat mencari cari keluarga yang hilang, bertangisan dan berteriakan tanpa memperdulikan bau busuk yang mula terhidu di kawasan tersebut. Mengerikan, menyedihkan juga menyeramkan.
Untuk lulus unit forensik, selain ujian teori kami dikehendaki melakukan post mortem secara bersendirian. Kami diberi satu catatan pendek tentang kes tersebut dan kami perlu melakukan pembedahan pembuktian sebab mati kes tersebut.
Aku telah mendapat satu kes mati lemas. Kes yang agak ‘direct’ kerana boleh dilihat secara langsung dari luaran mayat. Mayat yang kembung dan membengkak di seluruh tubuh serta kulit yang pecah mengelupas. Aku membuka paru-paru yang dipenuhi air dan hidupan air yang sesuai dengan sungai tempat mayat dijumpai. Aku juga dikehendaki membuka perut dan usus dan memeriksa isi kandungannya. Agak mudah kerana semua teknik pembedahan telah diajar. Hanya satu perkara yang tidak mudah iaitu menghadapi bau dan menghilangkan bau….
Semua mayat umumnya mengalami proses pembusukan paling awal di bahagian perut, mayat yang terendam air membusuk dengan kadar lebih cepat lagi berbanding di tempat kering. Walau aku memakai berlapis-lapis sarung tangan tebal sewaktu ujian itu, kedua tanganku masih berbau yang sukar diungkapkan walau telah selesai pekerjaan itu berhari-hari dan tangan telah dicuci berkali-kali dengan berbagai sabun dan antiseptik yang wangi. Beberapa hari aku juga tidak selera makan kerana terbayang cebisan daging yang mereput dari jenazah yang aku bedah.
Aku bersyukur kerana kepaniteraan unit forensik segera berakhir. Walaupun dapat menimba ilmu yang berbeza, forensik bukan tempat yang aku ingin berada lama.
Dr Zalilah Manan, 20 September 2011.
Perjalananku semakin hampir ke penghujung. Unit-unit besar atau utama seperti bedah, obgin, penyakit dalam dan pediatrik telah aku lalui. Tinggal beberapa unit kecil sahaja sebelum aku layak bergelar doktor secara sesungguhnya. Walaupun sejak masuk tahun klinikal memang kami telah dipanggil doktor oleh paramedik dan pesakit namun kerana terasa masih sangat sedikitnya ilmu didada penghayatan gelar itu tidak dirasakan sepenuhnya.
Unit kecil yang perlu kami jalani antaranya adalah mata, telinga hidung tekak (THT – baca tehate), kulit dan kelamin (kulkel), gigi dan mulut (gimul), psikiatri, anestesi, radiologi dan forensik. Walaupun dinamakan unit kecil, semuanya tidak kalah penting sebagai cabang ilmu kedokteran.
Merawat pasien di klinik rawat jalan maupun di wad bagi kebanyakan unit tersebut adalah lebih kurang sama keadaannya kecuali unit forensik. Pasien di unit forensik tidak lagi bisa bicara, tidak lagi bisa protes dan tidak lagi bisa bergerak. Hanya digerakkan. Cara rawatannya juga sangat berbeza.
Kami diajar menjadi penyiasat, penyelidik atau peneliti. Diajar langkah-langkah yang betul untuk memeriksa bahagian-bahagian badan manusia yang tidak lagi bernyawa. Kami diajar cara memotong tengkorak kepala untuk memeriksa perdarahan dalam otak. Kami diajar mengenal pasti tanda-tanda cekikan atau strangulasi pada leher. Kami ditunjukkan cara membuka ruang dada bagi memeriksa paru-paru, jantung dan lain-lain organ dalam dada. Kami diajar cara memeriksa rongga perut, isi perut, usus, limpa dan buah pinggang. Kami juga diberi panduan pemeriksaan luka-luka dan trauma luaran.
Ada berbagai kes kematian yang memerlukan intervensi forensik atau ‘post mortem’. Biasanya dilakukan bagi kematian yang diperkirakan tidak wajar atau dicurigai melibatkan unsur khianat. Ada kes kematian akibat luka senjata tajam, dikelar di leher sehingga putus, ditikam di dada dan perut, ditembak dengan senjata api, bunuh diri, jatuh dari bangunan tinggi dan banyak lagi.
Aku pernah menyaksikan kes seseorang yang baru pulang dari menunaikan haji meracun isterinya kemudian membunuh diri dengan meminum racun yang sama kerana isteri yang tidak ikut sama menunaikan haji diberitakan mempunyai hubungan cinta dengan orang ketiga. Tragis dan tidak masuk akal tapi itulah yang terjadi. Semoga menjadi sempadan bagi yang masih hidup.
Ada juga kes yang tidak terselesaikan kerana anggota badan tidak dijumpai. Aku masih ingat seorang dosen forensik menunjukkan satu kepala wanita yang tidak dapat disahkan identiti kerana tiada bahagian lain badannya ditemui terutama cap jari dan tiada laporan orang hilang yang dibuat yang dapat dikaitkan.
Di unit ini, kami bekerja umpama polisi. Menarik juga. Menyelidik segala yang berkaitan dengan kematian, punca-punca kematian, waktu kematian, siapa yang mungkin terlibat, alat-alat yang diguna, menganalisa luka-luka atau trauma yang berkait dengan sebab dan akibat hingga menyebab kehilangan nyawa.
Ada juga kalanya unit forensik perlu mengesah atau memadankan identiti si mati seperti contohnya pada kematian massal lewat tahun 80an, waktu tabrakan keretapi yang dikenali sebagai ‘tragedi Bintaro’ yang telah meragut hampir lima ratus nyawa sekaligus. Perlanggaran bertembung dua buah keretapi waktu pagi yang sarat penumpang bekerja dan bersekolah yang entah bagaimana berada di rel yang sama dan bergerak menghala ke arah satu sama lain.
Sungguh tragis waktu itu. Mayat-mayat mangsa terpaksa diletakkan berbaris-baris di atas jalan di luar kamar mayat RSCM kerana tiada lagi tempat untuk dimuat dalam petisejuk kamar mayat. Ada yang berlumuran darah, ada yang tidak lengkap anggota, ada yang dewasa, kanak-kanak sekolah juga kanak-kanak kecil. Kaum keluarga memenuhi jalan dan perkarangan kamar mayat mencari cari keluarga yang hilang, bertangisan dan berteriakan tanpa memperdulikan bau busuk yang mula terhidu di kawasan tersebut. Mengerikan, menyedihkan juga menyeramkan.
Untuk lulus unit forensik, selain ujian teori kami dikehendaki melakukan post mortem secara bersendirian. Kami diberi satu catatan pendek tentang kes tersebut dan kami perlu melakukan pembedahan pembuktian sebab mati kes tersebut.
Aku telah mendapat satu kes mati lemas. Kes yang agak ‘direct’ kerana boleh dilihat secara langsung dari luaran mayat. Mayat yang kembung dan membengkak di seluruh tubuh serta kulit yang pecah mengelupas. Aku membuka paru-paru yang dipenuhi air dan hidupan air yang sesuai dengan sungai tempat mayat dijumpai. Aku juga dikehendaki membuka perut dan usus dan memeriksa isi kandungannya. Agak mudah kerana semua teknik pembedahan telah diajar. Hanya satu perkara yang tidak mudah iaitu menghadapi bau dan menghilangkan bau….
Semua mayat umumnya mengalami proses pembusukan paling awal di bahagian perut, mayat yang terendam air membusuk dengan kadar lebih cepat lagi berbanding di tempat kering. Walau aku memakai berlapis-lapis sarung tangan tebal sewaktu ujian itu, kedua tanganku masih berbau yang sukar diungkapkan walau telah selesai pekerjaan itu berhari-hari dan tangan telah dicuci berkali-kali dengan berbagai sabun dan antiseptik yang wangi. Beberapa hari aku juga tidak selera makan kerana terbayang cebisan daging yang mereput dari jenazah yang aku bedah.
Aku bersyukur kerana kepaniteraan unit forensik segera berakhir. Walaupun dapat menimba ilmu yang berbeza, forensik bukan tempat yang aku ingin berada lama.
Dr Zalilah Manan, 20 September 2011.
Nostalgia Di Kampus Depok – Siri 13 – Nor Aizan Ab Halim
Kenalan Baru
[Foto Hiasan Semata-mata]
Sebenarnya ada perasaan cemas juga dalam hati bila Irfan kata tidak dapat menghantarku ke airport. Dengan beg yang besar berisi batik dan berbagai ole-ole untuk ahli keluargaku, lumayan susahnya aku nanti. Kalau Irfan ada, dia boleh menolongku mengangkat beg-beg tersebut. Kalau dengan teksi susahnya bukan main. Aku mula membuat perhitungan. Macam mementingkan diri sendirilah pulak. Tidak, mencari keselesaan diri sebenarnya.
Akhirnya, aku rasa aku dapat jalan penyelesaiannya. Melihat kelibat Faiz yang menunggang motosikalnya ke arah rumah kostku, aku jadi lega. Nah, ini orang aku boleh meminta tolong, bisik hatiku. Faiz, senior kami, sejak akhir-akhir ini selalu datang ke kost kami dan berbual-bual dengan aku dan teman-teman. Kami jadi rapat dan tidak segan untuk meminta tolong.
Aku menggamitkan tanganku kepada Faiz setelah dia menongkatkan motornya di depan rumah kost anak ‘cowok’. Sebenarnya hanya bersebelahan dengan kost aku. Dia berjalan sedikit melenggang ke arahku, buat lawaklah tu, sambil mengangkat keningnya, bertanya. Luculah juga melihat gelagatnya.
“Boleh tolong hantar saya ke air port besok pagi?” Aku terus bertanya, tidak sabar mendapatkan jawapannya.
“Hmm....besok...besok ye...” Faiz buat-buat berfikir, jual mahal lah tu, aku mengagak.
Aku yakin jawapannya ‘ya’ kerana dia tidak pernah menolak permintaanku sebelum ini. Sudah beberapa kali dia menemani aku menelefon ke kampung pada waktu malam, untuk mendapatkan harga yang lebih murah, sekiranya Irfan tidak dapat menemani aku.
“Pukul berapa?” Akhirnya Faiz bertanya meminta kepastian. “Pukul 7 pagilah dari sini, flight pukul 12 tengahari, ok tak?” Aku sebenarnya kurang yakin waktu yang diperlukan untuk sampai ke Lapangan Terbang Soekarno-Hatta. Maklum, baru pertama kali balik, tidak dapat ‘timing’ masa dengan betul. Akhirnya Faiz mengangguk tanda setuju dengan pilihan waktu dan mahu menemani aku ke lapangan terbang.
Aku menarik nafas lega. Alhamdulillah. Selesai sudah beban dalam kepalaku sejak kelmarin, apabila Irfan menyatakan kegagalannya menghantarku kerana terpaksa berlepas ke Australia lebih cepat.
“Terima kasih Faiz....Tuhan sajalah yang membalas kebaikan awak,” ucapku ikhlas. Faiz hanya tersengih menampakkan barisan giginya yang putih tersusun rapi, cantik sekali. Suka aku melihatnya. Faiz, walaupun tidak kacak dan agak pendiam orangnya, tetapi ada daya tarikannya yang tersendiri dianugerahkan Allah dengan gigi yang cantik dan ‘otak yang cair’, selalu menjadi pakar rujuk aku dan anak-anak ‘junior’. Dia juga pendengar yang baik kerana dia tidak banyak cakap, jadi dia lebih banyak mendengar....hehe itulah Faiz.
Tapi sebenarnya ada rasa risau juga ketika selalu mengajak Faiz menemani aku ke mana-mana, kata anak-anak, dia sudah ada ‘pacar’ anak Malaysia juga. Jangan si-dia cemburu sudahlah. Tidak ada niatpun untuk mengganggu hubungan mereka. Insyallah.
Apa-apa pun hati lega, masalah di sini sudah selesai. Masalah kat Lapangan terbang Subang juga sudah lama selesai. Adik angkatku Izani sudah bersedia untuk menungguku di sana. Izani yang sangat baik kepadaku, sentiasa muncul ketika aku memerlukan. Malah, ketika saat dukaku dialah yang menjadi penawarnya. Ketika aku di Jakarta, tidak putus-putus surat dikirim kepadaku, dengan kata-kata semangat dan nasihat. Surat terakhir, Izani yang kupanggil Adik, menyatakan dia akan menungguku di Lapangan Terbang Subang, pada masa yang telah kunyatakan di dalam surat balasanku kepadanya. Terima kasih Adik. Terima kasih Faiz. Baiknya kamu semua.
Pagi-pagi aku sudah bersedia untuk ke Lapangan Terbang. Tidak sabar. Faiz yang menguruskan teksi. Pukul berapa aku tidak pasti. Yang pasti, pukul 7 pagi aku sudah bersedia dengan beg di ruang tamu rumah kostku.
Ada dua beg, satu beg besar berisi batik dan beberapa helai pakaian di bahagian atasnya. Satu beg lagi berisi makanan, buah salak segar dan jeruk salak, pisang kaki dan kek lapis yang akan kubawa ke dalam pesawat. Beg besar satu sahaja masuk bagasi. Itupun risau juga takut terlebih berat. Berat yang dibenarkan hanyalah 20 kilogram. Aku pulang sendirian. Anak-anak Malaysia yang lain tidak balik. Mereka akan pulang bercuti semester kedua, lebih panjang masanya, lebih kurang tiga bulan. Kalau terlebih berat, aku tidak dapat menumpang berat rakan-rakan yang lain. Aduh, perlu sediakan wang rupiah lebih untuk membayar lebihan berat nanti, aku mengingatkan diri sendiri.
Jarum pendek jam dindingku menunjukkan ke angka 7, jarum panjangnya menghampiri angka 6. Dug, dag...jantung mula berdegup, hampir jam 7.30 pagi, Faiz belum muncul lagi dengan teksinya. Dua puluh minit kemudian barulah kedengaran motor memasuki lorong rumah kostku. Itu pasti motor Faiz.
Aku menarik daun pintu. Menjenguk keluar. Betul. Faiz tersengih memandangku. “Tak lewat ke ni?” Aku mula meluahkan kebimbanganku. Maklum, orang tidak pernah balik kampung. Risau semacamlah. “Sempat, jangan risau.” Faiz meyakinkan aku.
“Mana teksinya?” Tanyaku lagi, bimbang.
“Kat luar, kita kena bawa beg ni keluar ke Jalan Margonda Raya.” Faiz menjelaskan. Mendengar suara kami bising di luar, rakan-rakan Malaysia yang lain keluar untuk membantu. Lukman (arwah) dan Rodzi membantu mengangkat, menarik beg berodaku ke Jalan Margonda Raya, kira-kira 20 meter dari kostku.
Pemandu teksi memasukkan begku ke dalam ‘bonet’. Selepas bersalaman dengan rakan-rakanku, lebih kurang pukul 8 pagi, aku dan Faiz menaiki teksi menuju ke bandara. Pukul 10.30 kami sudah sampai. Alhamdulillah, hilang risauku. Dah selamat sampai. Faiz membantuku mengambil troli dan menolak ke ruangan ‘check in’. Sudah ramai yang beratur.
Faiz masih menemaniku. Begku ditimbang. Opss...terlebih 10 kilogram. Sedang aku hendak mengeluarkan dompet duitku, aku terasa bahuku dicuit dari belakang. Aku berpaling ke belakang. Aku tak kenal, tetapi kenapa dia mencuit, bahuku.
“Maaf, pelajar Malaysia ke? Nak tumpang berat saya?” Tiba-tiba pemuda berkulit putih kuning itu menawarkan bantuannya kepadaku. Aduh....pucuk dicita ulam mendatanglah jawabnya....alhamdulillah rezeki lagi.
“Boleh ke...?” Tanyaku berbasa basi, sedangkan di dalam hatiku memang sangat suka.
“Boleh...apa salahnya.” Pemuda tersebut menjawab sambil melangkah ke depan, membawa begnya dan mengangkat ke atas tempat timbangan berat. Hanya satu beg sahaja.
“Saya bersama dengan dia ya....” Pemuda yang belum kutahu namanya memaklumkan kepada petugas di kaunter tersebut, sambil tangannya menunjukkan ke arahku. Begnya hanya berat 5 kilogram sahaja. Alhamdulillah, selamat lagi aku. Terima kasih Tuhan, mengutuskan aku seorang lagi penyelamat. Aku senyum kepada pemuda tersebut. Mahu tidak mahu, suka atau tidak akhirnya pasti ‘seat’ aku bersebelahan dengannya. Tak apalah. Orang dahpun berbudi dengan kita, apa salahnya berkawan dengan dia pula.....hehe. Paling-paling, mungkin kena melayannya bercakap selama dua jam penerbangan. Ok lah tu. Harap-harap orangnya menyenangkan.
“Terima kasih ye.” Hanya itu ucapan yang mampu kuberikan kepada orang yang baik seperti dia. Dia hanya mengangguk dan memberikan senyumannya kepadaku. Aku membalas senyumannya dan meminta diri untuk bertemu Faiz.
Aku mengikut Faiz keluar sekejap sebelum Faiz balik, aku perlu memberi wang tambang dan mengucapkan terima kasihku kepada Faiz, yang sanggup bersusah payah untukku.
“Thanks Faiz. Sori la asyik susahkan awak je kan...?” Ucapku sambil menghulurkan wang Rp50,000 kepadanya. Faiz menolak, “Tak apalah, awak yang nak guna banyak duit tu, saya tak balik, duit tak habis banyak, jangan risau, banyak duit ni,” katanya sambil menunjukkan beg duitnya yang tebal. “Duit atau kertas...hehe?” Perliku. Faiz hanya ketawa. Walaupun aku berulangkali menghulurkan duit tetapi tetap Faiz tidak mahu mengambil duitku. Hanya terima kasih dapat kuberikan kepada Faiz yang baik.
“Balik nanti macamana, boleh balik sendiri?” Faiz ingin memastikan aku tidak menghadapi masalah ketika balik ke sini bulan depan. “Insyallah, saya ambil teksi je nanti,” jawabku untuk tidak menyusahkan Faiz lagi. Faiz hanya mengangguk.
Sebenarnya aku hendak melihat Faiz yang balik dulu baru aku masuk, tetapi Faiz pula mahu aku yang masuk dulu baru dia akan balik. Baiklah, aku yang mengalah masuk ke balai berlepas. Pemuda tadi juga belum masuk. Menunggu aku ke, tanyaku kepada diri sendiri. Perasanlah pulak.
Dia berjalan bersama-sama aku menuju ke pesawat MAS kami, MH Boeing 737, kalau tak salahku. Masing-masing diam melayan perasaan sendiri. Aku tidak suka naik pesawat terbang sebenarnya. Tidak tahan gayat, waktu nak naik dan mendarat, sangat tidak suka.
Kami mengambil tempat duduk masing-masing. Aku duduk di tepi tingkap. Dia di tempat duduk sebelahku. Duduk bertenang. Biasa, aku akan membaca bermacam-macam doa untuk mengurangkan rasa cemas dan gayatku.
Kapal terbang mula bergerak. Kemudian semakin tinggi dan hatiku juga jadi semakin melayang. Gayat. Aduh....tidak suka. Ketika mula merempuh awan, ada gegaran menyebabkan aku semakin terasa tidak selesa.
“Saudari, saya Roslan, boleh tahu nama saudari.” Lelaki sebelahku memulakan bicara, memecahkan rasa segan silu kami berdua. Sapaannya menyebabkan fokusku kepada gayat hilang. Di sebelahnya, duduk tenang seorang lelaki mat salleh warga emas, pelanconglah tu.
“Nor Aizan,” jawabku ringkas. Rasa tak patut pula tidak memperkenalkan diri setelah dia memintanya. Tak Sopan. Dahlah orang menolong, takkan nak sombong pula. Bila sudah memulakan bicara, tidak berhenti-hentilah pula Roslan bercerita. Bagus juga, tumpuan aku kepada perbualan kami menyebabkan keresahanku menghadapi gayatku hilang.
