Friday 28 October 2011

Kisah Di Akademi Ilmu Pelayaran – Siri 3 – Cpt Halim Othman

“Perubahan Status Perkhidmatan Sebuah Kapal !!!”
[Kapal Cut Nyak Dien 1]

Ku coretkan peristiwa sewaktu kapal MV Belle Abeto belayar ke Hongkong membawa “penumpang istimewa” yang berupa sapi-sapi Ampenan, Lombok sekitar 2,000 ekor. Dari Ampenan, Indonesia kapal belayar melalui Laut Jawa, Selat Makasar, Laut Sulawesi, Laut Sulu dan akhirnya melintasi Laut Cina Selatan menuju ke Hongkong, setibanya di perairan Hongkong Nakhoda kapal memilih untuk melalui Alur Lamma Barat menuju ke dermaga yang terletak dalam Pelabuhan Victoria dan selesai menurunkan sapi-sapi, kapal keluar ke tempat pembersihan kapal melalui Alur Lamma Timur menuju ke tengah Laut Cina Selatan.

Kapal keluar ke tengah agak jauh dari Pelabuhan Hongkong untuk membuat pembersihan sisa bekas kotoran peninggalan “penumpang istimewa” yang merupakan najis dan sisa-sisa makanan sapi yang berada di atas kapal selama dalam pelayaran yang mengambil masa selama lebih kurang sekitar 7 hari. Untuk makluman tidak semuanya sapi yang selamat sampai ke Hongkong kerana ada yang mati dalam perlayaran sama juga macam jemaah haji tak semua yang sempat sampai ke Mekah atau balik ke kampong halaman, jadi yang meninggal di kebumikan di tengah laut.

Setelah selesai membuat pembersihan selama lebih kurang 2 hari kapal kembali memasuki perairan Hongkong dan berlabuh tidak jatuh dari tempat kapal *Queen Elizabeth tenggelam bagi menunggu giliran untuk masuk ke dry-docking , keseluruhan proses docking mengambil masa sekitar tiga puluh tujuh (37) hari.

Dalam siri pertama (1) aku ada menyebut yang aku berada di Hongkong selama empat puluh empat (44) hari, terdapat perbezaan masa selama tujuh (7) hari , tentu saja ada sebabnya. Pembaca yang budiman diminta bersabar, perkara akan ku jelaskan kemudian di dalam siri-siri yang lain nantinya. Kali ini aku beritahu yang pasti aku kembali ke Jakarta dengan kapal lain, bukan MV Belle Abeto yang digunakan semasa aku datang ke Hongkong.
Namun, kepada mereka yang kurang sabar dan ingin tahu lebih awal, bolehlah hubungi teman seangkatan denganku Sdr. Zainal Mohd Top mantan Pengarah Institut Perikanan Malaysia, Kuala Terengganu dan teman senegeriku Capt. Tajul Arus Hussain mereka berdua ini mungkin masih mengingati kisah ini.

Kapal yang membawa aku pulang dari Hongkong ke Jakarta kemudiannya ialah kapal MV Cut Nyak Dhien yang berbendera Indonesia, juga milik PT Arafat Lines, buatan Jerman berbeda dengan kapal pertama iaitu TSS Gunung Djati yang hanya mampu meluncur sekitar 15 knots sahaja, kapal Cut Nyak Dhien lebih baru dan berkelajuan sekitar 21 knots, kelajuan sebegini sudah dikira sebagai salah sebuah kapal yang terlaju ketika itu.

Berikut adalah secebis kisah tentang perubahan status atau nasib kapal MV Cut Nyak Dhien, yang pada awal kariernya menjadi salah sebuah kapal kebanggaan negara Indonesia dan aku sendiri belayar denganya, walaupun cuma 7 hari. Sekitar tahun 60an hingga 70an ini kapal banyak menabur bakti dan berjasa membawa para haji dan hajah menunaikan rukun Islam ke-5, bagi yang mampu berbuat demikian ketika itu menyambut seruan Nabi Ibrahim A.S, sebagai tanda pengabdian diri kita kepada Allah S.W.T. Kepada teman-teman yang belum berkesempatan ke sana, saya menyeru dan mendoakan semoga kalian dapat menyambut seruan haji secepatnya.

