Wednesday 19 October 2011

Bahasa Indonesia Ditutur Asing oleh Bangsa Indonesia !?

Rencana ini tersiar dalam majalah Dewan Masyarakat, terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka, Ogos 1976 tentng bahasa Indonesia.


Kisah-Kisah Di Indonesia
Oleh A.F.Yassin (PAPTI Angkatan 1976 Bandung).
Saya teringatkan sejarah zaman gemilang Kerajaan Srivijaya Abad Ke-7, Majapahit Abad Ke-13, Melaka Abad Ke-15 dan Acheh Abad Ke-16 waktu pertama kali menjejakkan kaki di Indonesia. Kerajaan-kerajaan Melayu itu memberikan sumbangan besar  dan penting menjadikan bahasa Melayu lingua-franca dan bahasa perdagangan dunia sebelah sini. Kemudian kelima-lima bangsa penjajah yang pernah menjajah  Asia Tenggara abad Ke 16-20 – Portugis, Sepanyol,  Peranchis, Belanda, jepun dan Inggeris – mengakui hakikat betapa pentingnya  peranan yang dimainkan oleh bahasa Melayu di daerah Nusantara ini. Hingga untuk eksploitasi yang efektif mereka menerima bahasa Melayu diteruskan sebagai bahasa dagang dan kehidupan.
Kota metropolitan Jakarta, bagi saya yang pertama kali datang, mengembalikan status  pentadbiran kota oleh rumpun Melayu dengan bahasa Melayu sebagai alat perantara. Setaraf dengan kedudukan bahasa itu  di zaman kegemilangannya berabad-abad lalu, meskipun bahasa Melayu sudah digunakan dengan istilah bahasa Indonesia sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Dalam Sumpah Pemuda , bahasa Melayu adalah bahasa Indonesia, jiwa bangsa Indonesia, alat pemersatu ratusan sukubangsa  di Indonesia. Ketika itu rakyat Indonesia  diberikan dua pilihan: Mahu menerima bahasa Melayu, hasil daripada asimilasi dengan bahasa-bahasa daerah atau terus-menerus  menggunakan bahasa masing-masing daerah   tetapi menghaadapi risiko dipencil dan terpencil.
Pilihan kedua lebih  membahayakan perpaduan bangsa Indonesia. Justru dengan  pilihan pertama  bangsa Indonesia seolah-olah dikurniakan “mukjizat” untuk menyatukan 120 juta umat yang hetrogenous. Tetapi realiti kadang-kadang tidak  seiring dengan  aspirasi dan menepati cita-cita bangsa. Kebanggaan yang saya rasakan kini semakin surut kerana semakin lama saya menghadapi realitinya  semakin saya tertanya-tanya  apakah sebenarnya  yang menghambat terpenuhnya  aspirasi dan realiti kedudukan bahasa itu.
Apakah ada manusia yang menganggap enteng  pemakaiannya; baik sifatnya sebagai alat penghubung yang vertikal (antara pemerintah dan rakyat atau antara guru dan murid) mahupun sifatnya  sebagai alat penghubung  yang horizontal (antara rakyat)? Seorang mahasiswa jurusan bahasa dan Sastera  di sebuah universiti di Jakarta seolah-olah memberikan jawapan  apabila dalam laporannya , setelah mengadakan penyelidikan pemakaian bahasa Indonesia di daerah Jawa Tengah menyimpulkan: Bahasa Indonesia tidak dikenali, dan penduduknya  tidak mengerti bahasa itu (Harian Kompas, 20 Julai 1976.)
Dikatakan rata-rata masyarakat, terutama yang cauvinis dengan bahasa daerah, menganggap  bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Di beberapa daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah, pelajar-pelajar menganggap bahasa Indonesia  Cuma menjadi alat untuk berhubungan dengan guru. Di luar kegiatan sekolah mereka menggunakan bahasa Jawa.
Di Jawa Barat, waktu perjalanan dari Bandung ke pekan nelayan, Pelabuhan Ratu di pantai selatan melalui Sukabumi, jarang sekali saya  dapat menggunakan  bahasa Melayu/Indonesia. Saya terasa asing kerana kebanyakan yang ditemui jarang menggunakan bahasa Indonesia. Sehinggakan ada waktu-waktunya kami terpaksa menggunakan jurubahasa Sunda untuk mendapatkan pengertian. Seolah-olah bagi saya  dan teman-teman yang seperjalanan menuju daerah camping di pesisiran pantai selatan itu  ada suatu tembok bahasa yang usang lagi tradisional memisahkan kami dengan penduduk setempat. Begitu kuatnya pengaruh bahasa daerah dalam masyarakat setempat sehingga pada suatu pagi yang dingin waktu berjalan  di pantai daerah kampung nelayan, Cisolok, kami terdengar ajaran agama dari sebuah madrasah menggunakan bahasa daerah.