Rupa-rupanya dia bekerja di kedutaan Malaysia di London, bahagian perdagangan. Ke Jakarta hanya untuk makan angin, menghabiskan cutinya. Umurnya sudah mencecah tiga puluh tahun. Aku pun terpaksalah memperkenalkan diri pula, bercerita serba sedikit. Nanti tak adil pula kalau dia saja yang bercerita.
“Nak balik ke mana?” Tanyanya lagi.
“Kuantan.” Perbualan kami terhenti sebentar ketika pramugari MAS yang comel, berseragam kebaya corak bunga berwarna biru cair, dengan senyuman manis terukir di bibir, membawa jus nenas kepada kami.
“Oh, orang Pahang. Saya pun, orang Temerloh.” Sesi perkenalan berterusan. Tanpa disengajakan, destinasi kami sama rupanya, ke negeri Pahang Darul Makmur.
“Nanti siapa yang jemput kat air port?” Roslan meneruskan investigasinya.
“Ada adik,” jawabku.
“Oh, tak pe lah dah ada orang jemput. Kalau tak ada, nak ikut sayapun boleh. Saya boleh hantar ke stesen bas Puduraya.” Roslan menjelaskan dia bawa kereta sendiri, tetapi adiknya bawa kereta balik ke rumahnya di Ampang. Nanti adiknya akan datang membawa keretanya sekali. Aku hanya mendengar penjelasan panjang lebar Roslan.
Sesi menikmati makan tengahari. Daging masak kurma aku rasa. Ada sayur dan nasi, macam nasi minyak rupanya. Boleh tahan rasanya. Hilang rasa laparku. Belum sarapan tadi, tidak sempat. Makanan ini aku rasakan sangat sedap, mungkin kerana perut lapar. Hidangan dan layanan Sistem Penerbangan Malaysia (MAS), pada ketika ini memang diakui dunia memuaskan.
Perbualan diteruskan lagi. Aku mengintai lelaki Mat Salleh di sebelah, tidur nyenyak dia. Iri hatiku melihat Mat Salleh tidur. Aku tak boleh tidur, walaupun mengantuk kerana malam tadi tidur lewat, berkemas. Aku terpaksa melayan si Roslan berbual. Banyak ceritanya. Makin lama makin rancak. Macam-macam cerita. Kisah-kisah dan pengalaman dia semasa bertugas di luar negara, masa dia belajar di New Zealand dan macam-macam lagi. Aku lebih banyak mendengar. Tiada cerita menarik hendak dikongsi dengannya.
Tinggal beberapa minit lagi kapal terbang akan mendarat. Aku tidak sedar ketika pesawat mula mengurangkan ketinggian tadi, tidak terasa gayatnya, dek melayan Roslan berbual. Syukurlah, terlepas rasa gayatku. Gegaran roda mencecah bumi sudah terasa. Aku memegang kuat pada kerusi. Tidak suka. Macam-macam terbayang, seperti dalam televisyen tu, terbabas, terbakar dan sebagainya.
Nah....sudah sampai. Akhirnya, alhamdulillah, perjalanan kami selamat. Aku dan Roslan masih bersama menuju ke imigresen. Kemudian mengambil beg kami. Roslan mengambil troli untukku juga. Kami mengangkat beg ke atas troli dan menolaknya menuju ke pemeriksaan kastam. Hati berdebar-debar sebenarnya bila teringatkan begitu banyak batik yang kubawa, melebihi 50 helai. Bisa-bisa dirampas semuanya. Aku mula membaca ayat kursi, seribu dinar dan macam-macam doa yang kuingat agar aku dapat melepasi kastam dengan selamat.
Lebih menakutkan, bila aku melihat seorang pelajar dari Ujung Pandang, kalau tidak silap, yang di kaunter pemeriksaan sebelahku, pegawai kastam perempuan, kain batiknya hampir semua dirampas, hanya tinggal beberapa helai sahaja. Semua ini berlaku menurut firasat dan pandanganku kerana pelajar tersebut seolah-olah melawan, berkeras tidak mahu membuka begnya. Jangan melawan kerana mereka terpaksa melakukan tugas dan tanggung jawab yang diamanahkan kepada mereka. Biarkan saja, kalau ada rezeki kita selamatlah, bukan kita nak buat kerja jahatpun, hanya nak bagi hadiah untuk mengembirakan hati ahli keluarga dan kawan-kawan, rumusku di dalam hati.
Sampai giliranku. Degupan jantungku sangat kencang, tetapi aku cuba untuk setenang-tenang yang boleh. Kunci beg sudah aku genggam di tangan.
“Student ye...?” tanya petugas kastam lelaki tersebut.
“Ya....,”jawabku dengan suara tegas dan berani yang dibuat-buat. Ada getaran dalam suaraku. Gemuruh.
“Ada bawa banyak barang?” Tanyanya lagi. Aku mengangguk.
“Barang apa? Batik ada?” Pegawai kastam tersebut bertanya lagi.
“Macam-macam Encik, buah tangan untuk keluarga. Batik pun ada beberapa helai. Encik nak periksa ke?” Jawabku dengan gaya berani sambil membuka kunci begku tanpa diminta. Dia hanya membelek-belek sekejap. Lalu menyuruh aku menutup begku dan melepaskan supaya meneruskan perjalananku. Hatiku berdegup kencang semula. Cepat-cepat mahu berlalu, bimbang akan dipanggil semula untuk pemeriksaan ulang. Biasalah orang buat salah, takutlah.
Ya Allah.....alhamdulillah, dia tidak membukanya dan tidak memeriksanya sampai ke bawah. Roslan di belakangku, langsung tidak diperiksa begnya. Hanya berbual-bual seketika. Kebal hukum ke dia? Aku bertanya pada diriku sendiri.
Aku menolak troliku sepantas yang boleh. Ingin cepat-cepat ‘check out’. Adik pasti sedang menungguku. Tidak sabar nak berjumpa dengannya.
“Nor.....!” Tiba-tiba namaku dipanggil. Suara Roslan. Aku boleh cam setelah dua jam berbual-bual tidak berhenti-henti di pesawat tadi. Aku berhentikan troliku, menoleh ke arahnya.
Roslan menuju ke arahku dengan langkah yang dipercepatkan, bimbang aku tinggalkannya. Roslan menghulurkan kad namanya yang tercatat nama, nombor telefon dan jawatannya. Nama tercatat, Roslan Datuk Muzaffar. Nombor telefon rumah dan pejabat di London dan Kuala Lumpur.
“Boleh dapat nombor telefon awak dan alamat restoran, nanti kalau ke Kuantan boleh saya singgah,” pinta Roslan.
Macamana ni, apa perlu aku memberikan nombor telefon dan alamat restoran Mak ke? Aku serba salah. Rasa tidak wajar pula kalau aku tidak memberikannya setelah Roslan beria-ia memintanya. Tapi kalau aku bagi, tak apa ke? Akhirnya aku mencatatkan juga nombor telefon dan alamat restoran Mak di Kuantan pada kad nama yang dihulur oleh Roslan, walaupun hati terasa berat, baru kenal tidak sampai tiga jam, dah nak bagi nombor telefon dan alamat. Alah, positif sajalah.
Izani datang menghampiri. Dia bersalaman dengan Roslan. Masing-masing memperkenalkan diri. Adik Roslan pun sudah sampai. Roslan meminta diri bergerak dahulu. Kami mengangguk.
“Nanti jumpa lagi Nor.” Roslan berlalu bersama adiknya. Aku hanya mengangguk mengiakan.
Adik mengajak aku ke Petaling Jaya, Seksyen 17, makan di tempat yang selalu kami makan bersama. Mengembalikan nostalgia kami dulu, waktu sama-sama belajar dulu.
Mak Cik Nah, tuan punya kedai makan yang kami selalu makan dulu, masih ingatkan kami. Riuh rendah Mak Cik Nah bercerita, macam selalu. Seronok berbual-bual dengan Mak Cik Nah. Macam-macam soalan ditanya, tentang AHH, tentang AMI, SJ, Sal, Ani dan beberapa orang lagi kawan kami yang selalu makan bersama-sama di kedainya.
Hilang kerinduan masa laluku.
Nor Aizan Ab. Halim, Bandar Baru Bangi, 19 September 2011.
[Foto Hiasan Semata-mata]
Sebenarnya ada perasaan cemas juga dalam hati bila Irfan kata tidak dapat menghantarku ke airport. Dengan beg yang besar berisi batik dan berbagai ole-ole untuk ahli keluargaku, lumayan susahnya aku nanti. Kalau Irfan ada, dia boleh menolongku mengangkat beg-beg tersebut. Kalau dengan teksi susahnya bukan main. Aku mula membuat perhitungan. Macam mementingkan diri sendirilah pulak. Tidak, mencari keselesaan diri sebenarnya.
Akhirnya, aku rasa aku dapat jalan penyelesaiannya. Melihat kelibat Faiz yang menunggang motosikalnya ke arah rumah kostku, aku jadi lega. Nah, ini orang aku boleh meminta tolong, bisik hatiku. Faiz, senior kami, sejak akhir-akhir ini selalu datang ke kost kami dan berbual-bual dengan aku dan teman-teman. Kami jadi rapat dan tidak segan untuk meminta tolong.
Aku menggamitkan tanganku kepada Faiz setelah dia menongkatkan motornya di depan rumah kost anak ‘cowok’. Sebenarnya hanya bersebelahan dengan kost aku. Dia berjalan sedikit melenggang ke arahku, buat lawaklah tu, sambil mengangkat keningnya, bertanya. Luculah juga melihat gelagatnya.
“Boleh tolong hantar saya ke air port besok pagi?” Aku terus bertanya, tidak sabar mendapatkan jawapannya.
“Hmm....besok...besok ye...” Faiz buat-buat berfikir, jual mahal lah tu, aku mengagak.
Aku yakin jawapannya ‘ya’ kerana dia tidak pernah menolak permintaanku sebelum ini. Sudah beberapa kali dia menemani aku menelefon ke kampung pada waktu malam, untuk mendapatkan harga yang lebih murah, sekiranya Irfan tidak dapat menemani aku.
“Pukul berapa?” Akhirnya Faiz bertanya meminta kepastian. “Pukul 7 pagilah dari sini, flight pukul 12 tengahari, ok tak?” Aku sebenarnya kurang yakin waktu yang diperlukan untuk sampai ke Lapangan Terbang Soekarno-Hatta. Maklum, baru pertama kali balik, tidak dapat ‘timing’ masa dengan betul. Akhirnya Faiz mengangguk tanda setuju dengan pilihan waktu dan mahu menemani aku ke lapangan terbang.
Aku menarik nafas lega. Alhamdulillah. Selesai sudah beban dalam kepalaku sejak kelmarin, apabila Irfan menyatakan kegagalannya menghantarku kerana terpaksa berlepas ke Australia lebih cepat.
“Terima kasih Faiz....Tuhan sajalah yang membalas kebaikan awak,” ucapku ikhlas. Faiz hanya tersengih menampakkan barisan giginya yang putih tersusun rapi, cantik sekali. Suka aku melihatnya. Faiz, walaupun tidak kacak dan agak pendiam orangnya, tetapi ada daya tarikannya yang tersendiri dianugerahkan Allah dengan gigi yang cantik dan ‘otak yang cair’, selalu menjadi pakar rujuk aku dan anak-anak ‘junior’. Dia juga pendengar yang baik kerana dia tidak banyak cakap, jadi dia lebih banyak mendengar....hehe itulah Faiz.
Tapi sebenarnya ada rasa risau juga ketika selalu mengajak Faiz menemani aku ke mana-mana, kata anak-anak, dia sudah ada ‘pacar’ anak Malaysia juga. Jangan si-dia cemburu sudahlah. Tidak ada niatpun untuk mengganggu hubungan mereka. Insyallah.
Apa-apa pun hati lega, masalah di sini sudah selesai. Masalah kat Lapangan terbang Subang juga sudah lama selesai. Adik angkatku Izani sudah bersedia untuk menungguku di sana. Izani yang sangat baik kepadaku, sentiasa muncul ketika aku memerlukan. Malah, ketika saat dukaku dialah yang menjadi penawarnya. Ketika aku di Jakarta, tidak putus-putus surat dikirim kepadaku, dengan kata-kata semangat dan nasihat. Surat terakhir, Izani yang kupanggil Adik, menyatakan dia akan menungguku di Lapangan Terbang Subang, pada masa yang telah kunyatakan di dalam surat balasanku kepadanya. Terima kasih Adik. Terima kasih Faiz. Baiknya kamu semua.
Pagi-pagi aku sudah bersedia untuk ke Lapangan Terbang. Tidak sabar. Faiz yang menguruskan teksi. Pukul berapa aku tidak pasti. Yang pasti, pukul 7 pagi aku sudah bersedia dengan beg di ruang tamu rumah kostku.
Ada dua beg, satu beg besar berisi batik dan beberapa helai pakaian di bahagian atasnya. Satu beg lagi berisi makanan, buah salak segar dan jeruk salak, pisang kaki dan kek lapis yang akan kubawa ke dalam pesawat. Beg besar satu sahaja masuk bagasi. Itupun risau juga takut terlebih berat. Berat yang dibenarkan hanyalah 20 kilogram. Aku pulang sendirian. Anak-anak Malaysia yang lain tidak balik. Mereka akan pulang bercuti semester kedua, lebih panjang masanya, lebih kurang tiga bulan. Kalau terlebih berat, aku tidak dapat menumpang berat rakan-rakan yang lain. Aduh, perlu sediakan wang rupiah lebih untuk membayar lebihan berat nanti, aku mengingatkan diri sendiri.
Jarum pendek jam dindingku menunjukkan ke angka 7, jarum panjangnya menghampiri angka 6. Dug, dag...jantung mula berdegup, hampir jam 7.30 pagi, Faiz belum muncul lagi dengan teksinya. Dua puluh minit kemudian barulah kedengaran motor memasuki lorong rumah kostku. Itu pasti motor Faiz.
Aku menarik daun pintu. Menjenguk keluar. Betul. Faiz tersengih memandangku. “Tak lewat ke ni?” Aku mula meluahkan kebimbanganku. Maklum, orang tidak pernah balik kampung. Risau semacamlah. “Sempat, jangan risau.” Faiz meyakinkan aku.
“Mana teksinya?” Tanyaku lagi, bimbang.
“Kat luar, kita kena bawa beg ni keluar ke Jalan Margonda Raya.” Faiz menjelaskan. Mendengar suara kami bising di luar, rakan-rakan Malaysia yang lain keluar untuk membantu. Lukman (arwah) dan Rodzi membantu mengangkat, menarik beg berodaku ke Jalan Margonda Raya, kira-kira 20 meter dari kostku.
Pemandu teksi memasukkan begku ke dalam ‘bonet’. Selepas bersalaman dengan rakan-rakanku, lebih kurang pukul 8 pagi, aku dan Faiz menaiki teksi menuju ke bandara. Pukul 10.30 kami sudah sampai. Alhamdulillah, hilang risauku. Dah selamat sampai. Faiz membantuku mengambil troli dan menolak ke ruangan ‘check in’. Sudah ramai yang beratur.
Faiz masih menemaniku. Begku ditimbang. Opss...terlebih 10 kilogram. Sedang aku hendak mengeluarkan dompet duitku, aku terasa bahuku dicuit dari belakang. Aku berpaling ke belakang. Aku tak kenal, tetapi kenapa dia mencuit, bahuku.
“Maaf, pelajar Malaysia ke? Nak tumpang berat saya?” Tiba-tiba pemuda berkulit putih kuning itu menawarkan bantuannya kepadaku. Aduh....pucuk dicita ulam mendatanglah jawabnya....alhamdulillah rezeki lagi.
“Boleh ke...?” Tanyaku berbasa basi, sedangkan di dalam hatiku memang sangat suka.
“Boleh...apa salahnya.” Pemuda tersebut menjawab sambil melangkah ke depan, membawa begnya dan mengangkat ke atas tempat timbangan berat. Hanya satu beg sahaja.
“Saya bersama dengan dia ya....” Pemuda yang belum kutahu namanya memaklumkan kepada petugas di kaunter tersebut, sambil tangannya menunjukkan ke arahku. Begnya hanya berat 5 kilogram sahaja. Alhamdulillah, selamat lagi aku. Terima kasih Tuhan, mengutuskan aku seorang lagi penyelamat. Aku senyum kepada pemuda tersebut. Mahu tidak mahu, suka atau tidak akhirnya pasti ‘seat’ aku bersebelahan dengannya. Tak apalah. Orang dahpun berbudi dengan kita, apa salahnya berkawan dengan dia pula.....hehe. Paling-paling, mungkin kena melayannya bercakap selama dua jam penerbangan. Ok lah tu. Harap-harap orangnya menyenangkan.
“Terima kasih ye.” Hanya itu ucapan yang mampu kuberikan kepada orang yang baik seperti dia. Dia hanya mengangguk dan memberikan senyumannya kepadaku. Aku membalas senyumannya dan meminta diri untuk bertemu Faiz.
Aku mengikut Faiz keluar sekejap sebelum Faiz balik, aku perlu memberi wang tambang dan mengucapkan terima kasihku kepada Faiz, yang sanggup bersusah payah untukku.
“Thanks Faiz. Sori la asyik susahkan awak je kan...?” Ucapku sambil menghulurkan wang Rp50,000 kepadanya. Faiz menolak, “Tak apalah, awak yang nak guna banyak duit tu, saya tak balik, duit tak habis banyak, jangan risau, banyak duit ni,” katanya sambil menunjukkan beg duitnya yang tebal. “Duit atau kertas...hehe?” Perliku. Faiz hanya ketawa. Walaupun aku berulangkali menghulurkan duit tetapi tetap Faiz tidak mahu mengambil duitku. Hanya terima kasih dapat kuberikan kepada Faiz yang baik.
“Balik nanti macamana, boleh balik sendiri?” Faiz ingin memastikan aku tidak menghadapi masalah ketika balik ke sini bulan depan. “Insyallah, saya ambil teksi je nanti,” jawabku untuk tidak menyusahkan Faiz lagi. Faiz hanya mengangguk.
Sebenarnya aku hendak melihat Faiz yang balik dulu baru aku masuk, tetapi Faiz pula mahu aku yang masuk dulu baru dia akan balik. Baiklah, aku yang mengalah masuk ke balai berlepas. Pemuda tadi juga belum masuk. Menunggu aku ke, tanyaku kepada diri sendiri. Perasanlah pulak.
Dia berjalan bersama-sama aku menuju ke pesawat MAS kami, MH Boeing 737, kalau tak salahku. Masing-masing diam melayan perasaan sendiri. Aku tidak suka naik pesawat terbang sebenarnya. Tidak tahan gayat, waktu nak naik dan mendarat, sangat tidak suka.
Kami mengambil tempat duduk masing-masing. Aku duduk di tepi tingkap. Dia di tempat duduk sebelahku. Duduk bertenang. Biasa, aku akan membaca bermacam-macam doa untuk mengurangkan rasa cemas dan gayatku.
Kapal terbang mula bergerak. Kemudian semakin tinggi dan hatiku juga jadi semakin melayang. Gayat. Aduh....tidak suka. Ketika mula merempuh awan, ada gegaran menyebabkan aku semakin terasa tidak selesa.
“Saudari, saya Roslan, boleh tahu nama saudari.” Lelaki sebelahku memulakan bicara, memecahkan rasa segan silu kami berdua. Sapaannya menyebabkan fokusku kepada gayat hilang. Di sebelahnya, duduk tenang seorang lelaki mat salleh warga emas, pelanconglah tu.
“Nor Aizan,” jawabku ringkas. Rasa tak patut pula tidak memperkenalkan diri setelah dia memintanya. Tak Sopan. Dahlah orang menolong, takkan nak sombong pula. Bila sudah memulakan bicara, tidak berhenti-hentilah pula Roslan bercerita. Bagus juga, tumpuan aku kepada perbualan kami menyebabkan keresahanku menghadapi gayatku hilang.