Bagi yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut tentang Hongkong bolehlah layari website, http://www.princess.com/images/learn/ports/pdf/portguides/hongkong.pdf
Berikut ialah sebuah petikan sebuah artikal dari TeMPO ONLINE bertarikh 3 Januari 1981, bertajuk “Sampanye di atas bekas kapal haji”. Istilah sampanye bermakna arak, yang diambil dari perkataan Inggeris “Champagne”.

TERAPUNG - APUNG di Teluk Jakarta, sekitar 3 km dari Pantai Ancol, bekas kapal haji Cut Nyak Dien menampung pesta sampanye. Tepat pukul 00.00 lampu padam sekejap. Peluit panjang dari cerobong ditimpali bunyi terompet-terompet panjang yang terbuat dari kartun. Topeng-topeng dibuka dan gelas-gelas sampanye pun diangkat tinggi-tinggi.

Puncak acara malam Tahun Baru 1981, di geladak lantai ketiga Cut Nyak Dien, telah dilalui secara meriah. Lepas dari acara tersebut, sekitar 500 orang yang melepas Tahun 1980 dengan acara “New Year's Eve On Board The Ship” dihidang berbagai acara.
Ada yang memilih duduk di teras, menikmati acara santap tengah malam, dalam acara Supper Time. Cukup banyak pula yang menonton Peter O'Toole dan Barbara Harsey main film Touch Danger.

Sebagian lagi dengan menentang kantuk, asyik menyaksikan pertunjukan erotik yang disebut saja sebagai Modern Dance Show. Tak kurang pula jumlahnya yang ikut berjoget-goyang disko. Nah, yang tak biasa bergadang, rupanya lebih suka menunggu pagi di kabin-kabin yang telah sedikit dipulas menyerupai kamar pada kapal pesiar.
Acara pagi juga telah tersedia. Nasi goreng telur dan roti dihidangkan setelah orang-orang yang mengantuk tersebut digigit sinar matahari pertama 1981. Tentu saja tak ketinggalan musik folksong menggiring pengunjung meninggalkan Cut Nyak Dien, sekitar pukul 08.00, pada akhir pesta.

Itulah salah sebuah pesta Tahun baru di Jakarta, walaupun dengan acara yang biasa-biasa saja, cukup memikat juga. Untuk menghadirinya, peserta dipungut bayaran sebanyak Rp 25 ribu, harus ditambang dari Pantai Marina Ancol ke tengah laut dengan perahu motor.

Oleh kerana keunikan itulah, acara yang diselenggarakan Marina Jaya Ancol lebih dapat mengundang pengunjung, dibanding dengan acara di berbagai hotel di Jakarta yang tak punya kesempatan bersaing.

Dengan tarif tak boleh lebih mahal dari Rp 25 ribu, seperti ditentukan Gubernur DKI, manajemen hotel memang tak mungkin berlomba-lomba menyelenggarakan acara mahal, kontrak-kontrak mereka dengan pengisi acara dari luar negeri terpaksa dibatalkan.