Demikianlah, bahasa Indonesia seolah-olah tidak mampu menyusup , memperluaskan pengaruhnya di wilayah-wilayah tersebut sehingga kemampuan bahasa itu tetap menjadi statik. Sepuluh tahun yang lalu, Drs. Umar Junus dalam penyelidikannya  tentang pemakaian bahasa Indonesia di Sekolah Lanjutan Pertama dan Atas di Malang menyimpulkan bahawa memang bahasa Indonesia dianggap bahasa kedua, ia hanya sebagai alat penghubung antara guru dan murid (“Data-data pemakaian bahasa  Indonesia oleh  beberapa murid SLP dan Sla di Malang”, dept.Ur, Research National Jakarta, 1965).
Ramai menyalahkan luasnya daerah Nusantara dengan prasarana  kependudukan  yang minima lagi ruwet maka terjadinya situasi  pemakaian bahasa Indonesia yang paling tidak disenangi sekarang. Kesimpulan hasil penyelidikan Drs. Umar Junus  yang sudah sepuluh tahun usianya itu  masih berlaku sampai ke hari ini. Namun demikian bahasa Indonesia , secara relatif, lebih kuat pengaruhnya  dalam masyarakat Indonesia yang hetrogenous di kota-kota besar. Pengarunya semakin menipis  dalam jalangan masyarakat yang homogenous yang majoritinya  tinggal di daerah-daaerah pedalaman.
Memang ini ternyata benar apabila di daerah-daerah kota pada dasarnya sikap masyarakat terhadap bahasa Indonesia  lebih positif berbanding yang di desa. Kehidupan masyarakat kota  yang lebih formal dan lebih banyak saling berhubung  (horizontal dan vertikal) maka bahasa Indonesia  lebih berkesan pemakaiannya sebagai bahasa lingua-franca. Di desa tindakan yang negatif  membikin pemakaian bahasa Indonesia  lebih gawat, terutama apabila mengingatkan gejala-gejala  modenisasi lewat pembangunan  inpres (instruksi Presiden) baru sekarang dinaikkan temponya.
Ada pula yang optimis, iaitu setelah tiga puluh tahun Indonesia merdeka, penduduk daerah-daerah pendalaman memang bisa bertutur dalam bahasa Indonesia. Mustahil tidak. Cuma kurang lancar dan bagi penduduk, mereka segan dan takut tersalah tutur. Di samping itu mereka menganggap oleh kerana bahasa daerah luas dituturkan maka tidak perlulah menggunakan bahasa nasional. Malah tidak praktis.
Dalam pada itu yang pesimis tidak akan berpanjangan melihatkan adanya  keprihatinan yang serius  dari pemerintah untuk menanggulangi masalah bahasa Indonesia secara  massal. Modenisasi desa, lebih-lebih lagi derap pembangunan di kota-kota antara lain bertujuan mencerdaskan bangsa Indonesia yang hampir-hampir 70% adalah dari desa. Justru modenisasi desa ini akan diimbangi pembinaan pemakaian bahasa Indonesia. Ceramah, khutbah, rapat-rapat setempat akan diusahakan untuk memperlihatkan  adanya pemakaian yang sungguh-sungguh bahasa nasional.Perpustakaan, walau sekecil mana sekalipun, akan didirikan.Penduduk yang baru  “mengenal huruf” diminta memanfaatkan  semaksimum mungkin medan bacaan untuk melatih dan mempelajari bahasa Indonesia. Malah akhbar merupakan  alat terpenting bagi mereka yang sudah mahir berbahasa Indonesia untuk meningkatkan pengetahuan.
Menurut satu sumber, akhbar masih belum sampai di desa, hingga ada kalangan yang prihatin terhadap masalah ini. Yang bersikap rasional mahukan kemasukan akhbar di daerah pedalaman ditingkatkan mengikut kemampuan daya baca masyarakat setempat. Ada baiknya bahasa Indonesia diperkenalkan terlebih dahulu dan penggunaaanya dimeratakan. Kemudian yang lebih penting warga desa perlu punya tanggungjawab dan tanggapan positif terhadap pelaksanaan pemakaian bahasa Indonesia.