Rupa-rupanya dia bekerja di kedutaan Malaysia di London, bahagian perdagangan. Ke Jakarta hanya untuk makan angin, menghabiskan cutinya. Umurnya sudah mencecah tiga puluh tahun. Aku pun terpaksalah memperkenalkan diri pula, bercerita serba sedikit. Nanti tak adil pula kalau dia saja yang bercerita.
“Nak balik ke mana?” Tanyanya lagi.
“Kuantan.” Perbualan kami terhenti sebentar ketika pramugari MAS yang comel, berseragam kebaya corak bunga berwarna biru cair, dengan senyuman manis terukir di bibir, membawa jus nenas kepada kami.
“Oh, orang Pahang. Saya pun, orang Temerloh.” Sesi perkenalan berterusan. Tanpa disengajakan, destinasi kami sama rupanya, ke negeri Pahang Darul Makmur.
“Nanti siapa yang jemput kat air port?” Roslan meneruskan investigasinya.
“Ada adik,” jawabku.
“Oh, tak pe lah dah ada orang jemput. Kalau tak ada, nak ikut sayapun boleh. Saya boleh hantar ke stesen bas Puduraya.” Roslan menjelaskan dia bawa kereta sendiri, tetapi adiknya bawa kereta balik ke rumahnya di Ampang. Nanti adiknya akan datang membawa keretanya sekali. Aku hanya mendengar penjelasan panjang lebar Roslan.
Sesi menikmati makan tengahari. Daging masak kurma aku rasa. Ada sayur dan nasi, macam nasi minyak rupanya. Boleh tahan rasanya. Hilang rasa laparku. Belum sarapan tadi, tidak sempat. Makanan ini aku rasakan sangat sedap, mungkin kerana perut lapar. Hidangan dan layanan Sistem Penerbangan Malaysia (MAS), pada ketika ini memang diakui dunia memuaskan.
Perbualan diteruskan lagi. Aku mengintai lelaki Mat Salleh di sebelah, tidur nyenyak dia. Iri hatiku melihat Mat Salleh tidur. Aku tak boleh tidur, walaupun mengantuk kerana malam tadi tidur lewat, berkemas. Aku terpaksa melayan si Roslan berbual. Banyak ceritanya. Makin lama makin rancak. Macam-macam cerita. Kisah-kisah dan pengalaman dia semasa bertugas di luar negara, masa dia belajar di New Zealand dan macam-macam lagi. Aku lebih banyak mendengar. Tiada cerita menarik hendak dikongsi dengannya.
Tinggal beberapa minit lagi kapal terbang akan mendarat. Aku tidak sedar ketika pesawat mula mengurangkan ketinggian tadi, tidak terasa gayatnya, dek melayan Roslan berbual. Syukurlah, terlepas rasa gayatku. Gegaran roda mencecah bumi sudah terasa. Aku memegang kuat pada kerusi. Tidak suka. Macam-macam terbayang, seperti dalam televisyen tu, terbabas, terbakar dan sebagainya.
Nah....sudah sampai. Akhirnya, alhamdulillah, perjalanan kami selamat. Aku dan Roslan masih bersama menuju ke imigresen. Kemudian mengambil beg kami. Roslan mengambil troli untukku juga. Kami mengangkat beg ke atas troli dan menolaknya menuju ke pemeriksaan kastam. Hati berdebar-debar sebenarnya bila teringatkan begitu banyak batik yang kubawa, melebihi 50 helai. Bisa-bisa dirampas semuanya. Aku mula membaca ayat kursi, seribu dinar dan macam-macam doa yang kuingat agar aku dapat melepasi kastam dengan selamat.
Lebih menakutkan, bila aku melihat seorang pelajar dari Ujung Pandang, kalau tidak silap, yang di kaunter pemeriksaan sebelahku, pegawai kastam perempuan, kain batiknya hampir semua dirampas, hanya tinggal beberapa helai sahaja. Semua ini berlaku menurut firasat dan pandanganku kerana pelajar tersebut seolah-olah melawan, berkeras tidak mahu membuka begnya. Jangan melawan kerana mereka terpaksa melakukan tugas dan tanggung jawab yang diamanahkan kepada mereka. Biarkan saja, kalau ada rezeki kita selamatlah, bukan kita nak buat kerja jahatpun, hanya nak bagi hadiah untuk mengembirakan hati ahli keluarga dan kawan-kawan, rumusku di dalam hati.
Sampai giliranku. Degupan jantungku sangat kencang, tetapi aku cuba untuk setenang-tenang yang boleh. Kunci beg sudah aku genggam di tangan.
“Student ye...?” tanya petugas kastam lelaki tersebut.
“Ya....,”jawabku dengan suara tegas dan berani yang dibuat-buat. Ada getaran dalam suaraku. Gemuruh.
“Ada bawa banyak barang?” Tanyanya lagi. Aku mengangguk.
“Barang apa? Batik ada?” Pegawai kastam tersebut bertanya lagi.
“Macam-macam Encik, buah tangan untuk keluarga. Batik pun ada beberapa helai. Encik nak periksa ke?” Jawabku dengan gaya berani sambil membuka kunci begku tanpa diminta. Dia hanya membelek-belek sekejap. Lalu menyuruh aku menutup begku dan melepaskan supaya meneruskan perjalananku. Hatiku berdegup kencang semula. Cepat-cepat mahu berlalu, bimbang akan dipanggil semula untuk pemeriksaan ulang. Biasalah orang buat salah, takutlah.
Ya Allah.....alhamdulillah, dia tidak membukanya dan tidak memeriksanya sampai ke bawah. Roslan di belakangku, langsung tidak diperiksa begnya. Hanya berbual-bual seketika. Kebal hukum ke dia? Aku bertanya pada diriku sendiri.
Aku menolak troliku sepantas yang boleh. Ingin cepat-cepat ‘check out’. Adik pasti sedang menungguku. Tidak sabar nak berjumpa dengannya.
“Nor.....!” Tiba-tiba namaku dipanggil. Suara Roslan. Aku boleh cam setelah dua jam berbual-bual tidak berhenti-henti di pesawat tadi. Aku berhentikan troliku, menoleh ke arahnya.
Roslan menuju ke arahku dengan langkah yang dipercepatkan, bimbang aku tinggalkannya. Roslan menghulurkan kad namanya yang tercatat nama, nombor telefon dan jawatannya. Nama tercatat, Roslan Datuk Muzaffar. Nombor telefon rumah dan pejabat di London dan Kuala Lumpur.
“Boleh dapat nombor telefon awak dan alamat restoran, nanti kalau ke Kuantan boleh saya singgah,” pinta Roslan.
Macamana ni, apa perlu aku memberikan nombor telefon dan alamat restoran Mak ke? Aku serba salah. Rasa tidak wajar pula kalau aku tidak memberikannya setelah Roslan beria-ia memintanya. Tapi kalau aku bagi, tak apa ke? Akhirnya aku mencatatkan juga nombor telefon dan alamat restoran Mak di Kuantan pada kad nama yang dihulur oleh Roslan, walaupun hati terasa berat, baru kenal tidak sampai tiga jam, dah nak bagi nombor telefon dan alamat. Alah, positif sajalah.
Izani datang menghampiri. Dia bersalaman dengan Roslan. Masing-masing memperkenalkan diri. Adik Roslan pun sudah sampai. Roslan meminta diri bergerak dahulu. Kami mengangguk.
“Nanti jumpa lagi Nor.” Roslan berlalu bersama adiknya. Aku hanya mengangguk mengiakan.
Adik mengajak aku ke Petaling Jaya, Seksyen 17, makan di tempat yang selalu kami makan bersama. Mengembalikan nostalgia kami dulu, waktu sama-sama belajar dulu.
Mak Cik Nah, tuan punya kedai makan yang kami selalu makan dulu, masih ingatkan kami. Riuh rendah Mak Cik Nah bercerita, macam selalu. Seronok berbual-bual dengan Mak Cik Nah. Macam-macam soalan ditanya, tentang AHH, tentang AMI, SJ, Sal, Ani dan beberapa orang lagi kawan kami yang selalu makan bersama-sama di kedainya.
Hilang kerinduan masa laluku.
Nor Aizan Ab. Halim, Bandar Baru Bangi, 19 September 2011.
Saturday, 17 September 2011
Nostalgia Di Kampus Depok – Siri 12 – Nor Aizan Ab Halim
Kaukah Jodohku?
[Foto Hiasan Semata-mata]
Peperiksaan berjalan seperti yang dirancang. Alhamdulillah, setiap subjek aku dapat menjawab dengan baik. Dua minggu berhempas pulas dan bertungkus lumus, akhirnya selesai peperiksaanku dengan sempurna mengikut ukuranku. Rasa-rasanya jika tiada aral melintang, hasilku nanti tidak akan mengeciwakanku, keluarga dan penajaku Jabatan Perkhidmatan Awam (JPA).
Tadi kertas peperiksaan terakhir, Pengantar Ilmu Komunikasi. Aku, Irfan dan Ineng sama-sama mengambil kertas ini. Irfan mengambilnya untuk menambah jam kreditnya yang masih kurang.
”Bagaimana, gampang ngak?” Tanyaku kepada Ineng dan Irfan. Kedua-duanya mengangguk serentak.
“Kamu gimana?” Tanya Ineng kepadaku pula. “Boleh la...,” jawabku dalam nada lenggok Malaysiaku. Irfan ketawa mendengar jawapanku. Ineng ikut ketawa juga. Mungkin lucu dipendengaran mereka.
“Ke mana kita? Udah bebas ni….” Ineng mengajukan pertanyaannya kepada aku dan Irfan.
“Tumben kamu ngak buru-buru pulang ni Neng?” Giliran Irfan pula bertanya kepada Ineng setelah melihat Ineng begitu santai mengekori kami.
“Ngak buru-buru kot, mamaku udah kasih ruang untuk aku release tension aku abis exam ari ni,” jelas Ineng.
“Mau ke mana Nur?” Akhirnya Irfan mahu aku yang memilih arah tujuan kami hari ini.
“Ke mana-manapun bisa, ke bulan bintang pun boleh, gue ikut aja....,” jawabku.
Kami sepakat untuk makan di Warung gudeg di Jalan Margonda Raya, berhampiran rumah kost aku. Sedap masakan nenek yang kami panggil Mbah, pemilik restoran yang dinamakan Warung Gudeg. Opor ayamnya sangat aku gemari. Sedap sesuai dengan seleraku. Serata rasa lemak, masin, manis pada opor ayamnya. Tempe gorengnya juga enak, gurih (rangup). Berselera sekali kami bertiga makan. Kali ini kami memesan makanan yang sama ditambah es jeruk.
Selesai makan, kami bergerak ke arah Pasar Minggu. Irfan memberhentikan mobilnya di sebuah surau yang agak besar, kelihatannya macam sebuah masjid, tetapi sebenarnya surau.
“Mau solat ngak?” Irfan bertanya sambil menunggu jawapan dari aku dan Ineng. Serentak kami mengangguk.
Aku dan Ineng turun dari mobil. Kami meninjau ke tempat solat wanita, memastikan adakah telekung yang disediakan. Ada. Beberapa pasang tersangkut pada ampaian kayu yang terletak di sudut kanan belakang tempat solat wanita. Syukurlah. Kami berdua menuju ke tempat wuduk. Solat Zohor perlu disempurnakan dahulu sebelum kami keluar merayau-rayau hari ini, pesan Irfan tadi.
Alhamdulillah dapat kawan yang prihatin tentang solat dan ibadat. Tidaklah mudah aku terlalai dari melakukan ibadat yang menjadi tiang agama itu. Kalau tidak diingatkan, akan mudah terlupa dari melakukan solat pada usia muda macam ni. Rakan-rakan sangat menentukan dan mempengaruhi kealpaan.
Aku dan Ineng terus menunaikan kewajipan kami, sempurna mengikut ukuran kami sendiri, namun Yang Diataslah yang lebih maklum tentang kesempurnaan ibadat kami tadi. Rasanya dah ok. Insyallah. Kami keluar dari surau dengan perasaan lega kerana sudah menunaikan satu tanggungjawab hari ini. Irfan sudah setia menunggu di kereta. Lelaki, cepat siap, tak banyak aksesorinya, rumusku di dalam hati melihat Irfan yang begitu santai menunggu kami di mobilnya
“Ke mana Nur?” Irfan bertanya sambil menghidupkan injin mobil Toyota Camrynya.
“Ngak tau, ke mana kita Neng?” Giliran aku pula bertanya kepada Ineng. Aku memang tiada idea untuk ke mana hari ini. Hati tidak terlalu ghairah untuk bersiar-siar. Sudah di Malaysia sebenarnya. Fikiran sudah terbayangkan penerbangan pada hari Sabtu nanti. Tidak sabar. Kepulangan yang pertama.
“Kita ke Ancol yuk...,” akhirnya Ineng memberi cadangan untuk ke Pantai Ancol, pantai terdekat untuk warga Jakarta mendapatkan hembusan bayu laut. Boleh jugalah. Mengambil angin laut yang segar di waktu petang. Aku mengangguk. Irfan pun bersetuju.
Sampai di Ancol jam hampir 3 petang. Tidak ramai orang kerana hari ini hari Khamis. Kalau hujung minggu, pasti ramai. Rasa selesa tanpa pengunjung yang ramai. Kami boleh memilih tempat yang sesuai untuk kami duduk merehatkan diri sambil berbual-bual kosong, menghabiskan masa bersama-sama. Nanti kalau dah mula cuti, kami tidak dapat berjumpa sebulan lebih. Rindu juga sebab sudah biasa bersama-sama. Betul kata orang kekerapan bertemu, berbual, bercerita, mengadu dan meluahkan, akan menimbulkan keakraban, rasa sayang dan kerinduan jika tidak bertemu. Keakraban antara aku Irfan dan Ineng sudah sampai ke tahap itu.
Kami duduk di atas batuan di bawah pohon yang rimbun. Sepoi-sepoi bahasa tiupan angin laut mewujudkan suasana damai di hati dan jiwa. Rasa segar setelah dua minggu mengulangkaji pelajaran seolah-olah melupakan dunia, sebagai persediaan menghadapi peperiksaan kami. Berbaloi susah payahku, selepas kertas terakhir tadi ternyata ada perasaan lega bertamu di hati. Puas hati dengan setiap jawapanku.
Panjang cerita kami bertiga. Bermacam-macam topik dibincangkan. Paling menarik isu keruntuhan sosial remaja timur masa kini. Topik bermula ketika Irfan menunjukkan jarinya ke arah dua pasangan yang sedang bercumbuan di siang-siang buta, di tempat terbuka, tanpa rasa segan malu lagi.
Irfan tidak lepas dari gitarnya, apa lagi kamipun menyanyikan lagu popular masa itu, ‘Antara Anyer dan Jakarta” oleh Shiela Majid. Kami bertiga cukup hafal dengan lirik dan melodinya. Irfan memetik gitar memainkan lagu tersebut dengan begitu baik sekali.
Kemudiannya lagu Isabella Emy Search dan macam-macam lagi lagu sehinggakan suara kami perit. Terlebih melalak. Istilah popular mak kalau mendengar aku menyanyi.
Hampir tiga jam kami menghabiskan masa bersama-sama di pantai Ancol. Memang lega rasa hati dapat berhibur dan mencari ketenangan di pantai yang lengang ini. Minda pula kosong dari tekanan selepas kerahan minda menghadapi peperiksaan. Jam 6 sore, kami bertolak balik. Irfan menghantar Ineng ke rumahnya di Cawang. Aku singgah sekali ‘pamitan’ dari Ibu Ineng untuk pulang ke kampung. Maklum, nanti lebih sebulan juga tidak dapat bertemu Ibu Ineng. Ibu mengirim ole-ole untuk mak sehelai selendang batik lukis yang sangat cantik.
“Bu...aduh, cantik sekali selendang ini,” terpancur keluar pujian dari bibirku ketika melihat selendang yang sangat cantik itu. Warnanya yang biru laut, tenang sekali mata memandangnya. Ibu hanya tersenyum menerima pujianku. Tenang selalu wajah Ibu walau dalam keadaan bagaimana sekalipun. Hilang segala kekusutan jika dapat memandang wajah ibu Ineng. Itu anugerah dari Tuhan.
Aku meminta izin pulang dari Ibu. Aku bersalam, mencium tangan dan mencium pipi Ibu yang kusayang sebagai pengganti mak di Malaysia dan Ineng, yang kuanggap seperti adikku sendiri. Irfan pun bersalaman dengan Ibu dan Ineng. Kami pulang jam lapan, selepas aku menunaikan solat maghrib dan makan malam di rumah Ineng. Kalau sampai di rumah Ineng mesti makan, itu syarat utama Ibu kenakan kepadaku. Aku tahu dia sayang sungguh padaku. Tidak pernah berkira, duit dan makanan selalu diberi atau dikirim melalui Ineng untukku. Kadang-kadang sangat segan diperlakukan begitu, tetapi menurut Ineng ibunya memang seorang yang sangat penyayang dan mempunyai ramai anak angkat. Kalau hatinya senang, pasti akan dilimpahi kasih sayang dan perhatiannya. Alhamdulillah, aku salah seorang insan terpilih yang dapat memenuhi rasa hati seorang yang kupanggil Ibu.
“Besok aku jemput kamu jam 9 pagi ya Nur....” Irfan mengingatkanku tentang janji kami untuk menemani aku membeli ole-ole untuk ayah, abang dan adik-adik lelakiku yang belum sempat kubeli. Untuk yang perempuan sudah kubeli semuanya.
Aku menganggukkan kepala, bersetuju.
Sampai di kost, Depok hampir pukul 9 malam. Irfan menemani aku masuk hampir ke kostku dan menunggu aku masuk ke rumah dengan selamat, barulah dia beredar.
Irfan selalu begitu, sangat bertanggung jawab, bukan saja denganku, tetapi dengan semua orang yang berurusan dengannya. Itu selalu aku perhatikan. Sikapnya, keprihatinan, dan kematangannya membuatkan hatiku semakin dekat dengannya. Memang betul kata orang selalu berjumpa dan merasai dihargai dan diambilberat menyebabkan apa saja kemungkinan boleh berlaku.
Aku masuk ke kamarku. Anak-anak kost yang lain semuanya berada di bilik masing-masing, studi, mereka masih ada dua kertas peperiksaan yang perlu dilalui. Aku sudah merdeka, mereka belum, masih perlu berjuang.
Kepala sudah berat kerana seharian berjalan dan hanya sekali mandi pagi. Kaki juga sudah ‘pegal’ keletihan. Aku mencapai tuala dan terus ke kamar mandi. Solat dan tidur dengan nyenyaknya.
Jam loceng 5 pagi terlupa kukunci. Subuhku kesiangan. Aku bangkit dari katil terus wuduk dan solat walaupun jam sudah hampir 7 pagi. Orang kata kalau tak sedar tanpa sengaja, terus wuduk dan solat, masih boleh kira dalam waktu. Ya Allah, terimalah ibadatku ini kerana aku tidak sengaja, doaku selepas solat. Insyallah, mudah-mudahan doaku diterima Yang Maha Kuasa.
Sebelum mandi aku meminta ibu Iyem buatkan sarapan. Aku mandi. Selesai mandi, sarapan nasi goreng Ibu Iyem. Sudah sedap rasanya, setelah kuajar goreng nasi gaya Malaysiaku. Ada telur, sayur dan ikan bilis. Kalau dulu, aduh nasi gorengnya hanya nasi, cabe (cili) dan kicap semata-mata. Nak telan pun panjang leher rasanya. Habis makan mual loya mahu muntah. Bukan apa, tidak biasa dengan nasi goreng ‘togil’ macam tu.
Jam 9 pagi, Irfan sudah terpacul di depan pintu kostku. Anak-anak lain sudah keluar. Ke perpustakaan agaknya, tidak sempat bertanya tadi. Aku mengekori Irfan ke mobilnya yang diletakkan di Jalan Margonda Raya, tidak boleh rapat ke kostku yang melalui gang (lorong) kecil.
“Ke mana kita Nur...?” Soalan biasa bila nak berbelanja.
“Blok M......ok ngak?” Aku meminta persetujuan. Irfan hanya mengangguk setuju.