Ribuan Dollar Oriental Disco di Hotel Hilton, misalnya malam itu, walaupun semarak, tak lebih dari acara biasa saja. Hilton sebelumnya menjanjikan acara khusus dengan mengundang rombongan penyanyi Brotherhood of Man dari Inggris dan penari Satin Bells dari Las Vegas. Acara yang sedianya akan diselenggarakan di Libra Ballroom, dengan karcis Rp 70 ribu/orang (disediakan 40 meja @ 10 kursi), terpaksa dibatalkan.
Rugi? Sudah pasti, "sampai ribuan dollar," kata Titi Samhani, pejabat hotel tersebut. Ganti kerugian kepada artis asing yang sudah dikontrak sejak enam bulan lalu, tentu saja, tidak kecil. Belum lagi untuk segala macam keperluan publikasi. Sedangkan untuk menggantinya dengan acara lain, kata Titi,"nggak ada waktu lagi."
Acara di Hotel Indonesia Sheraton, iaitu di ruang Nirwana dan Ramayana, memang berlangsung seperti direncanakan. Tamunya, sekitr 750-an, masing-masing membayar Rp 25 ribu. Mereka disuguhi penampilan dan suara penyanyi lokal, Margie Segers, ditambah sebuah grup dari Australia, Birchal & Co. Semula, menurut pejabat penerangan hotel tersebut, Arifin Pasaribu, pengunjung hendak dikenakan bayaran sebesar Rp 50 ribu/orang.

Oleh kerana peraturan gubernur, kata Arifin, tarif tersebut terpaksa didiskaun separuhnya. Hal itu mungkin, lanjutnya pula, karena artis yang didatangkan dari luar negeri sesungguhnya bukan spesial untuk menyambut tahun baru. Paling, "keuntungan dari acara tersebut menjadi tipis -- kami ikut prihatin dan membantu pemerintah untuk tak bermewah-mewah."

Yellia S. Mangan, Humas Hotel Sari Pacific di Jalan Thamrin, menyebut kerugian hotelnya yang sekitar Rp 5 juta, hanya dengan tertawa. Penyajian Fourth Congregation dan Penthouse Seven, itu grup nyanyi & tari dari Filipina, terpaksa dibatalkan. Padahal, katanya, uang muka untuk artis yang dikontraknya dan untuk segala macam persiapan telah dikeluarkan.

Pengunjung Flores Room di Hotel Borobudur, di Lapangan Banteng, tidak kehilangan acara. Grup penyanyi dari Amerika, The Platters, tampil seperti dijanjikan. Cuma, asal tahu saja, dengan membayar separuh harga dari yang ditentukan semula (dari Rp 60 ribu menjadi Rp 30 ribu), kesenangan para tamu tentu saja jadi ikut dikurangkan, terutama menu makanan berkurang -- setidaknya tanpa sampanye gratis untuk toast pada pukul 00.00. Dan dengan menjual karcisnya lebih tinggi dari yang ditentukan gubernur, menurut Ratna H. Krisman, Asisten Direktur Pemasaran hotel tersebut, Borobudur masih dapat pula menyisihkan hasil penjualannya untuk amal.

Marina Jaya Ancol, penyelenggara pesta tahun baru di atas kapal, agaknya pandai berkelit. Bukan saja atas nama amal untuk Yayasan Pengembangan Pulau Seribu, tapi juga penurunan harga karcis memang tak sampai mengurangi menu makanan maupun acara.

Hanya saja, di samping harga karcis yang harus dibayar setiap peserta,
penyelenggara membuka penawaran-penawaran lain yang meminta agar pengunjung merogoh kantungnya lagi. Tambahan tersebut, yang tak masuk biaya pesta, misalnya Rp 20 ribu untuk sewa kamar. Walau bagaimana pun, pengunjung bekas kapal haji itu tak banyak protes. Sehingga bagi para penyelenggara seperti kata Ratna dari Borobudur: "the show must go on ...."

INILAH SEDIKIT PERBEZAAN CARA MENCARI DUIT DAN BERAMAL DI NEGARA TETANGGA TEMPAT KITA PERNAH TINGGAL DAN BELAJAR DULU. MEREKA KREATIF!!!!

*Cerita tentang QE boleh diperolehi di laman web ini, http://www.cruiseserver.net/travelpage/ships/cu_qe.asp)

Capt Halim Othman, 27 Ogos 2011, disunting oleh Dr Ismail Abdullah dan disiarkan ke dalam blog pada 29 Oktober 2011 (7 hari sebelum Raya Haji, pada 6 Nov 2011).

No comments:

Post a Comment