Barangkali, usaha paling berkesan dan paling minimum kos biayanya ialah apa yang dikerjakan oleh mahasiswa Indonesia dalam rangka Kuliah Kerja Nyata (KKN). Mahasiswa pada waktu cuti semester, dikirim ke daerah pedalaman untuk tujuan berbakti kepada masyarakat. Paling-paling ini bisa dimanfaatkan  untuk memperluas pemakaian bahasa Indonesia melalui program kerja “Gerakan berbahasa Indonesia.” Kerja seumpama ini boleh dianggap sebagai satu kerja suci kerana mahasiswa  bertugas menyedarkan masyarakat peri pentingnya  kedudukan bahasa nasional. Selagi masyarakat masih bergelut dengan bahasa daerah mereka tidak akan maju, lantas terus-menerus  terkongkong dengan kehidupan rutin harian mereka dalam bahasa itu.
Demikianlah bahasa Indonesia dalam hasrat penuturnya memenuhi aspirasi Sumpah pemuda, sesudah 30 tahun dalam gelombang kemerdekaan bangsa, begitu bersaing hebat dengan suasana dan kehidupan rakyat yang masih berpegang kepada bahasa daerah masing-masing. Fungsinya sebagai bahasa pemersatu akan tinggal fungsi sekiranya  usaha dan kesedaran bangsa itu sendiri tidak ditingkatkan dan prosesnya tidak berterusan. Setiap kelompok yang berkepentingan – pemerintah, ahli bahasa, mahasiswa dan rakyat –mempunyai tugas masing-masing dalam memenuhi aspirasi sumpah Pemuda.
Dengan pesatnya pemakaian bahasa Malaysia di Malaysia dan dengan majunya bahasa Indonesia di Indonesia dan masuk dalam semua aspek kehidupan bangsa, maka masanya  tidak akan lama  rakyat di kedua-dua negara akan menyaksikan peranan  bahasa Melayu sebagai salah satu bahasa dunia  yang paling berkesan. Menjelang Ulang tahun Kemerdekaan Indonesia 17 Ogos 1976 ini, yang diikuti oleh Malaysia  dua minggu kemudiannya  berikanlah renungan sejenak bagaimana bahasa Melayu mengalami perubahan dan proses pemakaiannya sejak abad ke-7 zaman Srivijaya.
Cuma sayang, bahasa Melayu dalam melalui zaman sudah disobek oleh tuntutan suasana dan keadaan politik moden hingga di Indonesia bahasa Melayu itu sudah dinamakan bahasa Indonesia dan di Malaysia bahasa Malaysia. Barangkali Jawatankuasa istilah dari Malaysia dan Indonesia yang akan meneruskan sidang tahunannya di Jakarta Ogos ini tidak akan melunturkan usaha ke arah menempatkan bahasa Melayu di tempatnya yanaga paling gemilang. (Dewan Masyarakat, Ogos 1976).
Catatan: Penulis, A.F.Yassin (Ahmad Fadzil Yassin) pertama kali melangkahkan kaki ke Indonesia pada bulan Mac 1976. Ini merupakan rencana penulis yang keempat sejak berstatus mahasiswa di Bandung. Rencana pertama yang disiarkan  dari Bandung ialah “Pertamina: Tumbangnya Seorang Raja Minyak” yang disiarkan dalam majalah Dewan Masyarakat, Mei 1976 untuk disiarkan dalam majalah Dewan Masyarakat, terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka. Untuk rencana ini tumpuan utama penulis ketika itu ialah untuk cuba menyesuaikan diri dengan kehidupan berkuliah dalam bahasa Indonesia khususnya Bandung yang rata-rata penduduknya berbahasa daerah, iaitu bahasa Sunda. Penulis mendaftarkan diri sebagai mahasiswa baru di Fakultas Ilmu Publisistik , Universitas Negeri Padjadjaran di kampus Jalan Dipati Ukur, Bandung pada 15 Mac 1976. Ketika mula tiba di Bandung panulis disambut di Pusat pelajar Jalan Sulanjana oleh Sdr. Ismail Hamzah, ketua Kesatuan pelajar-pelajar Malaysia di Indonesia, Cabang Bandung. Rencana yang disiarkan dalam majalah Dewan Masyarakat, Ogos 1976 ini asalnya bertajuk " Kalau Di Indonesia, Namanya Bahasa Indonesia." )










No comments:

Post a Comment