“Blok M dulu, nanti kalo ngak ada yang bagus, kita ke Mangga Dua.....” Irfan memberi cadangan. Giliran aku pula mengangguk setuju. Sabar dia melayan kerenahku.
Aku memilih baju kemeja batik untuk ayah, abang dan adik-adik. Untuk anak buahku yang masih kecil kubelikan sepasang baju siap. Banyak pilihan corak yang ada menyebabkan aku cepat membeli untuk mereka. Semua ada di Blok M, jadi tidaklah perlu ke Mangga Dua.
Lega. Semuanya sudah selesai. Rasa-rasanya tiada yang tertinggal lagi. Tiada yang akan terasa hati. Itu kelemahanku. Terlalu menjaga perasaan orang. Kadang-kadang ingin juga jadi orang yang tidak memikirkan perasaan orang, agaknya lebih bebas dan selesa......mungkin, tapi bagaimana caranya? Boleh ke? Ia datang dengan sendiri, bukan disengajakan, atau dipaksa.
Irfan mengajak aku makan tengahari di sebuah restoran yang lumayan selesa dan nampak mewah. Aku lupa namanya.
“Wah, spesial ni Fan...?” Aku perli Irfan sebenarnya. Sebelum ini jarang sekali aku diajak makan di tempat yang mahal. Aku selalu perli dia ‘pelit’ (kedekut), tetapi sebenarnya tidak. Aku tahu dia anak yang merendah diri dan diajar tidak bermewah-mewah atau membazir, walaupun dia dan keluarganya sangat berkemampuan.
Aku ke ‘kamar wanita’. Ketika aku kembali ke meja makan kami, kulihat di atas meja penuh dengan lauk, sayur dan bermacam-macam makanan yang membuatkan aku terkedu seketika.
“Mau kasi makan siapa ni Fan?” Aku ingin mendapatkan kepastian. Irfan hanya ketawa kecil, “Alaa...makan aja..kamu selalu bilang aku pelit...ternyata ngak kan...ayo buat kita berdua,” jelasnya, memulangkan paku buah kerasnya padaku.
“Apa bisa kita berdua ngabisin semua nih.....?” Soalku lagi. Aku sudah hilang selera melihat kepelbagaian hidangan di atas meja. Betul. Aku sudah dibiasakan makan satu atau dua lauk, sayur dan pencuci mulut. Bila makanan banyak seperti ini, rasa muak, tidak tahu nak pilih yang mana.
“Ngak apa-apa, makan aja apa yang mahu...kalau ngak abis, biarkan aja...nanti yang dikira yang kita makan aje...” Irfan menjelaskan.
“Oh ya...boleh begitu ya...?” Tanyaku lagi. Irfan mengangguk. Akhirnya, kami menjamu selera dalam keadaan tenang dan selesa tanpa gangguan peminta sedekah, pengamen, dan dinyamankan oleh pendingin hawa serta lagu instrumental 'when i need u'.
“Nur, aku ngak bisa ngantarin kamu ke airport besok. Flight gue dirubah ke pagi besok, bokap ada urusan penting harus cepat ke sana. Kamu, ada yang ngantarin ngak?” Irfan menjelaskan sambil kami makan. Irfan rasa bersalah tidak dapat menunaikan janjinya padaku.
“OK...ngak apa-apa. Aku bisa minta teman Malaysia ngantarin aku....jangan khawatir. Kamu udah banyak membantu aku di sini Fan...Itu juga ngak bisa aku balas, baik banget kamu sama aku.” Aku jadi sedih bila mengingatkan kehadiran Irfan yang banyak mengubat duka dan kecewaku..Hidup aku di Jakarta jadi mudah dengan kehadirannya.
“Kok jadi sedih begini...? Ngak ada apanya Nur, apa yang gue lakukan sama lue sebenarnya dengan kehendak Tuhan, gue sendiri ngak sadar, kok kita bisa jadi baik dan akrab sebegini, ” Irfan mula meluahkan isi hatinya. “Malah mahu biarkan kamu pulang ini saja aku udah rasa berat hati....sungguh Nur, kamu sadar ngak,” katanya lagi.
Aku hanya memandang dan mendengar ucapan Irfan dengan hati-hati. Perasaan aku mengatakan ada sesuatu yang ingin diluahkan anak ini. Irfan yang dari tadi berkata-kata sambil menundukkan kepalanya, kini memandang ke arahku dengan pandangan yang lain dari biasa.
“Kenapa kamu...?” Perasaan ingin tahuku memuncak, melihat sikap Irfan yang berbeza dari biasa.
“Kamu jangan marah, dengar aja dan aku harap kita bisa terus berteman, walau apapun yang terjadi ok,” pinta Irfan. Aku mengangguk tetapi dalam hatiku seribu satu pertanyaan dan perasaan yang muncul. Hatiku mula berdebar-debar melihat renungan matanya yang terasa tembus ke jantungku.
“Sebenarnya aku memang benar-benar sayang sama kamu Nur.” Irfan akhirnya meluahkan isi hatinya. “Sayang bagaimana maksud kamu?” Tanyaku untuk kepastian walaupun hatiku sudah yakin dengan maksud sebenarnya. Jantungkuku berdegup kencang. Ada perasaan berbunga-bunga di sana.
“Bisa ngak kamu terima aku sebagai teman spesial kamu. Aku mahu pasti sebelum aku melanjutin master aku ke US tahun depan. Aku mahu tunangan dulu sebelum pergi,” sambung Irfan lagi.
Begitu berani Irfan mengeluarkan patah demi patah ayatnya tanpa rasa takut aku menolaknya. Begitu yakinnya dia. Mungkin gelagatku selama ini dapat dibacanya yang aku sukakan dia. Suka, bukan bererti cinta. Rasanya cintaku dah mati bersama AHHku. Lalu ini perasaan apa sebenarnya yang juga muncul dalam hatiku. Sayang, memang betul. Tetapi mungkinkah ada cinta kedua, selepas hati hancur musnah dek cinta pertama dulu. Adoi.....
Aku merenung ke dalam mata Irfan. Tidak dinafikan aku suka dia. Semua yang dimilikinya menepati cita rasaku terhadap seorang lelaki yang terbaik untuk pasangan hidup. Rupanya, tampan. Berbudi bahasa, indah sekali, Keimanannya, sangat membimbing aku. Masa depanku pasti terjamin jika bersamanya. Usia kami pun sebaya. Aku mula menganalisis, dengan menolak ke tepi dulu soal takdir, Qada dan Qadar Allah seperti yang telah ditetapkan kepada aku dan AHHku dulu.
“Kenapa aku Fan...kamu lihat aku, tiada apa yang istimewanya. Anak-anak di sini lebih cantik, lebih sopan, lebih kaya dan lebih segala-galanya dari aku. Ngak punya apa-apa aku ini Fan?” Giliran aku menyoal Irfan.
“Tentang itu, jangan kamu tanya aku Nur, aku ngak bisa jawab. Aku sendiri ngak tahu, yang pasti aku tahu aku suka kamu, sayang kamu, dan senang bila bersama kamu, udah cukup bahagia aku rasa. Sejak aku ketemu kamu aku cukup bahagia, hidup aku tenang, tau ngak.” Irfan terus meluahkan rasa hati yang mungkin dipendam selama ini.
Aku terkedu tidak dapat berkata apa-apa. Sebenarnya naluri perempuanku senang mendengar ucapan itu, aku akui, walaupun dalam hati kecilku ada rasa takut. Aku yang sudah dibuang AHH, akhirnya diterima dengan perasaan seperti ini oleh Irfan. Betul ke? Melihat apa yang dilakukan kepadaku selama ini, masa, tenaga dan wang ringgit, tidak pernah berkira denganku, sepertinya ada kebenaran apa yang diungkapkan sebentar tadi.
“Bagaimana dengan ibu, bapak dan keluargamu?” Sengaja aku ungkitkan persoalan ini kerana aku tahu dia satu-satunya anak lelaki dalam keluarga yang bakal menerajui perusahaan bapanya, dan pastinya akan menjadi pemimpin dalam keluarga menggantikan bapanya.
“Aku anak kesayangan mereka Nur, apa saja keputusanku akan menjadi keputusan mereka juga,” jawabnya. Yakin sekali dengan jawapannya.
“Itu keputusanmu mengenai hal-hal yang lain, bukan soal kawin Fan...ini untuk jangka panjang, bukan main-main. Kamu anak yang akan jadi tunjang dalam keluargamu.” Aku mengingatkan Irfan yang aku rasakan sedang angau, tidak boleh berfikir dengan baik.
“Aku tau, justru itu aku pilih kamu....yang bisa jadikan aku tunjang dalam keluargaku.” Aku tertarik juga dengan jawapannya, “Lho...bagaimana aku bisa bantu kamu jadi tunjang Fan?” Aku jadi penasaran mahu tahu jawapannya. Tapi sayangnya Irfan hanya senyum, kemudiannya ketawa membiarkan aku dengan perasaan ingin tahuku.
“Nur, benar nih...kalau kamu setuju, kamu pulang kasih tau ibumu, keluargamu akan niatku...aku ngak main-main. Aku ke Australi, aku bilang sama nyokap dan bokap, aku yakin mereka setuju sama aku. Mbak Fitri udah tau kok, aku udah bilang sama Mbak Fitri, dia sih setuju aja. Dia senang sama kamu Nur.” Penjelasan Irfan menyedarkan aku tentang misi Irfan terhadapku selama ini. Aku sangka kami hanya teman rapat sahaja, rupanya dia ada niat lain, membina harapan.
“Bagaimana jika aku menolakmu?” Aku menduganya.
“Aku hormati keputusan kamu kalau itu kamu rasa yang terbaik buat kamu Nur. Tapi aku pasti amat kecewa. Namun aku mau kita terus berteman walaupun bukan sebagai pacar. Boleh?” Tenang sekali anak ini dalam berkata-kata. Ada satu perasaan yang mula menebal dihatiku.
Aku dihantar pulang. Berat pula rasa hati hendak berpisah. Untuk pertama kalinya Irfan mengambil tanganku dan mencium tanganku, lama sekali. Kenapa aku membiarkan dia memperlakukan aku begitu? Aku pulang membawa misi.
Irfan oh Irfan.
Nor Aizan Ab. Halim, Bandar Baru Bangi, 17 September 2011.
[Foto Hiasan Semata-mata]
Peperiksaan berjalan seperti yang dirancang. Alhamdulillah, setiap subjek aku dapat menjawab dengan baik. Dua minggu berhempas pulas dan bertungkus lumus, akhirnya selesai peperiksaanku dengan sempurna mengikut ukuranku. Rasa-rasanya jika tiada aral melintang, hasilku nanti tidak akan mengeciwakanku, keluarga dan penajaku Jabatan Perkhidmatan Awam (JPA).
Tadi kertas peperiksaan terakhir, Pengantar Ilmu Komunikasi. Aku, Irfan dan Ineng sama-sama mengambil kertas ini. Irfan mengambilnya untuk menambah jam kreditnya yang masih kurang.
”Bagaimana, gampang ngak?” Tanyaku kepada Ineng dan Irfan. Kedua-duanya mengangguk serentak.
“Kamu gimana?” Tanya Ineng kepadaku pula. “Boleh la...,” jawabku dalam nada lenggok Malaysiaku. Irfan ketawa mendengar jawapanku. Ineng ikut ketawa juga. Mungkin lucu dipendengaran mereka.
“Ke mana kita? Udah bebas ni….” Ineng mengajukan pertanyaannya kepada aku dan Irfan.
“Tumben kamu ngak buru-buru pulang ni Neng?” Giliran Irfan pula bertanya kepada Ineng setelah melihat Ineng begitu santai mengekori kami.
“Ngak buru-buru kot, mamaku udah kasih ruang untuk aku release tension aku abis exam ari ni,” jelas Ineng.
“Mau ke mana Nur?” Akhirnya Irfan mahu aku yang memilih arah tujuan kami hari ini.
“Ke mana-manapun bisa, ke bulan bintang pun boleh, gue ikut aja....,” jawabku.
Kami sepakat untuk makan di Warung gudeg di Jalan Margonda Raya, berhampiran rumah kost aku. Sedap masakan nenek yang kami panggil Mbah, pemilik restoran yang dinamakan Warung Gudeg. Opor ayamnya sangat aku gemari. Sedap sesuai dengan seleraku. Serata rasa lemak, masin, manis pada opor ayamnya. Tempe gorengnya juga enak, gurih (rangup). Berselera sekali kami bertiga makan. Kali ini kami memesan makanan yang sama ditambah es jeruk.
Selesai makan, kami bergerak ke arah Pasar Minggu. Irfan memberhentikan mobilnya di sebuah surau yang agak besar, kelihatannya macam sebuah masjid, tetapi sebenarnya surau.
“Mau solat ngak?” Irfan bertanya sambil menunggu jawapan dari aku dan Ineng. Serentak kami mengangguk.
Aku dan Ineng turun dari mobil. Kami meninjau ke tempat solat wanita, memastikan adakah telekung yang disediakan. Ada. Beberapa pasang tersangkut pada ampaian kayu yang terletak di sudut kanan belakang tempat solat wanita. Syukurlah. Kami berdua menuju ke tempat wuduk. Solat Zohor perlu disempurnakan dahulu sebelum kami keluar merayau-rayau hari ini, pesan Irfan tadi.
Alhamdulillah dapat kawan yang prihatin tentang solat dan ibadat. Tidaklah mudah aku terlalai dari melakukan ibadat yang menjadi tiang agama itu. Kalau tidak diingatkan, akan mudah terlupa dari melakukan solat pada usia muda macam ni. Rakan-rakan sangat menentukan dan mempengaruhi kealpaan.
Aku dan Ineng terus menunaikan kewajipan kami, sempurna mengikut ukuran kami sendiri, namun Yang Diataslah yang lebih maklum tentang kesempurnaan ibadat kami tadi. Rasanya dah ok. Insyallah. Kami keluar dari surau dengan perasaan lega kerana sudah menunaikan satu tanggungjawab hari ini. Irfan sudah setia menunggu di kereta. Lelaki, cepat siap, tak banyak aksesorinya, rumusku di dalam hati melihat Irfan yang begitu santai menunggu kami di mobilnya
“Ke mana Nur?” Irfan bertanya sambil menghidupkan injin mobil Toyota Camrynya.
“Ngak tau, ke mana kita Neng?” Giliran aku pula bertanya kepada Ineng. Aku memang tiada idea untuk ke mana hari ini. Hati tidak terlalu ghairah untuk bersiar-siar. Sudah di Malaysia sebenarnya. Fikiran sudah terbayangkan penerbangan pada hari Sabtu nanti. Tidak sabar. Kepulangan yang pertama.
“Kita ke Ancol yuk...,” akhirnya Ineng memberi cadangan untuk ke Pantai Ancol, pantai terdekat untuk warga Jakarta mendapatkan hembusan bayu laut. Boleh jugalah. Mengambil angin laut yang segar di waktu petang. Aku mengangguk. Irfan pun bersetuju.
Sampai di Ancol jam hampir 3 petang. Tidak ramai orang kerana hari ini hari Khamis. Kalau hujung minggu, pasti ramai. Rasa selesa tanpa pengunjung yang ramai. Kami boleh memilih tempat yang sesuai untuk kami duduk merehatkan diri sambil berbual-bual kosong, menghabiskan masa bersama-sama. Nanti kalau dah mula cuti, kami tidak dapat berjumpa sebulan lebih. Rindu juga sebab sudah biasa bersama-sama. Betul kata orang kekerapan bertemu, berbual, bercerita, mengadu dan meluahkan, akan menimbulkan keakraban, rasa sayang dan kerinduan jika tidak bertemu. Keakraban antara aku Irfan dan Ineng sudah sampai ke tahap itu.
Kami duduk di atas batuan di bawah pohon yang rimbun. Sepoi-sepoi bahasa tiupan angin laut mewujudkan suasana damai di hati dan jiwa. Rasa segar setelah dua minggu mengulangkaji pelajaran seolah-olah melupakan dunia, sebagai persediaan menghadapi peperiksaan kami. Berbaloi susah payahku, selepas kertas terakhir tadi ternyata ada perasaan lega bertamu di hati. Puas hati dengan setiap jawapanku.
Panjang cerita kami bertiga. Bermacam-macam topik dibincangkan. Paling menarik isu keruntuhan sosial remaja timur masa kini. Topik bermula ketika Irfan menunjukkan jarinya ke arah dua pasangan yang sedang bercumbuan di siang-siang buta, di tempat terbuka, tanpa rasa segan malu lagi.
Irfan tidak lepas dari gitarnya, apa lagi kamipun menyanyikan lagu popular masa itu, ‘Antara Anyer dan Jakarta” oleh Shiela Majid. Kami bertiga cukup hafal dengan lirik dan melodinya. Irfan memetik gitar memainkan lagu tersebut dengan begitu baik sekali.
Kemudiannya lagu Isabella Emy Search dan macam-macam lagi lagu sehinggakan suara kami perit. Terlebih melalak. Istilah popular mak kalau mendengar aku menyanyi.
Hampir tiga jam kami menghabiskan masa bersama-sama di pantai Ancol. Memang lega rasa hati dapat berhibur dan mencari ketenangan di pantai yang lengang ini. Minda pula kosong dari tekanan selepas kerahan minda menghadapi peperiksaan. Jam 6 sore, kami bertolak balik. Irfan menghantar Ineng ke rumahnya di Cawang. Aku singgah sekali ‘pamitan’ dari Ibu Ineng untuk pulang ke kampung. Maklum, nanti lebih sebulan juga tidak dapat bertemu Ibu Ineng. Ibu mengirim ole-ole untuk mak sehelai selendang batik lukis yang sangat cantik.
“Bu...aduh, cantik sekali selendang ini,” terpancur keluar pujian dari bibirku ketika melihat selendang yang sangat cantik itu. Warnanya yang biru laut, tenang sekali mata memandangnya. Ibu hanya tersenyum menerima pujianku. Tenang selalu wajah Ibu walau dalam keadaan bagaimana sekalipun. Hilang segala kekusutan jika dapat memandang wajah ibu Ineng. Itu anugerah dari Tuhan.
Aku meminta izin pulang dari Ibu. Aku bersalam, mencium tangan dan mencium pipi Ibu yang kusayang sebagai pengganti mak di Malaysia dan Ineng, yang kuanggap seperti adikku sendiri. Irfan pun bersalaman dengan Ibu dan Ineng. Kami pulang jam lapan, selepas aku menunaikan solat maghrib dan makan malam di rumah Ineng. Kalau sampai di rumah Ineng mesti makan, itu syarat utama Ibu kenakan kepadaku. Aku tahu dia sayang sungguh padaku. Tidak pernah berkira, duit dan makanan selalu diberi atau dikirim melalui Ineng untukku. Kadang-kadang sangat segan diperlakukan begitu, tetapi menurut Ineng ibunya memang seorang yang sangat penyayang dan mempunyai ramai anak angkat. Kalau hatinya senang, pasti akan dilimpahi kasih sayang dan perhatiannya. Alhamdulillah, aku salah seorang insan terpilih yang dapat memenuhi rasa hati seorang yang kupanggil Ibu.
“Besok aku jemput kamu jam 9 pagi ya Nur....” Irfan mengingatkanku tentang janji kami untuk menemani aku membeli ole-ole untuk ayah, abang dan adik-adik lelakiku yang belum sempat kubeli. Untuk yang perempuan sudah kubeli semuanya.
Aku menganggukkan kepala, bersetuju.
Sampai di kost, Depok hampir pukul 9 malam. Irfan menemani aku masuk hampir ke kostku dan menunggu aku masuk ke rumah dengan selamat, barulah dia beredar.
Irfan selalu begitu, sangat bertanggung jawab, bukan saja denganku, tetapi dengan semua orang yang berurusan dengannya. Itu selalu aku perhatikan. Sikapnya, keprihatinan, dan kematangannya membuatkan hatiku semakin dekat dengannya. Memang betul kata orang selalu berjumpa dan merasai dihargai dan diambilberat menyebabkan apa saja kemungkinan boleh berlaku.
Aku masuk ke kamarku. Anak-anak kost yang lain semuanya berada di bilik masing-masing, studi, mereka masih ada dua kertas peperiksaan yang perlu dilalui. Aku sudah merdeka, mereka belum, masih perlu berjuang.
Kepala sudah berat kerana seharian berjalan dan hanya sekali mandi pagi. Kaki juga sudah ‘pegal’ keletihan. Aku mencapai tuala dan terus ke kamar mandi. Solat dan tidur dengan nyenyaknya.
Jam loceng 5 pagi terlupa kukunci. Subuhku kesiangan. Aku bangkit dari katil terus wuduk dan solat walaupun jam sudah hampir 7 pagi. Orang kata kalau tak sedar tanpa sengaja, terus wuduk dan solat, masih boleh kira dalam waktu. Ya Allah, terimalah ibadatku ini kerana aku tidak sengaja, doaku selepas solat. Insyallah, mudah-mudahan doaku diterima Yang Maha Kuasa.
Sebelum mandi aku meminta ibu Iyem buatkan sarapan. Aku mandi. Selesai mandi, sarapan nasi goreng Ibu Iyem. Sudah sedap rasanya, setelah kuajar goreng nasi gaya Malaysiaku. Ada telur, sayur dan ikan bilis. Kalau dulu, aduh nasi gorengnya hanya nasi, cabe (cili) dan kicap semata-mata. Nak telan pun panjang leher rasanya. Habis makan mual loya mahu muntah. Bukan apa, tidak biasa dengan nasi goreng ‘togil’ macam tu.
Jam 9 pagi, Irfan sudah terpacul di depan pintu kostku. Anak-anak lain sudah keluar. Ke perpustakaan agaknya, tidak sempat bertanya tadi. Aku mengekori Irfan ke mobilnya yang diletakkan di Jalan Margonda Raya, tidak boleh rapat ke kostku yang melalui gang (lorong) kecil.
“Ke mana kita Nur...?” Soalan biasa bila nak berbelanja.
“Blok M......ok ngak?” Aku meminta persetujuan. Irfan hanya mengangguk setuju.
“Blok M dulu, nanti kalo ngak ada yang bagus, kita ke Mangga Dua.....” Irfan memberi cadangan. Giliran aku pula mengangguk setuju. Sabar dia melayan kerenahku.
Aku memilih baju kemeja batik untuk ayah, abang dan adik-adik. Untuk anak buahku yang masih kecil kubelikan sepasang baju siap. Banyak pilihan corak yang ada menyebabkan aku cepat membeli untuk mereka. Semua ada di Blok M, jadi tidaklah perlu ke Mangga Dua.
Lega. Semuanya sudah selesai. Rasa-rasanya tiada yang tertinggal lagi. Tiada yang akan terasa hati. Itu kelemahanku. Terlalu menjaga perasaan orang. Kadang-kadang ingin juga jadi orang yang tidak memikirkan perasaan orang, agaknya lebih bebas dan selesa......mungkin, tapi bagaimana caranya? Boleh ke? Ia datang dengan sendiri, bukan disengajakan, atau dipaksa.
Irfan mengajak aku makan tengahari di sebuah restoran yang lumayan selesa dan nampak mewah. Aku lupa namanya.
“Wah, spesial ni Fan...?” Aku perli Irfan sebenarnya. Sebelum ini jarang sekali aku diajak makan di tempat yang mahal. Aku selalu perli dia ‘pelit’ (kedekut), tetapi sebenarnya tidak. Aku tahu dia anak yang merendah diri dan diajar tidak bermewah-mewah atau membazir, walaupun dia dan keluarganya sangat berkemampuan.
Aku ke ‘kamar wanita’. Ketika aku kembali ke meja makan kami, kulihat di atas meja penuh dengan lauk, sayur dan bermacam-macam makanan yang membuatkan aku terkedu seketika.
“Mau kasi makan siapa ni Fan?” Aku ingin mendapatkan kepastian. Irfan hanya ketawa kecil, “Alaa...makan aja..kamu selalu bilang aku pelit...ternyata ngak kan...ayo buat kita berdua,” jelasnya, memulangkan paku buah kerasnya padaku.
“Apa bisa kita berdua ngabisin semua nih.....?” Soalku lagi. Aku sudah hilang selera melihat kepelbagaian hidangan di atas meja. Betul. Aku sudah dibiasakan makan satu atau dua lauk, sayur dan pencuci mulut. Bila makanan banyak seperti ini, rasa muak, tidak tahu nak pilih yang mana.
“Ngak apa-apa, makan aja apa yang mahu...kalau ngak abis, biarkan aja...nanti yang dikira yang kita makan aje...” Irfan menjelaskan.
“Oh ya...boleh begitu ya...?” Tanyaku lagi. Irfan mengangguk. Akhirnya, kami menjamu selera dalam keadaan tenang dan selesa tanpa gangguan peminta sedekah, pengamen, dan dinyamankan oleh pendingin hawa serta lagu instrumental 'when i need u'.
“Nur, aku ngak bisa ngantarin kamu ke airport besok. Flight gue dirubah ke pagi besok, bokap ada urusan penting harus cepat ke sana. Kamu, ada yang ngantarin ngak?” Irfan menjelaskan sambil kami makan. Irfan rasa bersalah tidak dapat menunaikan janjinya padaku.
“OK...ngak apa-apa. Aku bisa minta teman Malaysia ngantarin aku....jangan khawatir. Kamu udah banyak membantu aku di sini Fan...Itu juga ngak bisa aku balas, baik banget kamu sama aku.” Aku jadi sedih bila mengingatkan kehadiran Irfan yang banyak mengubat duka dan kecewaku..Hidup aku di Jakarta jadi mudah dengan kehadirannya.
“Kok jadi sedih begini...? Ngak ada apanya Nur, apa yang gue lakukan sama lue sebenarnya dengan kehendak Tuhan, gue sendiri ngak sadar, kok kita bisa jadi baik dan akrab sebegini, ” Irfan mula meluahkan isi hatinya. “Malah mahu biarkan kamu pulang ini saja aku udah rasa berat hati....sungguh Nur, kamu sadar ngak,” katanya lagi.
Aku hanya memandang dan mendengar ucapan Irfan dengan hati-hati. Perasaan aku mengatakan ada sesuatu yang ingin diluahkan anak ini. Irfan yang dari tadi berkata-kata sambil menundukkan kepalanya, kini memandang ke arahku dengan pandangan yang lain dari biasa.
“Kenapa kamu...?” Perasaan ingin tahuku memuncak, melihat sikap Irfan yang berbeza dari biasa.
“Kamu jangan marah, dengar aja dan aku harap kita bisa terus berteman, walau apapun yang terjadi ok,” pinta Irfan. Aku mengangguk tetapi dalam hatiku seribu satu pertanyaan dan perasaan yang muncul. Hatiku mula berdebar-debar melihat renungan matanya yang terasa tembus ke jantungku.
“Sebenarnya aku memang benar-benar sayang sama kamu Nur.” Irfan akhirnya meluahkan isi hatinya. “Sayang bagaimana maksud kamu?” Tanyaku untuk kepastian walaupun hatiku sudah yakin dengan maksud sebenarnya. Jantungkuku berdegup kencang. Ada perasaan berbunga-bunga di sana.
“Bisa ngak kamu terima aku sebagai teman spesial kamu. Aku mahu pasti sebelum aku melanjutin master aku ke US tahun depan. Aku mahu tunangan dulu sebelum pergi,” sambung Irfan lagi.
Begitu berani Irfan mengeluarkan patah demi patah ayatnya tanpa rasa takut aku menolaknya. Begitu yakinnya dia. Mungkin gelagatku selama ini dapat dibacanya yang aku sukakan dia. Suka, bukan bererti cinta. Rasanya cintaku dah mati bersama AHHku. Lalu ini perasaan apa sebenarnya yang juga muncul dalam hatiku. Sayang, memang betul. Tetapi mungkinkah ada cinta kedua, selepas hati hancur musnah dek cinta pertama dulu. Adoi.....
Aku merenung ke dalam mata Irfan. Tidak dinafikan aku suka dia. Semua yang dimilikinya menepati cita rasaku terhadap seorang lelaki yang terbaik untuk pasangan hidup. Rupanya, tampan. Berbudi bahasa, indah sekali, Keimanannya, sangat membimbing aku. Masa depanku pasti terjamin jika bersamanya. Usia kami pun sebaya. Aku mula menganalisis, dengan menolak ke tepi dulu soal takdir, Qada dan Qadar Allah seperti yang telah ditetapkan kepada aku dan AHHku dulu.
“Kenapa aku Fan...kamu lihat aku, tiada apa yang istimewanya. Anak-anak di sini lebih cantik, lebih sopan, lebih kaya dan lebih segala-galanya dari aku. Ngak punya apa-apa aku ini Fan?” Giliran aku menyoal Irfan.
“Tentang itu, jangan kamu tanya aku Nur, aku ngak bisa jawab. Aku sendiri ngak tahu, yang pasti aku tahu aku suka kamu, sayang kamu, dan senang bila bersama kamu, udah cukup bahagia aku rasa. Sejak aku ketemu kamu aku cukup bahagia, hidup aku tenang, tau ngak.” Irfan terus meluahkan rasa hati yang mungkin dipendam selama ini.
Aku terkedu tidak dapat berkata apa-apa. Sebenarnya naluri perempuanku senang mendengar ucapan itu, aku akui, walaupun dalam hati kecilku ada rasa takut. Aku yang sudah dibuang AHH, akhirnya diterima dengan perasaan seperti ini oleh Irfan. Betul ke? Melihat apa yang dilakukan kepadaku selama ini, masa, tenaga dan wang ringgit, tidak pernah berkira denganku, sepertinya ada kebenaran apa yang diungkapkan sebentar tadi.
“Bagaimana dengan ibu, bapak dan keluargamu?” Sengaja aku ungkitkan persoalan ini kerana aku tahu dia satu-satunya anak lelaki dalam keluarga yang bakal menerajui perusahaan bapanya, dan pastinya akan menjadi pemimpin dalam keluarga menggantikan bapanya.
“Aku anak kesayangan mereka Nur, apa saja keputusanku akan menjadi keputusan mereka juga,” jawabnya. Yakin sekali dengan jawapannya.
“Itu keputusanmu mengenai hal-hal yang lain, bukan soal kawin Fan...ini untuk jangka panjang, bukan main-main. Kamu anak yang akan jadi tunjang dalam keluargamu.” Aku mengingatkan Irfan yang aku rasakan sedang angau, tidak boleh berfikir dengan baik.
“Aku tau, justru itu aku pilih kamu....yang bisa jadikan aku tunjang dalam keluargaku.” Aku tertarik juga dengan jawapannya, “Lho...bagaimana aku bisa bantu kamu jadi tunjang Fan?” Aku jadi penasaran mahu tahu jawapannya. Tapi sayangnya Irfan hanya senyum, kemudiannya ketawa membiarkan aku dengan perasaan ingin tahuku.
“Nur, benar nih...kalau kamu setuju, kamu pulang kasih tau ibumu, keluargamu akan niatku...aku ngak main-main. Aku ke Australi, aku bilang sama nyokap dan bokap, aku yakin mereka setuju sama aku. Mbak Fitri udah tau kok, aku udah bilang sama Mbak Fitri, dia sih setuju aja. Dia senang sama kamu Nur.” Penjelasan Irfan menyedarkan aku tentang misi Irfan terhadapku selama ini. Aku sangka kami hanya teman rapat sahaja, rupanya dia ada niat lain, membina harapan.
“Bagaimana jika aku menolakmu?” Aku menduganya.
“Aku hormati keputusan kamu kalau itu kamu rasa yang terbaik buat kamu Nur. Tapi aku pasti amat kecewa. Namun aku mau kita terus berteman walaupun bukan sebagai pacar. Boleh?” Tenang sekali anak ini dalam berkata-kata. Ada satu perasaan yang mula menebal dihatiku.
Aku dihantar pulang. Berat pula rasa hati hendak berpisah. Untuk pertama kalinya Irfan mengambil tanganku dan mencium tanganku, lama sekali. Kenapa aku membiarkan dia memperlakukan aku begitu? Aku pulang membawa misi.
Irfan oh Irfan.
Nor Aizan Ab. Halim, Bandar Baru Bangi, 17 September 2011.
Friday, 16 September 2011
Kenangan Semasa Di UI Salemba – Siri 13 – Zalilah Manan
Penyakit Dalam
Penyakit dalam, sesuai dengan namanya memang melibatkan penyakit yang berpunca dari gangguan organ dalaman. Darah tinggi, kencing manis, sakit buah pinggang, sakit jantung, sakit liver (hati) masalah paru-paru dan macam-macam lagi. Unit yang paling kurang aku gemari. Andai saja bisa memilih, pasti aku gugurkan unit ini dari senaraiku. Tapi unit ini amat penting kerana penghidap penyakitnya sangat ramai dan yang berpotensi menghidap pun mungkin lebih ramai, bertambah hari demi hari.
Dari segi teori, penyakit dalam paling banyak kepelbagaiannya, tidak pernah habis-habis jika ilmu ini didalami. Macam-macam penemuan, macam-macam kajian. Buku-buku rujukannya biasanya yang paling tebal dan paling besar, kalau ditimbang mungkin punya kilo yang tertinggi. Tidak cukup satu jilid, kebanyakannya dua jilid atau lebih.
Pesakit-pesakit di unit ini hampir semua adalah nenek-nenek atau kakek-kakek yang lanjut usia. Hampir tidak pernah ketemu pesakit yang berusia muda cantik-cantik atau ganteng-ganteng. Yang ada mungkin keluarga pasien, itupun jarang-jarang. Mujur ada tim dokter residen yang mampu membuat aku agak betah di unit itu. Dr Maryantoro, Dr Hartono, Dr Zainul, Dr Imran adalah antara nama yang masih aku ingat yang sangat banyak membimbing, membantu, prihatin dan sabar.
Jika pesakit dirawat di hospital, biasanya tidak akan pulang dalam masa sehari, kurang-kurang tiga hari, kadangkala mencecah minggu. Bila pulang biasanya di bekalkan dengan segerobak ubat buat bekalan minima sebulan.
Ironinya hampir semua penyakit-penyakit tersebut berpunca dari kesilapan pesakitnya sendiri. Kebanyakannya dari kebiasaan dan cara hidup pesakit sendiri. Kurang prihatin tentang kesihatan. Tidak mengamalkan pemakanan sehat. Jarang-jarang melakukan riadah. Gemar merokok, mengambil minuman keras dan kadang-kadang berpunca dari pengambilan ubat-ubat tradisional yang kurang sahih kebaikan dan kesan sampingannya.
Kami diperlukan menjalani kepaniteraan di unit penyakit dalam selama empat bulan. Dibahagi kepada kumpulan-kumpulan kecil seramai enam orang, kumpulanku terdiri dari Rahmi, Tien, Betty, Sabatth, Ifzal dan aku. Dalam masa itu berbagai aktiviti perlu dijalani, tidak terkecuali dinas jaga malam. Dinas jaga pula dijalankan secara bergantian antara kumpulan kecil di tiga rumah sakit iaitu RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, RS Persahabatan, Rawamangun dan RS Tangerang, Jawa Barat.
RS Persahabatan ialah sebuah rumah sakit lama yang didirikan sejak zaman Belanda. Disana kami ditugaskan di wad khusus paru-paru yang terletak di lantai dasar dan lantai satu blok paling hujung yang berdekatan dengan kamar jenazah. Kamar ‘ko ass’ (gelaran bagi mahasiswa klinikal) yang kebetulan terletak di hujung blok menjadi sangat dekat dengan kamar jenazah itu.
Suster Bule
Oleh kerana berbagai cerita yang timbul, jaga malam di RS Persahabatan dikalangan mahasiswi kebanyakannya dilakukan berdua-berdua. Mungkin ada juga mahasiswa yang mengikut cara mahasiswi. Bukan semua orang lelaki berani.
Petang itu giliran aku jaga malam. Aku ditemani Tien. Nanti apabila giliran Tien, aku akan menemaninya pula. Kami tiba awal ke rumah sakit. Kami langsung melakukan rondaan yang seharusnya dibuat waktu malam, pada petangnya. Semua pasien nampak tenang-tenang sahaja, tiada kes kritikal.
“Ntar kalau mau mandi, di kamar mandi hujung sini aja, dok. Kayaknya ngak ada air tu di kamar mandi ko ass. Udah dua hari ada gangguan air ni!” kata salah seorang perawat yang bertugas.
Selesai rondaan wad, kami bergerak menuju kamar ko ass untuk berehat sebentar. Kamar itu yang berukuran sederhana dilengkapi dua buah katil bujang, sebuah meja tulis saiz kecil yang terletak di tepi pintu, sebuah kipas meja yang terletak di atas meja kopi kecil diantara dua katil dan sebuah cermin agak besar yang dilekatkan pada belakang pintu. Di tepi cermin tergantung satu kunci, kunci kamar mandi ko ass.
“Kita mandi aje dulu, yuk!” aku mengajak Tien.
“Ok, mumpung masih belum malam, ntar seram.” Jawab Tien.
“Kita coba lihat kamar mandi sini aja dulu.” Aku memberi cadangan.
“Ayuh! Siapa takut.” Jawab Tien lagi. Kami berdua senyum kerana hanya kami berdua yang tahu perasaan kami.
Kamar mandi itu terletak hampir bertentangan dengan kamar ko ass, hanya dipisahkan oleh kaki lima terbuka yang agak suram. Perlahan-lahan kami membuka kunci kamar mandi itu. Dengan penuh hati-hati kami menolak daun pintu. “kriuuukk!” bunyi engsel pintu yang mungkin akibat berkarat. Sunyi sepi suasana di dalam kamar mandi itu. Kami berpegangan tangan. Tien menarik tanganku mengajak masuk lebih ke dalam. Kami menjenguk ke dalam kolah mandi. Kering kontang tanpa setitik airpun. Paip air yang kami buka juga tidak berair.
Tiba-tiba, mungkin secara bersamaan kami merasakan seolah ada sesuatu yang menyeramkan, kami saling tarik menarik untuk keluar, mengunci pintu dalam kelam kabut dan berlari masuk ke kamar ko ass semula.
Termengah-mengah, kami duduk berhimpitan, masih berpegangan tangan.
“Ada apa Tien?” aku bertanya setelah sesak nafasku mereda.
“Ngak tau, tiba-tiba rasa merinding (bulu roma meremang).” Kata Tien. Sama persis seperti yang aku rasakan. Perasaan seram yang datang tiba-tiba.
Kami mengambil keputusan untuk menggunakan kamar mandi perawat seperti yang telah ditawarkan. Sudah hampir waktu magrib setelah kami selesai mandi dan bersiap-siap. Rondaan wad sudah kami selesaikan tadi, jika tiada kes yang baru masuk, kami punya banyak waktu yang boleh dimanfaatkan untuk perkara lain yang mana kami bercadang untuk mengulangkaji.
“Lapar ngak, Ila?” Tien bertanya setelah kami selesai solat magrib.
“Sekarang, ngak. Kamu mau makan?” aku bertanya Tien.
“Tien juga ngak lapar.” Jawab Tien.
Aku mengeluarkan buku dari tas kuliah. Tiba-tiba aku terdengar sesuatu.
Aku menoleh ke arah Tien, dia juga ku lihat sedang mendiamkan diri seolah sedang cuba mendengarkan sesuatu sebelum menoleh ke arahku. Dia perlahan-lahan bangun dari tempat duduknya lalu duduk rapat disebelahku namun tidak berkata-kata.
Bunyi seseorang sedang mandi dengan curahan dan percikan air yang banyak kedengaran sangat jelas dari kamar mandi ko ass. Sedangkan kami baru saja melihat kolah yang kering kontang dan kunci pintu kamar mandi ko ass yang hanya satu, masih dalam simpanan kami. Bunyi itu berlarutan beberapa ketika sebelum berubah kepada bunyi seolah seseorang sedang menimba air dari kolah yang hampir kering. “krroongg” bunyi seperti gayung plastic bergeser dengan simen kolah yang hampir kering.
Kami diam membeku seketika sambil berdoa agar semuanya berakhir, tapi tiba-tiba kipas meja yang tadi berpusing perlahan berubah laju dan bergegar-gegar sebelum semua lampu akhirnya padam. Kami tanpa bertangguh lagi berlari lintang pukang keluar dari kamar ko ass menuju wad di mana perawat-perawat yang sedang bertugas berkumpul. Lampu kembali menyala sebaik kami sampai di kaunter perawat.
“Kenapa dok? Kok sampai pucat pasi begini? Terlihat suster bule ya?” Tanya salah seorang dari mereka sambil tersenyum.
“Ngak, ngak apa-apa!” kami serentak menjawab.
Memang benar kami tidak melihat apa-apa, kami cuma bersamaan terdengar sesuatu dan mengalami sesuatu yang kami tidak dapat jelaskan namun sangat menyeramkan. Suster bule yang disebut-sebut dikatakan sebagai satu figura perawat yang cantik seperti orang belanda dan selalu membantu pasien-pasien yang agak tidak berdaya mengangkatkan ‘bed pan’ ke bilik air, menukarkan botol drip yang sudah kosong dan kerapkali membangunkan ko ass yang bertugas jaga sendirian yang tidur di kamar ko ass tersebut.
Dr Zalilah Manan, 16 September 2011
Penyakit dalam, sesuai dengan namanya memang melibatkan penyakit yang berpunca dari gangguan organ dalaman. Darah tinggi, kencing manis, sakit buah pinggang, sakit jantung, sakit liver (hati) masalah paru-paru dan macam-macam lagi. Unit yang paling kurang aku gemari. Andai saja bisa memilih, pasti aku gugurkan unit ini dari senaraiku. Tapi unit ini amat penting kerana penghidap penyakitnya sangat ramai dan yang berpotensi menghidap pun mungkin lebih ramai, bertambah hari demi hari.
Dari segi teori, penyakit dalam paling banyak kepelbagaiannya, tidak pernah habis-habis jika ilmu ini didalami. Macam-macam penemuan, macam-macam kajian. Buku-buku rujukannya biasanya yang paling tebal dan paling besar, kalau ditimbang mungkin punya kilo yang tertinggi. Tidak cukup satu jilid, kebanyakannya dua jilid atau lebih.
Pesakit-pesakit di unit ini hampir semua adalah nenek-nenek atau kakek-kakek yang lanjut usia. Hampir tidak pernah ketemu pesakit yang berusia muda cantik-cantik atau ganteng-ganteng. Yang ada mungkin keluarga pasien, itupun jarang-jarang. Mujur ada tim dokter residen yang mampu membuat aku agak betah di unit itu. Dr Maryantoro, Dr Hartono, Dr Zainul, Dr Imran adalah antara nama yang masih aku ingat yang sangat banyak membimbing, membantu, prihatin dan sabar.
Jika pesakit dirawat di hospital, biasanya tidak akan pulang dalam masa sehari, kurang-kurang tiga hari, kadangkala mencecah minggu. Bila pulang biasanya di bekalkan dengan segerobak ubat buat bekalan minima sebulan.
Ironinya hampir semua penyakit-penyakit tersebut berpunca dari kesilapan pesakitnya sendiri. Kebanyakannya dari kebiasaan dan cara hidup pesakit sendiri. Kurang prihatin tentang kesihatan. Tidak mengamalkan pemakanan sehat. Jarang-jarang melakukan riadah. Gemar merokok, mengambil minuman keras dan kadang-kadang berpunca dari pengambilan ubat-ubat tradisional yang kurang sahih kebaikan dan kesan sampingannya.
Kami diperlukan menjalani kepaniteraan di unit penyakit dalam selama empat bulan. Dibahagi kepada kumpulan-kumpulan kecil seramai enam orang, kumpulanku terdiri dari Rahmi, Tien, Betty, Sabatth, Ifzal dan aku. Dalam masa itu berbagai aktiviti perlu dijalani, tidak terkecuali dinas jaga malam. Dinas jaga pula dijalankan secara bergantian antara kumpulan kecil di tiga rumah sakit iaitu RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, RS Persahabatan, Rawamangun dan RS Tangerang, Jawa Barat.
RS Persahabatan ialah sebuah rumah sakit lama yang didirikan sejak zaman Belanda. Disana kami ditugaskan di wad khusus paru-paru yang terletak di lantai dasar dan lantai satu blok paling hujung yang berdekatan dengan kamar jenazah. Kamar ‘ko ass’ (gelaran bagi mahasiswa klinikal) yang kebetulan terletak di hujung blok menjadi sangat dekat dengan kamar jenazah itu.
Suster Bule
Oleh kerana berbagai cerita yang timbul, jaga malam di RS Persahabatan dikalangan mahasiswi kebanyakannya dilakukan berdua-berdua. Mungkin ada juga mahasiswa yang mengikut cara mahasiswi. Bukan semua orang lelaki berani.
Petang itu giliran aku jaga malam. Aku ditemani Tien. Nanti apabila giliran Tien, aku akan menemaninya pula. Kami tiba awal ke rumah sakit. Kami langsung melakukan rondaan yang seharusnya dibuat waktu malam, pada petangnya. Semua pasien nampak tenang-tenang sahaja, tiada kes kritikal.
“Ntar kalau mau mandi, di kamar mandi hujung sini aja, dok. Kayaknya ngak ada air tu di kamar mandi ko ass. Udah dua hari ada gangguan air ni!” kata salah seorang perawat yang bertugas.
Selesai rondaan wad, kami bergerak menuju kamar ko ass untuk berehat sebentar. Kamar itu yang berukuran sederhana dilengkapi dua buah katil bujang, sebuah meja tulis saiz kecil yang terletak di tepi pintu, sebuah kipas meja yang terletak di atas meja kopi kecil diantara dua katil dan sebuah cermin agak besar yang dilekatkan pada belakang pintu. Di tepi cermin tergantung satu kunci, kunci kamar mandi ko ass.
“Kita mandi aje dulu, yuk!” aku mengajak Tien.
“Ok, mumpung masih belum malam, ntar seram.” Jawab Tien.
“Kita coba lihat kamar mandi sini aja dulu.” Aku memberi cadangan.
“Ayuh! Siapa takut.” Jawab Tien lagi. Kami berdua senyum kerana hanya kami berdua yang tahu perasaan kami.
Kamar mandi itu terletak hampir bertentangan dengan kamar ko ass, hanya dipisahkan oleh kaki lima terbuka yang agak suram. Perlahan-lahan kami membuka kunci kamar mandi itu. Dengan penuh hati-hati kami menolak daun pintu. “kriuuukk!” bunyi engsel pintu yang mungkin akibat berkarat. Sunyi sepi suasana di dalam kamar mandi itu. Kami berpegangan tangan. Tien menarik tanganku mengajak masuk lebih ke dalam. Kami menjenguk ke dalam kolah mandi. Kering kontang tanpa setitik airpun. Paip air yang kami buka juga tidak berair.
Tiba-tiba, mungkin secara bersamaan kami merasakan seolah ada sesuatu yang menyeramkan, kami saling tarik menarik untuk keluar, mengunci pintu dalam kelam kabut dan berlari masuk ke kamar ko ass semula.
Termengah-mengah, kami duduk berhimpitan, masih berpegangan tangan.
“Ada apa Tien?” aku bertanya setelah sesak nafasku mereda.
“Ngak tau, tiba-tiba rasa merinding (bulu roma meremang).” Kata Tien. Sama persis seperti yang aku rasakan. Perasaan seram yang datang tiba-tiba.
Kami mengambil keputusan untuk menggunakan kamar mandi perawat seperti yang telah ditawarkan. Sudah hampir waktu magrib setelah kami selesai mandi dan bersiap-siap. Rondaan wad sudah kami selesaikan tadi, jika tiada kes yang baru masuk, kami punya banyak waktu yang boleh dimanfaatkan untuk perkara lain yang mana kami bercadang untuk mengulangkaji.
“Lapar ngak, Ila?” Tien bertanya setelah kami selesai solat magrib.
“Sekarang, ngak. Kamu mau makan?” aku bertanya Tien.
“Tien juga ngak lapar.” Jawab Tien.
Aku mengeluarkan buku dari tas kuliah. Tiba-tiba aku terdengar sesuatu.
Aku menoleh ke arah Tien, dia juga ku lihat sedang mendiamkan diri seolah sedang cuba mendengarkan sesuatu sebelum menoleh ke arahku. Dia perlahan-lahan bangun dari tempat duduknya lalu duduk rapat disebelahku namun tidak berkata-kata.
Bunyi seseorang sedang mandi dengan curahan dan percikan air yang banyak kedengaran sangat jelas dari kamar mandi ko ass. Sedangkan kami baru saja melihat kolah yang kering kontang dan kunci pintu kamar mandi ko ass yang hanya satu, masih dalam simpanan kami. Bunyi itu berlarutan beberapa ketika sebelum berubah kepada bunyi seolah seseorang sedang menimba air dari kolah yang hampir kering. “krroongg” bunyi seperti gayung plastic bergeser dengan simen kolah yang hampir kering.
Kami diam membeku seketika sambil berdoa agar semuanya berakhir, tapi tiba-tiba kipas meja yang tadi berpusing perlahan berubah laju dan bergegar-gegar sebelum semua lampu akhirnya padam. Kami tanpa bertangguh lagi berlari lintang pukang keluar dari kamar ko ass menuju wad di mana perawat-perawat yang sedang bertugas berkumpul. Lampu kembali menyala sebaik kami sampai di kaunter perawat.
“Kenapa dok? Kok sampai pucat pasi begini? Terlihat suster bule ya?” Tanya salah seorang dari mereka sambil tersenyum.
“Ngak, ngak apa-apa!” kami serentak menjawab.
Memang benar kami tidak melihat apa-apa, kami cuma bersamaan terdengar sesuatu dan mengalami sesuatu yang kami tidak dapat jelaskan namun sangat menyeramkan. Suster bule yang disebut-sebut dikatakan sebagai satu figura perawat yang cantik seperti orang belanda dan selalu membantu pasien-pasien yang agak tidak berdaya mengangkatkan ‘bed pan’ ke bilik air, menukarkan botol drip yang sudah kosong dan kerapkali membangunkan ko ass yang bertugas jaga sendirian yang tidur di kamar ko ass tersebut.
Dr Zalilah Manan, 16 September 2011
Thursday, 15 September 2011
Kenangan Semasa Di UI Salemba – Siri 12 – Zalilah Manan
Pembentangan bertajuk “Eutanasia”
[Foto Hiasan semata-mata]
Semerbak harum wangian bunga mawar menerpa hidungku saat pintu dewan kuliah Obgin (obstetric dan ginekologi – perbidanan dan sakit puan) aku buka. Sebahagian besar rakan rakanku telah bersedia di tempat duduk masing-masing. Rapi, tampan dan manis. Masing-masing mengenakan kot putih yang biasanya kami pakai hanya bila berada di klinik atau wad hospital. Meja panjang di depan dewan kuliah siap dipasang alas meja putih bersih dengan sebuah vas kecil berisi tiga kuntum bunga ros merah diletakkan di hujung meja.
Nama Prof. Ratna Suprapti Samil adalah satu nama besar dan digeruni di department Obgin. Bertubuh sederhana, mempunyai wajah manis keibuan, ala-ala kacukan Belanda. Prof Samil terkenal dengan ketegasan dan ketinggian disiplinnya. Mahasiswa mesti sentiasa kemas, sentiasa focus, duduk tegak penuh perhatian, ruang kuliah mesti harum dan dihias cantik dengan tiga kuntum ros merah, tidak kurang atau lebih.
Topik umum matakuliah ajaran beliau ialah Etika Kedokteran. Mahasiswa akan membuat pembentangan, komentar, perbahasan dan beliau akan memberi rumusan terakhir. Agar kelihatan lebih berwibawa, kami biasanya telah berpakat dan berbincang terlebih dahulu tentang topik-topik, soalan serta jawapan yang akan dibentangkan sehingga beliau tidak berpeluang menimbulkan persoalan lain. Bagi kami semua, jangan sampai Prof. Samil yang bertanya soalan, jika itu terjadi, kami semua berisiko ditimpa masalah besar.
Hari itu kumpulanku yang terdiri dari Yanti sebagai speaker, aku komentator pertama, Sondang dan Ari komentator kedua dan ketiga akan menyampaikan pembentangan kertas kerja kami bertajuk “Eutanasia” yang bermaksud menghentikan bantuan atau membiar kematian tanpa menyebabkan kesakitan kepada pesakit kronik yang tidak ada harapan sembuh. Topik yang agak sukar diulas kerana melibatkan etika, hukum agama, norma-norma dan budaya setempat. Juga tidak banyak bahan rujukan dan kasus yang boleh dijadikan perbahasan. Kami mendapat topik secara undian, mungkin kumpulan kami kurang bernasib baik.
“Dinginnya tangan kamu.” Kata Sondang kepadaku ketika meraih tanganku saat aku mengambil tempat duduk disebelahnya di barisan paling hadapan.
“Sama aja seperti tanganku!” kata Sondang lagi sambil ketawa dan menggenggam erat tanganku. Aku ikut ketawa cuba menghilangkan perasaan gementar yang dirasakan.
“Tenang aja, kita kan punya speaker yang paling hebat. Prof Samil pasti akan kagum dengan kumpulan kita.” Sampuk Ari yang memang punya perawakan tenang dalam situasi apapun. Memang speaker kami Yanti adalah antara yang terbaik bukan hanya dalam kumpulan Obgin sekarang tapi dalam seluruh angkatan kami.
Pembentangan Yanti berlangsung lancar hingga ke akhir. Moderator seterusnya memanggilku untuk komentar. Memang tidak dapat dibayangkan betapa gementarnya aku waktu itu. Aku bangun kemudian sedikit menunduk ke arah Prof Samil yang kelihatan tersenyum.
“Sepertinya Prof Samil bersetuju dengan pembentangan kumpulan kami.” Aku berbisik kepada diriku sendiri.
Aku memulakan komentarku dengan memberi rujukan kepada sebuah artikel yang aku baca dari majalah Times. Prof Samil mendengar dengan penuh minat dan sangat berbangga dengan persoalan yang aku lontarkan, tambahan pula ia berdasarkan petikan dari majalah bahasa inggeris ternama. Rupa-rupanya beliau sangat menggalakkan mahasiswa memperluaskan wawasan dengan membaca bahan lain selain yang berkaitan medical. Hanya kerana secebis atikel yang pada mulanya aku cuba gunakan dengan niat berlagak, tiba-tiba aku mendapat pujian segunung. Kumpulanku pula mendapat markah presentasi tertinggi dan dua orang komentator lain terselamat dari disidang oleh beliau. Nasib kumpulan yang tadinya kami fikir kurang baik ternyata berubah.
Romantika menjadi ibu
[Cuma Foto Hiasan]
Unit obgin sudah barang tentu memerlukan kami melakukan praktikal. Seperti unit-unit lain, kami perlu bertugas di klinik dan wad. Kami perlu menyambut kelahiran 30 orang bayi, mengikut 10 pembedahan kelahiran dan 10 pembedahan sakit puan dalam masa tiga bulan yang diperuntukkan.
Aku masih ingat bagaimana aku terketar-ketar menyarungkan sarung tangan ketika akan menyambut kelahiran bayi kes pertama aku. Aku telah memantau pasien ini sejak lebih enam jam yang lalu. Bermula dari wad biasa, kini sudah dipindah ke bilik bersalin. Perutku ikut-ikutan sakit demi melihat perut pasien yang sebentar-sebentar mengeras dan menegang kemudian menghilang, kemudian mengeras lagi.
Sekali sekala aku memantau bunyi jantung janin. Si ibu kadangkala gelisah, kadangkala terlihat pasrah. Berpusing ke kanan tidak kena, ke kiri juga tidak selesa, terlentang lebih lagi, serba tidak menyenangkan. Suntikan yang telah diberikan juga sepertinya tidak membawa apa-apa kesan. Sungguh aku simpati tetapi tidak dapat berbuat apa-apa. “Itulah romantika menjadi ibu.” Aku berbisik kepada diri sendiri.
Peluh memercik di dahi ibu muda itu yang akan melahirkan anak sulungnya. Entah kerana kesakitan yang datang pergi yang telah ditanggung sejak berjam-jam yang lalu atau entah kerana panik memikirkan akan dibantu oleh seorang mahasiswa yang praktikal buat pertama kali. Walau aku juga gementar, aku cuba menunjukkan wajah penuh simpati dan memberikan keyakinan bahawa aku akan membantu pasienku itu sebaik mungkin.
Inilah saat yang dinanti-nantikan, aku lantas mencapai gunting yang telah tersedia sambil membayangkan gambarajah di dalam buku teks lalu ‘krruupp’ aku membuat guntingan di tempat yang tadi telah aku suntikkan ubat bius. Darah yang memercik dari luka guntingan membuat aku mengelabah seketika, namun setelah mengingat itu adalah keadaan natural bagi sesebuah luka, aku bertenang semula.
Aku terus memberi kata-kata semangat kepada pasienku yang sudah keletihan. Sewaktu-waktu menyuruhnya beristirehat sebentar semasa perutnya tiada kontraksi. Apabila kepala bayi semakin jelas kelihatan...
“Satu, dua, tiga…ngedannn buu!!!” Dengan sepenuh tenaga, seluruh kepala bayi kini sudah keluar. Aku cepat-cepat mengesat hidung, mulut dan mata bayi dari basahan air ketuban. Sekali lagi dengan kerjasama si ibu, aku menarik kepala bayi kearah bawah dan atas bagi mengeluarkan bahu yang disusuli badan dan seluruh anggotanya. Bayi pertamaku berjaya dilahirkan.
Perlahan-lahan bayi aku letakkan di atas perut ibunya yang sudah dilapisi kain balutan bayi. Aku terus mencapai klem dan mengepit tali pusat bayi di dua tempat. Bahagian berdekatan pusat aku ikat dengan seutas benang tebal dengan kemas. “kruupp” sekali lagi aku menggunting, kini tali pusat dengan sebilah gunting khusus yang kelihatan seperti paruh burung nuri.
“Kueekk!, kueek!...” tangisan bayi yang kuat dan nyaring merupakan petanda bayi sihat dan tiada masalah. Walau tanganku masih sedikit menggigil, aku mengangkat bayi kecil itu untuk di tunjukkan kepada si ibu bagi pengesahan jantina bayi. Pergelangan tangan bayi kemudian dipasangkan tanda nama yang mempunyai nama dan nombor pendaftaran serupa dengan ibunya.
Bayi dilap kering lalu dibungkus dan diserahkan kepada si ibu. Terpancar kegembiraan di wajah si ibu, air jernih tergenang dikelopak mata. Tidak lagi si ibu ingat akan kesakitannya tadi, tidak lagi si ibu peduli lukanya masih berdarah dan belum dijahit. Segala galanya tertumpu kepada si bayi, mau diselesakan, mau disusukan, sedang bayinya dengan bijak memulakan penyusuan pertama. Itulah saat paling indah dalam sebuah kelahiran. ‘Bonding’ anak dan ibu.
Tugas aku belum selesai, masih perlu melahirkan uri atau plasenta, masih perlu menutup kembali luka dari guntingan yang aku buat tadi, masih perlu memantau keadaan si ibu dan tentunya menulis laporan lengkap tentang kelahiran itu.
Hilanglah sebahagian keberkatan seorang anak setelah ibunya tiada. Berbaktilah dan sayangilah ibu anda selagi mereka masih ada….Ibu, permulaan kita semua…
Dr Zalilah Manan, 15 September 2011.
[Foto Hiasan semata-mata]
Semerbak harum wangian bunga mawar menerpa hidungku saat pintu dewan kuliah Obgin (obstetric dan ginekologi – perbidanan dan sakit puan) aku buka. Sebahagian besar rakan rakanku telah bersedia di tempat duduk masing-masing. Rapi, tampan dan manis. Masing-masing mengenakan kot putih yang biasanya kami pakai hanya bila berada di klinik atau wad hospital. Meja panjang di depan dewan kuliah siap dipasang alas meja putih bersih dengan sebuah vas kecil berisi tiga kuntum bunga ros merah diletakkan di hujung meja.
Nama Prof. Ratna Suprapti Samil adalah satu nama besar dan digeruni di department Obgin. Bertubuh sederhana, mempunyai wajah manis keibuan, ala-ala kacukan Belanda. Prof Samil terkenal dengan ketegasan dan ketinggian disiplinnya. Mahasiswa mesti sentiasa kemas, sentiasa focus, duduk tegak penuh perhatian, ruang kuliah mesti harum dan dihias cantik dengan tiga kuntum ros merah, tidak kurang atau lebih.
Topik umum matakuliah ajaran beliau ialah Etika Kedokteran. Mahasiswa akan membuat pembentangan, komentar, perbahasan dan beliau akan memberi rumusan terakhir. Agar kelihatan lebih berwibawa, kami biasanya telah berpakat dan berbincang terlebih dahulu tentang topik-topik, soalan serta jawapan yang akan dibentangkan sehingga beliau tidak berpeluang menimbulkan persoalan lain. Bagi kami semua, jangan sampai Prof. Samil yang bertanya soalan, jika itu terjadi, kami semua berisiko ditimpa masalah besar.
Hari itu kumpulanku yang terdiri dari Yanti sebagai speaker, aku komentator pertama, Sondang dan Ari komentator kedua dan ketiga akan menyampaikan pembentangan kertas kerja kami bertajuk “Eutanasia” yang bermaksud menghentikan bantuan atau membiar kematian tanpa menyebabkan kesakitan kepada pesakit kronik yang tidak ada harapan sembuh. Topik yang agak sukar diulas kerana melibatkan etika, hukum agama, norma-norma dan budaya setempat. Juga tidak banyak bahan rujukan dan kasus yang boleh dijadikan perbahasan. Kami mendapat topik secara undian, mungkin kumpulan kami kurang bernasib baik.
“Dinginnya tangan kamu.” Kata Sondang kepadaku ketika meraih tanganku saat aku mengambil tempat duduk disebelahnya di barisan paling hadapan.
“Sama aja seperti tanganku!” kata Sondang lagi sambil ketawa dan menggenggam erat tanganku. Aku ikut ketawa cuba menghilangkan perasaan gementar yang dirasakan.
“Tenang aja, kita kan punya speaker yang paling hebat. Prof Samil pasti akan kagum dengan kumpulan kita.” Sampuk Ari yang memang punya perawakan tenang dalam situasi apapun. Memang speaker kami Yanti adalah antara yang terbaik bukan hanya dalam kumpulan Obgin sekarang tapi dalam seluruh angkatan kami.
Pembentangan Yanti berlangsung lancar hingga ke akhir. Moderator seterusnya memanggilku untuk komentar. Memang tidak dapat dibayangkan betapa gementarnya aku waktu itu. Aku bangun kemudian sedikit menunduk ke arah Prof Samil yang kelihatan tersenyum.
“Sepertinya Prof Samil bersetuju dengan pembentangan kumpulan kami.” Aku berbisik kepada diriku sendiri.
Aku memulakan komentarku dengan memberi rujukan kepada sebuah artikel yang aku baca dari majalah Times. Prof Samil mendengar dengan penuh minat dan sangat berbangga dengan persoalan yang aku lontarkan, tambahan pula ia berdasarkan petikan dari majalah bahasa inggeris ternama. Rupa-rupanya beliau sangat menggalakkan mahasiswa memperluaskan wawasan dengan membaca bahan lain selain yang berkaitan medical. Hanya kerana secebis atikel yang pada mulanya aku cuba gunakan dengan niat berlagak, tiba-tiba aku mendapat pujian segunung. Kumpulanku pula mendapat markah presentasi tertinggi dan dua orang komentator lain terselamat dari disidang oleh beliau. Nasib kumpulan yang tadinya kami fikir kurang baik ternyata berubah.
Romantika menjadi ibu
[Cuma Foto Hiasan]
Unit obgin sudah barang tentu memerlukan kami melakukan praktikal. Seperti unit-unit lain, kami perlu bertugas di klinik dan wad. Kami perlu menyambut kelahiran 30 orang bayi, mengikut 10 pembedahan kelahiran dan 10 pembedahan sakit puan dalam masa tiga bulan yang diperuntukkan.
Aku masih ingat bagaimana aku terketar-ketar menyarungkan sarung tangan ketika akan menyambut kelahiran bayi kes pertama aku. Aku telah memantau pasien ini sejak lebih enam jam yang lalu. Bermula dari wad biasa, kini sudah dipindah ke bilik bersalin. Perutku ikut-ikutan sakit demi melihat perut pasien yang sebentar-sebentar mengeras dan menegang kemudian menghilang, kemudian mengeras lagi.
Sekali sekala aku memantau bunyi jantung janin. Si ibu kadangkala gelisah, kadangkala terlihat pasrah. Berpusing ke kanan tidak kena, ke kiri juga tidak selesa, terlentang lebih lagi, serba tidak menyenangkan. Suntikan yang telah diberikan juga sepertinya tidak membawa apa-apa kesan. Sungguh aku simpati tetapi tidak dapat berbuat apa-apa. “Itulah romantika menjadi ibu.” Aku berbisik kepada diri sendiri.
Peluh memercik di dahi ibu muda itu yang akan melahirkan anak sulungnya. Entah kerana kesakitan yang datang pergi yang telah ditanggung sejak berjam-jam yang lalu atau entah kerana panik memikirkan akan dibantu oleh seorang mahasiswa yang praktikal buat pertama kali. Walau aku juga gementar, aku cuba menunjukkan wajah penuh simpati dan memberikan keyakinan bahawa aku akan membantu pasienku itu sebaik mungkin.
Inilah saat yang dinanti-nantikan, aku lantas mencapai gunting yang telah tersedia sambil membayangkan gambarajah di dalam buku teks lalu ‘krruupp’ aku membuat guntingan di tempat yang tadi telah aku suntikkan ubat bius. Darah yang memercik dari luka guntingan membuat aku mengelabah seketika, namun setelah mengingat itu adalah keadaan natural bagi sesebuah luka, aku bertenang semula.
Aku terus memberi kata-kata semangat kepada pasienku yang sudah keletihan. Sewaktu-waktu menyuruhnya beristirehat sebentar semasa perutnya tiada kontraksi. Apabila kepala bayi semakin jelas kelihatan...
“Satu, dua, tiga…ngedannn buu!!!” Dengan sepenuh tenaga, seluruh kepala bayi kini sudah keluar. Aku cepat-cepat mengesat hidung, mulut dan mata bayi dari basahan air ketuban. Sekali lagi dengan kerjasama si ibu, aku menarik kepala bayi kearah bawah dan atas bagi mengeluarkan bahu yang disusuli badan dan seluruh anggotanya. Bayi pertamaku berjaya dilahirkan.
Perlahan-lahan bayi aku letakkan di atas perut ibunya yang sudah dilapisi kain balutan bayi. Aku terus mencapai klem dan mengepit tali pusat bayi di dua tempat. Bahagian berdekatan pusat aku ikat dengan seutas benang tebal dengan kemas. “kruupp” sekali lagi aku menggunting, kini tali pusat dengan sebilah gunting khusus yang kelihatan seperti paruh burung nuri.
“Kueekk!, kueek!...” tangisan bayi yang kuat dan nyaring merupakan petanda bayi sihat dan tiada masalah. Walau tanganku masih sedikit menggigil, aku mengangkat bayi kecil itu untuk di tunjukkan kepada si ibu bagi pengesahan jantina bayi. Pergelangan tangan bayi kemudian dipasangkan tanda nama yang mempunyai nama dan nombor pendaftaran serupa dengan ibunya.
Bayi dilap kering lalu dibungkus dan diserahkan kepada si ibu. Terpancar kegembiraan di wajah si ibu, air jernih tergenang dikelopak mata. Tidak lagi si ibu ingat akan kesakitannya tadi, tidak lagi si ibu peduli lukanya masih berdarah dan belum dijahit. Segala galanya tertumpu kepada si bayi, mau diselesakan, mau disusukan, sedang bayinya dengan bijak memulakan penyusuan pertama. Itulah saat paling indah dalam sebuah kelahiran. ‘Bonding’ anak dan ibu.
Tugas aku belum selesai, masih perlu melahirkan uri atau plasenta, masih perlu menutup kembali luka dari guntingan yang aku buat tadi, masih perlu memantau keadaan si ibu dan tentunya menulis laporan lengkap tentang kelahiran itu.
Hilanglah sebahagian keberkatan seorang anak setelah ibunya tiada. Berbaktilah dan sayangilah ibu anda selagi mereka masih ada….Ibu, permulaan kita semua…
Dr Zalilah Manan, 15 September 2011.
Sunday, 11 September 2011
Nostalgia Di Kampus Depok – Siri 11 – Nor Aizan Ab Halim
Persediaan Balik Kampung
Cuti semester pertama hampir tiba. Cuma tinggal beberapa minggu lagi. Sekarang aku sibuk mempersiapkan diri untuk peperiksaan semester satu. Ada dua perasaan yang sedang berlegar-legar dalam kepala. Gembira dan cemas. Oh ada lagi satu, perasaan takut. Takut menghadapi suasana sedih.
Gembira bila membayangkan akan balik kampung berjumpa keluarga. Sangat rindu sebenarnya, walaupun ada rasa takut untuk menghadapi suasana duka yang pasti akan aku hadapi ketika bertemu keluarga, terutama mak dan menziarahi pusara kakak. Amat menakutkan. Aku tak suka menangis dan sangat takut berdepan dengan keadaan yang memaksa aku menangis. Tidak suka melalui nafas sesak, dada sakit dan kepala terasa berat kesan dari paksaan mengeluarkan air mata berlebihan. Mata bengkak dan hidung berair. Huh....sangat tidak selesa. Tapi pasti keadaan itu tidak dapat dielakkan. Tak apalah, aku akan hadapi juga nanti, tidak boleh lari. Kenyataan sebagai manusia yang masih punya perasaan, harus diterima juga.
Ada rasa cemas juga, maklum peperiksaan pertama yang akan dihadapi di negara orang. Dengan menggunakan bahasa dan ayat-ayat bahasa Indonesia, yang ternyata serupa tapi tak sama dengan bahasa Malaysiaku. Lagi susah sebenarnya, ada persamaan tetapi ternyata ada kalanya akan membawa maksud yang berbeza. Ada ketikanya aku rasa mungkin lebih mudah belajar dalam bahasa yang berbeza sama sekali, tidak akan timbul kekeliruan. Aduh, kena lebih berhati-hati dalam menulis jawapan nanti.
Kalau bercakap, ada kesalahan bahasa bolehlah diterima, malah aku dianggap sebagai salah seorang yang berani berbincang dan memberi pendapat kalau di kelas tutorial. Anak-anak yang lain selalu memberi ‘amaran mesra’ kepadaku agar jangan banyak bertanya sekiranya mereka membentangkan ‘assingment’ mereka di kelas tutorial. Bukan apa, waktu itu aku rajin membaca buku rujukan dan lebih mendahului mereka dari segi teori. Aku juga telah banyak belajar menganalisis dan penalaran yang baik ketika belajar di sekolah dan kolej di Malaysia.
Apapun keadaannya, persediaan yang cukup sangat penting, itu saja prinsip yang kupegang, untuk menenangkan diri sendiri. Aku tidak punya rakan kelas sama jurusan dari Malaysia, tiada rakan untuk berbincang, mahu tak mahu aku seratus peratus terpaksa bergaul dengan pelajar Indonesia. Waktu balik ke kost saja aku bergaul dengan rakan-rakan Malaysia yang semuanya dari jurusan yang berlainan.
Ada baiknya juga lebih banyak bergaul dengan rakan-rakan dari Indonesia. Bahasa Indonesia sangat cepat kukuasai dan berkembang dengan baik sekali. Relasi dengan lingkungan juga sangat baik dan luas. Hubungan bukan sahaja dengan golongan korporat, malah dengan golongan bawahan. Dengan kata lain, hubungan dibina dari bawah sampai ke atas. Dari pemulung sampai ke menteri-menteri. Dengan Pak Harto saja aku tidak berpeluang untuk berjumpa secara langsung. Namun menghadiri majlis yang dihadiri beliau kerapkali juga ketika menjalankan tugasku sebagai wartawan.
Sambil mempersiapkan diri untuk peperiksaan, aku juga mempersiapkan diri untuk pulang ke kampung. Ini kepulangan yang pertama, pastinya aku perlu membawa ole-ole untuk setiap orang ahli keluargaku. Mesti. Kalau tidak, ada yang akan merajuk dan berkecil hati.
Hari Sabtu, seminggu sebelum peperiksaan aku mengajak Irfan menemani aku ke Tanah Abang, pusat membeli belah yang murah meriah. Boleh memilih kerana banyak pilihan yang ada tetapi perlu berhati-hati memilih, supaya tidak tertipu dengan kualiti murahan, dan mesti pandai menawar harga, agar dapat harga yang sewajarnya. Harga boleh kurang jadi ¼ dari harga asal yang disebut.
Jam lapan Irfan sudah muncul di kostku. Irfan sangat tepat dengan janjinya. Berbeza dengan kebanyakan anak-anak yang lain. Selalu ‘telat’ kalau berjanji. Kami bertolak awal-awal pagi supaya nanti sampai di Tanah Abang masih awal, tidak panas. Ada lagi petua senior, kalau datang awal, kita akan dapat harga yang kita sebut, walaupun kita minta harga yang sangat rendah.
“Mereka anggap itu pelaris, mesti kasi, walaupun berat hati,” jelas kawan seniorku ketika aku mengajukan pertanyaan kenapa mereka begitu. Memang betul. Aku lalui sendiri ketika beberapa kali datang ke Tanah Abang, Blok M atau Pasar Baru. Bila mereka dapat duit yang pertama hari itu mereka akan kipas-kipas pada barang-barang dagangan mereka. Itu petua atau kepercayaan tidaklah dapat aku pastikan. Mereka hanya tersenyum ketika aku bertanya kenapa berbuat demikian.Dalam hatiku hanya berdetik, bisa-bisa boleh jadi kurafat ni. Itu kepercayaan atau cara hidup mereka? Terpulanglah.
Pedagang di Tanah Abang ini rata-ratanya orang Minang. Ada juga orang Batak. Orang Minang memang terkenal dengan semangat perniagaannya. Pandai berniaga. Ramai perempuan yang terlibat dalam perniagaan ini. Di Malaysia pun, ramai golongan ini yang berniaga di Jalan Tunku Abdul Rahman dan Chow Kit. Boleh dikenali dari gaya dan loghat mereka bercakap. Sampai di Tanah Abang, suasana masih sepi. Lebih kurang jam 9 pagi. Para peniaga yang nampak sibuk memunggah dan menyusun dagangan mereka, supaya lebih menarik dan mudah dilihat pelanggan.
Aku dan Irfan menyelit masuk ke bahagian dalam, ke tempat batik dan telekung. Biasalah, rasa-rasanya itulah barangan yang sangat menarik hatiku dan juga orang Malaysia yang lain kalau ke Jakarta. Batik, walaupun sudah diisytiharkan sebagai barang larangan dibawa masuk ke Malaysia, untuk menjaga batik Malaysia sendiri, tetapi tetap saja dibawa. Susah nak cakap. Memang batik Indonesia masih mendominasi jiwa penggemar batik, selain dari batik Terengganu dan Kelantan. Kalau dah bawa nanti, nasiblah kalau kastam nampak mereka nak rampas atau nak dibiarkan saja, terpulanglah atas budi bicara mereka. Tetapi biasanya kalau satu dua helai mereka buat tak nampak saja. Faktor nasib sangat menentukan.
Aku sudah mengumpul 50 helai batik sarung dan batik lepas. Sepuluh pasang telekung sembahyang juga sudah kubeli. Semuanya sudah ada pemiliknya di Malaysia nanti. Semuanya kubeli dengan wang yang dihadiahkan mereka kepadaku ketika aku mahu berangkat ke Jakarta bulan Julai dulu. Sekarang nak cari batik sutera, untuk baju kurung atau kebaya. Di satu sudut ada bahagian batik pekalongan atau solo. Aku dan Irfan menuju ke sana. Irfan berjalan di belakangku dengan membawa beg plastik berisi batik yang telah kubeli. Aku menoleh ke arahnya dan meminta membawa satu plastik darinya.
“Capek ya...?” Tanyaku. Dia hanya tersenyum sambil menolak tanganku yang hendak mencapai beg plastik darinya.
”Ngak apa-apa, gue kuat kot...,” ujarnya. “Bener, ngak berat nih?” Aku meminta kepastian. Irfan mengangguk pasti.
“Wow, cantik-cantik semuanya Fan,” pujiku ketika melihat batik sutera yang digantung tersusun rapi, untuk memancing pelanggan.
Aku memang penggemar batik. Gila batik. Aku membelek-belek harga. Rata-ratanya berharga dari Rp150.000 hingga Rp650,000. Boleh tahan harganya lebih kurang RM160 hingga RM1000 sepasang waktu itu. Aku akan memilih tiga pasang untuk tiga orang yang kusayang dalam hidupku. Oh tambah satu lagi untuk diriku sendiri. Aku mahu tempah baju kurung di Malaysia untuk dipakai pada Hari Raya Aidilfitri tahun depan. Raya nanti kami akan menyambutnya di Jakarta, tidak dapat pulang ke Malaysialah nampaknya. Kebetulan, kedai yang kami masuk menyediakan kain-kain yang cantik semuanya. Untuk empat pasang aku membayar lebih kurang RM1000.00. Puas hati sebab semuanya cantik dan halus. Yang paling mahal aku beli dua pasang RM380 dan RM350.00 sepasang berukuran empat meter, sangat lembut dan halus. Harga asalnya RM600 lebih sepasang, kutawar dapat harga sebegitu.
Aku mengenggam dengan tanganku. Hanya segenggam saja kain tu berada dalam genggamanku. Itu pesan mak, kalau nak tengok baik atau tidak kain sutera tu, cuba genggam dengan tangan. Jika dapat mengecut segenggam dan tidak berkedut seribu, itu kain sutera yang baik. Nah, itu petua lagi. Hidup ni penuh dengan petua-petua orang tua. Kalau ikut insyallah akan selamat.
“Ok, sudah selesai semua.” Aku memaklumkan kepada pembantu setiaku. “Sori Fan, kamu jadi budak (orang suruhan) aku hari ini, maaf ya..ngak niat kot.”
“Ngak apa-apa lah...senang kot jadi budak loe..., asal sama kamu aja aku senang...,” balas Irfan. Kami sama-sama ketawa sambil menuju ke tempat letak kereta.
“Makan dulu yuk..,” ajak Irfan. Lupa aku, kami belum makan. Jam sudah menunjukkan hampir angka dua. Ada restoran Nasi Padang berhampiran pusat membeli-belah Tanah Abang. Satu jam kami makan. Sambil merehatkan badan sebenarnya, setelah penat berbelanja. Jam tiga kami bergerak pulang. Jalan sudah mulai ‘macet’. Penghuni Jakarta sedang aktif melakukan aktiviti masing-masing, mencari rezeki dan urusan peribadi, di hari Sabtu.
Anak-anak peminta sedekah, penjual surat kabar, penjaja kuih-muih dan ‘jajanan’ mula mendatangi kereta-kereta yang berderetan di jalan raya. Mereka mengetuk-ngetuk cermin mobil, dengan pandangan mata yang meminta ihsan dari pemilik dan penumpang mobil, agar membeli dagangan mereka atau menghulur seberapa yang mampu. Huh...sedih. Umur di bawah 12 tahun, malah ada yang sangat kecil, sepatutnya di tadika, tetapi mereka berada di jalanraya, mencari rezeki untu diri sendiri, ahli keluarga atau ada sendiket, kata Irfan.
“Di Malaysia ada ngak kayak begini Nur?” Tiba-tiba Irfan bersuara.
“Peminta sedekah ada tetapi tiada yang datang meminta atau berjualan di mobil seperti ini,” jawabku. “Mungkin penguatkuasaan undang-undang lebih tegas di sana agaknya,” jawabku. “...atau mungkin penduduknya ngak banyak seperti di sini,” sambungku setelah menyedari jawapanku itu sedikit kurang tepat atau mengkritik. Irfan diam, hanya mengangguk.
Aku teringat batik sutera yang kubeli. Aku mengeluarkan batik yang kususun paling atas. Cantik kurasakan. Aku mengirai kain tersebut, hampir mengenai muka Irfan. Irfan mengelak, sambil tergelak melihat gelagatku, yang mungkin keanak-anakan.
“Sori......,” mohonku pada Irfan, “cantik ngak kain ini Fan?” Irfan menoleh.
“Ini punya aku...cantik ngak?” Irfan mengangguk.
“Ini untuk ibuku, cantik ngak?” Tanyaku lagi sambil membuka lipatan kain yang kedua. Irfan mengangguk lagi.
“Ini pula untuk isteri abangku, kakak iparku,” jelasku pada Irfan, untuk kain batik sutera yang ketiga, “ohhh, cantik juga,” kata Irfan. Akhirnya aku mengeluarkan yang terakhir. Paling istimewa. Harga paling mahal, mahal sikit daripada batik mak.
“Nah...yang ini cantik ngak Fan?” Tanyaku seolah-olah memaksa Irfan menjawab.
“Wah...Cantik sekali,” puji Irfan. Sejuk mataku memandang kain ini. Kombinasi warnanya yang sangat menarik, ada warna ‘pink purple’ dan kebiruan. Dilukis tangan dan diwarnakan dengan halus sekali. Pandainya pelukis dan pembuat batik ni. Sangat kreatif dan kemas kerjanya. Memanglah pembatik pekalongan dan solo terkenal dengan kehalusan hasil kerja mereka.
Terbayang di mataku, betapa indahnya batik sutera ini membaluti tubuh si pemakainya, yang cantik tu. Kadang-kadang timbul rasa cemburu di hati, melihat kecantikannya dengan kulit yang putih halus, bulu matanya lentik, alis matanya halus seperti dicukur, berhidung tinggi dan berbibir limau seulas. Cukup sempurna sebagai seorang gadis yang boleh disebut jelita. Dihiasi pula dengan budi bahasa dan tutur katanya yang sentiasa dijaga dalam keramahannya. Bertolak belakang dengan diriku.
“Yang ini untuk siapa Nur?” Tanya Irfan setelah melihat diriku diam seketika, sambil memerhati batik yang begitu cantik.
“Untuk kakak,” pantas aku menjawab. Irfan memandangku, “kakak yang mana satu, berapa orang kakak kamu punya Nur?” tiba-tiba Irfan melemparkan pertanyaannya padaku.
“Kak Eizan,” jawabku.
“Nur....kamu sedar ngak...kan beliau sudah ngak ada.” Jawapan Irfan mengejutkan aku dari tindakan luar sedarku.
“Astaghfirullahalazim....Fan, gue lupa...kenapa gue jadi lupa begini.” Aku tidak dapat menahan sebak di dadaku. Air mataku mulai meluncur keluar tidak dapat ditahan-tahan lagi.
Irfan juga sebak melihat keadaanku. Air mata Irfan juga mengalir keluar. Cepat-cepat dia menyapu titisan air matanya. Dia memegang tanganku, “Nur...sabar, itu sudah kehendak Allah, ingat tu...kamu sangat sayang sama dia. Karena itu kamu ngak sedar membelikan sutera untuknya....Doakan saja, moga dia tenang di sana Nur.” Nasihat Irfan untuk meredakan kesedihanku. Sudah lama aku berhenti menangisi pemergiannya. Meredhakan kehendak Allah. Irfan mengosok-gosok bahuku perlahan-lahan, memujuk. Aku menekap kain sutera yang begitu cantik ke mukaku. Hampir basah kain sutera kukesat air mataku. Kenapa dia pergi begitu cepat? Belum sempat aku hadiahkan sutera yang dihajatinya. Kain sutera yang sangat cantik ini tidak dapat kuserahkan kepada kakak, sebagai hadiah pertamaku dari Jakarta. Itulah pesanannya dulu ketika aku hendak ke Jakarta. Dia mahu aku belikan batik sutera untuknya. Lalu, untuk siapa sutera yang cantik ini, kalau bukan untuk kak Eizan?
Nor Aizan Ab. Halim, Bandar Baru Bangi, 10 September 2011.
Cuti semester pertama hampir tiba. Cuma tinggal beberapa minggu lagi. Sekarang aku sibuk mempersiapkan diri untuk peperiksaan semester satu. Ada dua perasaan yang sedang berlegar-legar dalam kepala. Gembira dan cemas. Oh ada lagi satu, perasaan takut. Takut menghadapi suasana sedih.
Gembira bila membayangkan akan balik kampung berjumpa keluarga. Sangat rindu sebenarnya, walaupun ada rasa takut untuk menghadapi suasana duka yang pasti akan aku hadapi ketika bertemu keluarga, terutama mak dan menziarahi pusara kakak. Amat menakutkan. Aku tak suka menangis dan sangat takut berdepan dengan keadaan yang memaksa aku menangis. Tidak suka melalui nafas sesak, dada sakit dan kepala terasa berat kesan dari paksaan mengeluarkan air mata berlebihan. Mata bengkak dan hidung berair. Huh....sangat tidak selesa. Tapi pasti keadaan itu tidak dapat dielakkan. Tak apalah, aku akan hadapi juga nanti, tidak boleh lari. Kenyataan sebagai manusia yang masih punya perasaan, harus diterima juga.
Ada rasa cemas juga, maklum peperiksaan pertama yang akan dihadapi di negara orang. Dengan menggunakan bahasa dan ayat-ayat bahasa Indonesia, yang ternyata serupa tapi tak sama dengan bahasa Malaysiaku. Lagi susah sebenarnya, ada persamaan tetapi ternyata ada kalanya akan membawa maksud yang berbeza. Ada ketikanya aku rasa mungkin lebih mudah belajar dalam bahasa yang berbeza sama sekali, tidak akan timbul kekeliruan. Aduh, kena lebih berhati-hati dalam menulis jawapan nanti.
Kalau bercakap, ada kesalahan bahasa bolehlah diterima, malah aku dianggap sebagai salah seorang yang berani berbincang dan memberi pendapat kalau di kelas tutorial. Anak-anak yang lain selalu memberi ‘amaran mesra’ kepadaku agar jangan banyak bertanya sekiranya mereka membentangkan ‘assingment’ mereka di kelas tutorial. Bukan apa, waktu itu aku rajin membaca buku rujukan dan lebih mendahului mereka dari segi teori. Aku juga telah banyak belajar menganalisis dan penalaran yang baik ketika belajar di sekolah dan kolej di Malaysia.
Apapun keadaannya, persediaan yang cukup sangat penting, itu saja prinsip yang kupegang, untuk menenangkan diri sendiri. Aku tidak punya rakan kelas sama jurusan dari Malaysia, tiada rakan untuk berbincang, mahu tak mahu aku seratus peratus terpaksa bergaul dengan pelajar Indonesia. Waktu balik ke kost saja aku bergaul dengan rakan-rakan Malaysia yang semuanya dari jurusan yang berlainan.
Ada baiknya juga lebih banyak bergaul dengan rakan-rakan dari Indonesia. Bahasa Indonesia sangat cepat kukuasai dan berkembang dengan baik sekali. Relasi dengan lingkungan juga sangat baik dan luas. Hubungan bukan sahaja dengan golongan korporat, malah dengan golongan bawahan. Dengan kata lain, hubungan dibina dari bawah sampai ke atas. Dari pemulung sampai ke menteri-menteri. Dengan Pak Harto saja aku tidak berpeluang untuk berjumpa secara langsung. Namun menghadiri majlis yang dihadiri beliau kerapkali juga ketika menjalankan tugasku sebagai wartawan.
Sambil mempersiapkan diri untuk peperiksaan, aku juga mempersiapkan diri untuk pulang ke kampung. Ini kepulangan yang pertama, pastinya aku perlu membawa ole-ole untuk setiap orang ahli keluargaku. Mesti. Kalau tidak, ada yang akan merajuk dan berkecil hati.
Hari Sabtu, seminggu sebelum peperiksaan aku mengajak Irfan menemani aku ke Tanah Abang, pusat membeli belah yang murah meriah. Boleh memilih kerana banyak pilihan yang ada tetapi perlu berhati-hati memilih, supaya tidak tertipu dengan kualiti murahan, dan mesti pandai menawar harga, agar dapat harga yang sewajarnya. Harga boleh kurang jadi ¼ dari harga asal yang disebut.
Jam lapan Irfan sudah muncul di kostku. Irfan sangat tepat dengan janjinya. Berbeza dengan kebanyakan anak-anak yang lain. Selalu ‘telat’ kalau berjanji. Kami bertolak awal-awal pagi supaya nanti sampai di Tanah Abang masih awal, tidak panas. Ada lagi petua senior, kalau datang awal, kita akan dapat harga yang kita sebut, walaupun kita minta harga yang sangat rendah.
“Mereka anggap itu pelaris, mesti kasi, walaupun berat hati,” jelas kawan seniorku ketika aku mengajukan pertanyaan kenapa mereka begitu. Memang betul. Aku lalui sendiri ketika beberapa kali datang ke Tanah Abang, Blok M atau Pasar Baru. Bila mereka dapat duit yang pertama hari itu mereka akan kipas-kipas pada barang-barang dagangan mereka. Itu petua atau kepercayaan tidaklah dapat aku pastikan. Mereka hanya tersenyum ketika aku bertanya kenapa berbuat demikian.Dalam hatiku hanya berdetik, bisa-bisa boleh jadi kurafat ni. Itu kepercayaan atau cara hidup mereka? Terpulanglah.
Pedagang di Tanah Abang ini rata-ratanya orang Minang. Ada juga orang Batak. Orang Minang memang terkenal dengan semangat perniagaannya. Pandai berniaga. Ramai perempuan yang terlibat dalam perniagaan ini. Di Malaysia pun, ramai golongan ini yang berniaga di Jalan Tunku Abdul Rahman dan Chow Kit. Boleh dikenali dari gaya dan loghat mereka bercakap. Sampai di Tanah Abang, suasana masih sepi. Lebih kurang jam 9 pagi. Para peniaga yang nampak sibuk memunggah dan menyusun dagangan mereka, supaya lebih menarik dan mudah dilihat pelanggan.
Aku dan Irfan menyelit masuk ke bahagian dalam, ke tempat batik dan telekung. Biasalah, rasa-rasanya itulah barangan yang sangat menarik hatiku dan juga orang Malaysia yang lain kalau ke Jakarta. Batik, walaupun sudah diisytiharkan sebagai barang larangan dibawa masuk ke Malaysia, untuk menjaga batik Malaysia sendiri, tetapi tetap saja dibawa. Susah nak cakap. Memang batik Indonesia masih mendominasi jiwa penggemar batik, selain dari batik Terengganu dan Kelantan. Kalau dah bawa nanti, nasiblah kalau kastam nampak mereka nak rampas atau nak dibiarkan saja, terpulanglah atas budi bicara mereka. Tetapi biasanya kalau satu dua helai mereka buat tak nampak saja. Faktor nasib sangat menentukan.
Aku sudah mengumpul 50 helai batik sarung dan batik lepas. Sepuluh pasang telekung sembahyang juga sudah kubeli. Semuanya sudah ada pemiliknya di Malaysia nanti. Semuanya kubeli dengan wang yang dihadiahkan mereka kepadaku ketika aku mahu berangkat ke Jakarta bulan Julai dulu. Sekarang nak cari batik sutera, untuk baju kurung atau kebaya. Di satu sudut ada bahagian batik pekalongan atau solo. Aku dan Irfan menuju ke sana. Irfan berjalan di belakangku dengan membawa beg plastik berisi batik yang telah kubeli. Aku menoleh ke arahnya dan meminta membawa satu plastik darinya.
“Capek ya...?” Tanyaku. Dia hanya tersenyum sambil menolak tanganku yang hendak mencapai beg plastik darinya.
”Ngak apa-apa, gue kuat kot...,” ujarnya. “Bener, ngak berat nih?” Aku meminta kepastian. Irfan mengangguk pasti.
“Wow, cantik-cantik semuanya Fan,” pujiku ketika melihat batik sutera yang digantung tersusun rapi, untuk memancing pelanggan.
Aku memang penggemar batik. Gila batik. Aku membelek-belek harga. Rata-ratanya berharga dari Rp150.000 hingga Rp650,000. Boleh tahan harganya lebih kurang RM160 hingga RM1000 sepasang waktu itu. Aku akan memilih tiga pasang untuk tiga orang yang kusayang dalam hidupku. Oh tambah satu lagi untuk diriku sendiri. Aku mahu tempah baju kurung di Malaysia untuk dipakai pada Hari Raya Aidilfitri tahun depan. Raya nanti kami akan menyambutnya di Jakarta, tidak dapat pulang ke Malaysialah nampaknya. Kebetulan, kedai yang kami masuk menyediakan kain-kain yang cantik semuanya. Untuk empat pasang aku membayar lebih kurang RM1000.00. Puas hati sebab semuanya cantik dan halus. Yang paling mahal aku beli dua pasang RM380 dan RM350.00 sepasang berukuran empat meter, sangat lembut dan halus. Harga asalnya RM600 lebih sepasang, kutawar dapat harga sebegitu.
Aku mengenggam dengan tanganku. Hanya segenggam saja kain tu berada dalam genggamanku. Itu pesan mak, kalau nak tengok baik atau tidak kain sutera tu, cuba genggam dengan tangan. Jika dapat mengecut segenggam dan tidak berkedut seribu, itu kain sutera yang baik. Nah, itu petua lagi. Hidup ni penuh dengan petua-petua orang tua. Kalau ikut insyallah akan selamat.
“Ok, sudah selesai semua.” Aku memaklumkan kepada pembantu setiaku. “Sori Fan, kamu jadi budak (orang suruhan) aku hari ini, maaf ya..ngak niat kot.”
“Ngak apa-apa lah...senang kot jadi budak loe..., asal sama kamu aja aku senang...,” balas Irfan. Kami sama-sama ketawa sambil menuju ke tempat letak kereta.
“Makan dulu yuk..,” ajak Irfan. Lupa aku, kami belum makan. Jam sudah menunjukkan hampir angka dua. Ada restoran Nasi Padang berhampiran pusat membeli-belah Tanah Abang. Satu jam kami makan. Sambil merehatkan badan sebenarnya, setelah penat berbelanja. Jam tiga kami bergerak pulang. Jalan sudah mulai ‘macet’. Penghuni Jakarta sedang aktif melakukan aktiviti masing-masing, mencari rezeki dan urusan peribadi, di hari Sabtu.
Anak-anak peminta sedekah, penjual surat kabar, penjaja kuih-muih dan ‘jajanan’ mula mendatangi kereta-kereta yang berderetan di jalan raya. Mereka mengetuk-ngetuk cermin mobil, dengan pandangan mata yang meminta ihsan dari pemilik dan penumpang mobil, agar membeli dagangan mereka atau menghulur seberapa yang mampu. Huh...sedih. Umur di bawah 12 tahun, malah ada yang sangat kecil, sepatutnya di tadika, tetapi mereka berada di jalanraya, mencari rezeki untu diri sendiri, ahli keluarga atau ada sendiket, kata Irfan.
“Di Malaysia ada ngak kayak begini Nur?” Tiba-tiba Irfan bersuara.
“Peminta sedekah ada tetapi tiada yang datang meminta atau berjualan di mobil seperti ini,” jawabku. “Mungkin penguatkuasaan undang-undang lebih tegas di sana agaknya,” jawabku. “...atau mungkin penduduknya ngak banyak seperti di sini,” sambungku setelah menyedari jawapanku itu sedikit kurang tepat atau mengkritik. Irfan diam, hanya mengangguk.
Aku teringat batik sutera yang kubeli. Aku mengeluarkan batik yang kususun paling atas. Cantik kurasakan. Aku mengirai kain tersebut, hampir mengenai muka Irfan. Irfan mengelak, sambil tergelak melihat gelagatku, yang mungkin keanak-anakan.
“Sori......,” mohonku pada Irfan, “cantik ngak kain ini Fan?” Irfan menoleh.
“Ini punya aku...cantik ngak?” Irfan mengangguk.
“Ini untuk ibuku, cantik ngak?” Tanyaku lagi sambil membuka lipatan kain yang kedua. Irfan mengangguk lagi.
“Ini pula untuk isteri abangku, kakak iparku,” jelasku pada Irfan, untuk kain batik sutera yang ketiga, “ohhh, cantik juga,” kata Irfan. Akhirnya aku mengeluarkan yang terakhir. Paling istimewa. Harga paling mahal, mahal sikit daripada batik mak.
“Nah...yang ini cantik ngak Fan?” Tanyaku seolah-olah memaksa Irfan menjawab.
“Wah...Cantik sekali,” puji Irfan. Sejuk mataku memandang kain ini. Kombinasi warnanya yang sangat menarik, ada warna ‘pink purple’ dan kebiruan. Dilukis tangan dan diwarnakan dengan halus sekali. Pandainya pelukis dan pembuat batik ni. Sangat kreatif dan kemas kerjanya. Memanglah pembatik pekalongan dan solo terkenal dengan kehalusan hasil kerja mereka.
Terbayang di mataku, betapa indahnya batik sutera ini membaluti tubuh si pemakainya, yang cantik tu. Kadang-kadang timbul rasa cemburu di hati, melihat kecantikannya dengan kulit yang putih halus, bulu matanya lentik, alis matanya halus seperti dicukur, berhidung tinggi dan berbibir limau seulas. Cukup sempurna sebagai seorang gadis yang boleh disebut jelita. Dihiasi pula dengan budi bahasa dan tutur katanya yang sentiasa dijaga dalam keramahannya. Bertolak belakang dengan diriku.
“Yang ini untuk siapa Nur?” Tanya Irfan setelah melihat diriku diam seketika, sambil memerhati batik yang begitu cantik.
“Untuk kakak,” pantas aku menjawab. Irfan memandangku, “kakak yang mana satu, berapa orang kakak kamu punya Nur?” tiba-tiba Irfan melemparkan pertanyaannya padaku.
“Kak Eizan,” jawabku.
“Nur....kamu sedar ngak...kan beliau sudah ngak ada.” Jawapan Irfan mengejutkan aku dari tindakan luar sedarku.
“Astaghfirullahalazim....Fan, gue lupa...kenapa gue jadi lupa begini.” Aku tidak dapat menahan sebak di dadaku. Air mataku mulai meluncur keluar tidak dapat ditahan-tahan lagi.
Irfan juga sebak melihat keadaanku. Air mata Irfan juga mengalir keluar. Cepat-cepat dia menyapu titisan air matanya. Dia memegang tanganku, “Nur...sabar, itu sudah kehendak Allah, ingat tu...kamu sangat sayang sama dia. Karena itu kamu ngak sedar membelikan sutera untuknya....Doakan saja, moga dia tenang di sana Nur.” Nasihat Irfan untuk meredakan kesedihanku. Sudah lama aku berhenti menangisi pemergiannya. Meredhakan kehendak Allah. Irfan mengosok-gosok bahuku perlahan-lahan, memujuk. Aku menekap kain sutera yang begitu cantik ke mukaku. Hampir basah kain sutera kukesat air mataku. Kenapa dia pergi begitu cepat? Belum sempat aku hadiahkan sutera yang dihajatinya. Kain sutera yang sangat cantik ini tidak dapat kuserahkan kepada kakak, sebagai hadiah pertamaku dari Jakarta. Itulah pesanannya dulu ketika aku hendak ke Jakarta. Dia mahu aku belikan batik sutera untuknya. Lalu, untuk siapa sutera yang cantik ini, kalau bukan untuk kak Eizan?
Nor Aizan Ab. Halim, Bandar Baru Bangi, 10 September 2011.
Subscribe to:
Posts (Atom)